webnovel

Lagi

Axelia terbengong karena tidak percaya dirinya dapat melihat dengan jelas, sehingga tidak ada lagi warna hitam yang menutupi matanya. Namun pemandangan yang dia lihat saat ini begitu menyakitkan mata. Bukan sesuatu yang patut dia lihat. Cahaya mentari senja menyirami tubuhnya dengan hangat, namun udara yang tercium membawa petaka yang menyengat. Puluhan bahkan ratusan orang berbaju jirah tergeletak di tanah tandus yang menghitam, dengan alat persenjataan tak lagi bertuan ketika mereka semua tidak bergerak. Lebih mengejutkan lagi saat Axelia menyadari dirinya berdiri sendiri di atas gunung mayat sambil memegang tombak perak yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Axelia merasa sangat sedih. Mayat-mayat siapa yang ada di bawah kakinya ini?

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Mendadak Axelia tidak mampu berdiri lagi, dia merosot perlahan sampai terduduk bersandar pada tongkat tombaknya. Dia kehilangan ingatan atau ini hanya mimpi belaka? Axelia melamun sejenak di tempat ini. Tatapannya terlihat kosong dan sayu. Rasa-rasanya dia telah kehilangan sebagian besar energi hidupnya tanpa tahu alasan yang sebenarnya.

"Aku ingin terbangun dari mimpi ini. Siapapun, tolong bangunkan aku." Axelia melirih.

Hingga kemudian guncangan ringan di tubuhnya seolah menarik seluruh lamunan Axelia dan membuatnya tersadar kembali ke dunia nyata. Dia tidak lagi bisa melihat selain hanya kegelapan yang menutupi matanya seperti biasa. Setelah seekor kucing yang melompat ke pangkuan dan secara tidak langsung membangunkannya dari mimpi buruk. Axelia masih ingat kalau saat ini dirinya tertidur di taman yang damai.

Axelia beringsut bangun dan kucing itu melompat turun lalu menghilang di semak-semak. Mengedarkan pandangan, dia tidak melihat adanya jiwa yang berkeliaran di sekitar. Entah kemana perginya Isabelle. Axelia menghela napas perlahan merasa lega. Mimpi barusan terlihat sangat buruk dari sekian mimpi buruk lainnya. Berharap mimpi itu sekadar bunga tidur yang tak berarti di masa depan. Axelia meyakini itu.

Tidak terasa langkah kakinya telah membawanya ke tengah keramaian. Axelia melihat banyak jiwa manusia berlalu lalang di sekelilingnya. Pendengarannya yang berfungsi seolah memberitahu bahwa dia sedang berada di tengah pasar yang tidak jauh dari mansion. Hanya berbelok satu blok dan terhubung ke keramaian pasar.

Axelia mungkin tidak berhati-hati, atau justru orang lain yang sembrono saat menabrak bahunya dengan keras sehingga membuat dia nyaris tersungkur kalau tidak pandai menjaga keseimbangan. Orang itu tidak meminta maaf padanya, malah berlalu begitu saja setelah menabrak orang lain. Axelia tidak memprotes. Berikutnya dia menemukan jiwa hitam di antara banyak jiwa manusia lainnya. Axelia terdiam sesaat, memperhatikan titik hitam di seberang.

Apa itu? Axelia merasa tidak nyaman setelah melihatnya. Samar-samar dia mendengar suara dari orang di sekitar.

"Semakin hari semakin mengerikan."

"Anak-anak kita harus dijaga. Nak, jangan lepas dari genggaman ibu, ya!"

"Kudengar kemarin ada anak yang hilang. Anaknya teman anakku!"

"Setiap anak yang hilang pasti ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat!"

"Apa polisi tidak bisa berbuat apapun? Mereka tidak bekerja ya? Meresahkan sekali!"

Axelia tidak mengerti apa yang terjadi di kota ini. Tetapi dia bisa menangkap maksud mereka bahwa telah terjadi kasus penculikan anak yang membuat para orang tua jadi gelisah. Mungkin pertanyaan kasus ini akan terungkap jika dia membuntuti jiwa hitam yang masih berkeliaran di depan matanya. Maka Axelia menarik langkah perlahan namun pasti mengikuti arah perginya jiwa hitam itu.

Di sisi lain, kopral Isabelle panik. Dia tidak menemukan Axelia di dalam mansion. Olivia sekalipun dibuat panik. Sampai tukang kebun memberitahu bahwa dia melihat Axelia pergi melewati gerbang, lantas Isabelle dan Olivia bergegas mencari Axelia di luar mansion. Mereka berpencar arah. Isabelle menyeruak di tengah pasar sambil memindai pandangan. Di tengah keramaian manusia ini, dia harus mencari satu sosok Axelia. Tetapi fisiknya yang unik memudahkan mata Isabelle untuk menemukannya dalam sekali kilasan mata. Isabelle berharap begitu.

"Axelia!" teriaknya diliputi perasaan cemas.

