"Apa sebaiknya kita menyusul mereka, Erik?" tanyaku sambil berjalan mondar-mandir di sekitar air mancur yang berada di depan rumah Nicholas dan Greg. Erik berdiri tidak jauh dariku, Ia belum mengubah posisinya sama sekali selama lima jam terakhir. Walaupun Erik sudah lima kali memintaku untuk menunggu di dalam, tapi aku tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu dengan sabar selama belum ada kabar atau kepastian tentang nasib Nick.
"Alice meminta saya untuk memastikan anda tidak kemana-mana selama mereka belum kembali, Miss Heather." Jawab Erik dengan sopan.
"Tapi..." kuangkat kedua tanganku untuk memprotes lalu menjatuhkannya lagi dengan sedikit pasrah, "Bagaimana jika sesuatu terjadi—"
"Miss Heather, anda tahu Mr. Shaw adalah Volder yang mengubah saya menjadi Leech?"
Aku membalasnya dengan anggukan kecil. Sebuah senyuman menghiasi wajah Erik sebelum Ia melanjutkan lagi, "Jika sesuatu terjadi pada Mr. Shaw maka hal itu akan terjadi pada saya juga."
"Maksudmu..." kubiarkan pertanyaanku menggantung di udara.
"Jika Mr. Shaw mati, saat ini saya juga sudah mati... Karena itu Alice meminta saya untuk menemani anda." Balasnya dengan lembut. Eric terlihat sangat tenang, tidak ada rasa khawatir atau takut akan kematian yang membayanginya. "Saya masih berada di sini saat ini."
Tiba-tiba udara di sekitarku terasa lebih dingin dari sebelumnya, kudekap mantel tebal yang membungkus tubuhku erat-erat. "Jadi... jika Alastair mati, aku juga akan mati." Gumamku pada diriku sendiri. Erik tidak mengatakan apapun saat mendengar gumamanku. Tanpa kusadari tanganku bergerak mengelus perutku, pantas saja Nick sangat membenci Alastair...
"Tunggu dulu..." Langkah kakiku berhenti di tempat saat sebuah pikiran melintas di kepalaku, "Seharusnya orang-orang dari klan Alastair tahu Ia belum mati, mereka melihatku di penthouse saat menahan Nick!"
Eric menarik mulutnya membentuk hampir sebuah senyuman simpati sebelum mengangguk kecil.
"Lalu mengapa mereka tetap membawa Nick?" tanyaku dengan marah.
Eric terdiam beberapa lama sebelum menjawabku. "Saya rasa tujuan utama klan itu bukan Mr. Shaw atau Alastair."
"Lalu apa—" suara mobil yang mendekat membuatku melupakan pertanyaanku. Kubalikkan tubuhku tepat saat sebuah mobil memasuki pelataran rumah Nick dan Greg, jendela mobilnya yang gelap membuatku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalamnya. Tapi aku yakin ini adalah mobil Greg, aku pernah melihatnya memakai mobil ini di San Fransisco. Jantungku berdebar keras saat salah satu pintunya terbuka, Greg keluar dari mobil dengan wajah berantakan, sebuah lebam melingkari salah satu matanya begitu juga sudut mulutnya. Tapi Ia tersenyum lebar saat melihatku lalu berjalan menghampiriku. Pandanganku belum teralih dari mobil saat Greg berhenti di depanku dan memelukku.
"Ya Tuhan, Ella, apa kau baru saja keluar dari freezer?" Kedua mata birunya menatapku dengan tatapan menyebalkannya. Alice keluar dari sisi kemudi lalu melemparkan kuncinya ke arah Greg yang langsung menangkapnya dengan salah satu tangannya.
"Kau memeluk Eleanor terlalu lama, Gregory." Gumam Alice sambil berjalan ke arah Erik, "Apa kalian masih punya suplai darah? Tipe O+ lebih baik."
Kedua mataku masih terpaku pada mobil Greg. Dimana Nick? Seakan-akan mengerti apa yang kucari, Greg mengikuti arah pandanganku lalu melepaskan pelukannya perlahan. "Ah iya, aku lupa..." gumamnya sebelum berjalan menuju mobil, "Erik? Kau bisa membantuku sebentar?"
Aku mengikuti Greg dari belakangnya, "A—apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara bergetar. Greg membuka pintu bagian belakang mobilnya hingga aku bisa melihat siapa yang duduk di dalamnya. Nick menyandarkan kepalanya di kursi dengan mata terpejam, wajahnya terlihat pucat dan lelah. Jika bukan karena tarikan nafasnya yang teratur mungkin aku mengira Ia sudah mati. "Nick?" Kudorong Greg ke samping agar aku bisa melihat lebih jelas.
"Whoa, Ella. Nick baik-baik saja, tapi saat ini Ia membutuhkan darah dan istirahat." Kata Greg sambil menarikku dengan lembut menjauh dari mobil. "Kami akan membawanya ke kamarnya. Kau bisa membantu Alice untuk mengambil suplai darah untuk Nick?"
Aku mengangguk tapi tidak bergerak dari tempatku. Greg tersenyum saat melihat ekspresi di wajahku, "Aku berjanji jika Nick tidak bangun dalam 24 jam kedepan, kau boleh mendorongku dari puncak gedung Shaw&Partner."
Kubalas tatapan kedua mata birunya dengan serius, "Jika Nick tidak bangun dalam 24 jam kedepan, aku ingin kau memutuskan hubunganmu dengan Lana."