Suara kegaduhan dari orang-orang berhasil menarik perhatian Isabelle untuk mendekat. Dia mendengar informasi dari mereka dan kemudian berlari cepat memasuki gang demi gang lalu berhenti di luar gang bersama sejumlah orang menonton. Isabelle menyeruak bahu mereka untuk mendapatkan akses ke tengah lingkaran. Seketika dia membulatkan mata melihat Axelia berdiri kaku dengan taring tajam menancap ke lehernya oleh seorang Exval yang menyandra. Orang-orang di sekitar tampak ketakutan dan bingung bagaimana harus menolongnya, sehingga mereka hanya terdiam waspada dengan tatapan bersimpati pada Axelia.

"Axelia!" panik Isabelle.

Axelia melemas ketika Exval itu melepas gigitannya. Darah mengalir dari luka di leher. Bagaimana pun Axelia adalah manusia, dia merasa pusing setelah darahnya disedot keluar. Pijakan seolah berputar-putar saat dia berusaha menjaga keseimbangannya.

"Tangkap Exval itu!" teriak polisi. Anak buahnya langsung menyerbu, akan tetapi Exval itu berlari menghindari. Keberadaan Axelia di tengah-tengah perhatian juga menarik tatapan waspada dari mereka. Karena manusia mana pun yang tergigit Exval akan menjadi seperti makhluk halus darah. Kekhawatiran sudah terasa di setiap embusan udara. Axelia bahkan dapat melihat jiwa kecemasan mereka meskipun dia tidak tahu bagaimana ekspresi para warga saat ini.

"Bu-bunuh dia selagi dia masih menjadi manusia!" Satu usulan pun lolos dari mulut warga. Yang lantas disebut serempak seolah setuju dengan ide tersebut. Membuat Isabelle gemetaran di tempat sembari berusaha memutar jalan keluar dari situasi yang membahayakan Axelia. Bisa gawat jika Axelia sampai terluka, tentu dia takut akan dimarahi habis-habisan oleh Aiden. Isabelle panik. Dia menggigit bibirnya sambil menggumam. "Bagaimana ini? Bagaimana ini?"

Polisi itu mendekat dengan raut garangnya. Sontak saja Isabelle berlari ke tengah lingkaran dan pasang badan di depan Axelia. "Kau tidak boleh melukainya sedikit pun!" Isabelle mengatakannya dengan mata berani. Melindungi Axelia sama saja dengan melindungi nyawanya sendiri. Oleh karena itu Isabelle bersedia melakukan apa saja agar Axelia tidak terluka.

"Minggir, bocah!"

Isabelle diam. Sorot matanya memancarkan ketajaman yang serius.

"Kau seorang kopral, bukan? Jangan sombong! Jika kau melindunginya kami anggap kau mengkhianati manusia! Kau tahu apa hukumannya, kan?"

Isabelle tahu. Sangat tahu. Karena dia sudah pernah belajar di akademi militer. Tetapi, meski dia sudah tahu namanya akan tercoreng buruk di mata masyarakat, Isabelle tetap bergeming di tempat. Kekeraskepalannya dianggap bodoh oleh orang-orang. Tentu saja siapa yang mau merusak nama sendiri hanya demi melindungi seorang wanita buta yang tak berdaya?

"Jika kau melukainya, aku tidak segan untuk melukaimu juga!" tegas Isabelle. Membuat wajah polisi itu merah padam menjadi geram. Baru kali ini dia menghadapi pertentangan dari bawahan seorang bocah. Seolah-olah melukai harga dirinya sebagai seorang perwira dengan pangkat lebih tinggi darinya.

"Bocah ini!" berang polisi itu. "Seret mereka ke dalam penjara!"

Tanpa penolakan, Isabelle dan Axelia diborgol untuk dibawa ke dalam kereta kuda menuju penjara. Isabelle merasa lega setidaknya untuk sekarang. Selama Axelia tidak dilukai, helaan napas lega terembus dari bibir Isabelle. Dia melirik pada Axelia. Gadis itu hanya diam sedari tadi. Sejujurnya Isabelle khawatir sekali padanya. Khawatir jika nanti Axelia akan berubah menjadi Exval dan tugasnya menjaga pun telah gagal. Mungkin dia hanya menunggu waktu virus Exval menyebar ke seluruh tubuh Axelia untuk mengubahnya menjadi makhluk haus darah.

"Isabelle ....." Suara lembut Axelia terdengar. Menyentak lamunan Isabelle yang tenggelam dalam kekhawatiran seorang diri. "Jangan khawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja." Perkataan seperti itu tidak bisa Isabelle percaya. Isabelle menganggapnya sebagai penghiburan untuk dirinya yang sedang murung.

Maka dengan berat dia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman getir. Toh Axelia tidak tahu kalau dia tersenyum masam menanggapi kata-kata itu. "Terima kasih Axelia. Bagaimana pun, aku akan gagal bertugas. Maafkan aku. Aku tidak becus menjagamu. Maafkan aku." Isabelle kehabisan kata-kata selain kata seribu maaf dia ucapkan padanya. Isabelle benar-benar menyalahkan dirinya sekarang.

***

Siguiente capítulo