Senyuman di wajah Greg memudar dengan cepat, "Aku hanya bercanda, Ella." Kedua matanya menatapku dengan sedikit marah lalu Ia berbalik untuk membantu Eric. Mereka membawa Nick ke kamarnya yang berada di lantai dua. Alice menyiapkan beberapa kantong tranfusi darah di dalam boks pendingin, Ia memberitahuku cara untuk mengganti selang IV setelah darah di dalam kantong habis. Erik dan Alice memiliki urusan lain jadi mereka tidak bisa tinggal lebih lama. Mereka memintaku menghubungi Erik saat Nick bangun. Greg ingin membantuku tapi Ia juga membutuhkan istirahat karena luka-lukanya, jadi aku mengusirnya saat Ia mulai cerewet.
Setelah selesai membersihkan luka Nick dengan handuk dan air hangat, kututup tirai jendela kamar Nick agar cahaya dari luar tidak mengganggu tidurnya. Matahari di luar sudah cukup tinggi. Kujatuhkan tubuhku di sofa yang berada tidak jauh dari tempat tidur Nick lalu menarik mantel tidurku sambil bergelung dan memejamkan mataku. Aku tidak sadar tubuhku merasa lelah sejak tadi, walaupun tidak yakin bisa tidur dengan tenang tapi dalam hitungan kelima aku sudah terlelap.
***
Rasa panas yang membakar tubuhku membuatku terbangun, kubuka kedua mataku menatap langit-langit kamar yang gelap. Rasanya aku baru tertidur lima menit... lalu kusadari aku sudah tidak berada di sofa lagi tapi di tempat tidur Nick, dan aku sendirian. Keringat dingin membanjiri punggungku diikuti oleh rasa haus dan terbakar di tenggorokanku. Dimana Nick? Jam berapa ini? Kupaksa tubuhku untuk bergerak turun dari tempat tidur lalu membuka tirai jendela saat melewatinya, langkahku terhenti sejenak saat sinar bulan membanjiri kamar yang gelap. Sudah semalam ini? Berapa lama aku tertidur? Sambil kembali melangkah menuju pintu kualihkan pandanganku ke jam yang berada di kamar Nick. Pukul setengah satu pagi.
Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering walaupun hal itu tidak mengurangi rasa hausku. Hampir empat belas jam aku tertidur... Pantas saja aku merasa sangat haus, terakhir kali aku minum darah hampir dua puluh empat jam yang lalu.
Sebelum aku sempat membukanya, pintu di depanku terbuka lebih dulu. Secara otomatis kakiku mundur beberapa langkah tapi sebuah tangan mencegahku dan menarikku ke dalam pelukan yang sangat kukenal. Kutarik nafasku dengan cepat karena terkejut, bau lezat memenuhi paru-paruku membuat rasa hausku semakin parah. Sebelum aku sempat membuka mulutku untuk menyebut namanya, kedua tangannya melingkari tubuhku dengan erat hingga aku tidak bisa menahan kedua sudut mulutku untuk membentuk senyuman.
Kubalas pelukannya dengan lebih erat sambil membenamkan wajahku di dadanya. Aku bisa mencium sedikit bau deterjen dari kemeja yang dikenakan Nick. Samar-samar aku mendengar suara beberapa orang sedang berbicara dari pintu yang masih terbuka lebar di balik punggung Nick. Kutarik tubuhku sedikit menjauh dari pelukannya lalu mendongak menatap wajah Nick, Ia membalas tatapanku dengan senyuman lebar. Nick jarang tersenyum selebar ini, sesaat Ia terlihat mirip dengan Greg.
"Aku mendengar suara langkahmu." Gumamnya, kedua tangannya bergerak menangkup wajahku, "Kau tidak tahu berapa lama aku menunggumu untuk bangun, Eleanor."
Nick mengenakan kemeja biru muda yang kedua lengannya dilipat hingga ke siku. Dan Ia terlihat sangat sehat. Pandanganku beralih dari wajahnya ke seluruh tubuhnya untuk mengecek lukanya, tapi tidak ada bekas luka sedikitpun yang terlihat di tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa?" suaraku terdengar sedikit tidak yakin saat bertanya. Aku tahu regenerasi dan metabolisme Volder beberapa puluh kali lipat lebih cepat daripada manusia, tapi tetap saja rasanya aneh melihatnya langsung seperti ini. Beberapa belas jam yang lalu Nick terluka parah dan sekarang Ia sudah berdiri di depanku terlihat sangat sehat.
Kedua tangannya menarik wajahku hingga aku menatap kedua mata birunya lagi. "Aku sangat baik-baik saja." Jawabnya sebelum kembali tersenyum. Kedua tanganku masih melingkari pinggangnya, kupeluk Nick sekali lagi dengan erat lalu melepaskannya. Bau tubuhnya dan darahnya membuatku semakin lapar. Seakan-akan mengerti rasa laparku, Nick menutup pintu kamarnya lalu membalikkan badannya ke arahku lagi.
Masih dengan tersenyum, salah satu tangannya membuka kancing teratas kemeja biru mudanya lalu menarik ujung kerahnya hingga pangkal lehernya terekspos. Kutelan ludahku sambil memandang nadi di lehernya yang berkedut ringan, membayangkan darahnya yang hangat mengalir di baliknya. Tanpa bisa kucegah kedua tanganku merangkul lehernya lalu menariknya hingga tubuh kami menempel, bau Nick memenuhi indra penciumanku membuatku memejamkan kedua mataku dan menarik nafasku dalam-dalam. Kubuka bibirku membiarkan kedua taringku terselip di antara bibirku lalu mencium pangkal leher Nick. Detik berikutnya taringku sudah terbenam di nadi leher Nick, darah yang hangat dan lezat mengalir ke dalam tenggorokanku. Samar aku mendengar suara geraman Nick, kedua tangannya meremas pinggangku dengan erat. Aku tidak bisa menahan suara desahan puasku dalam tiap tegukan darah yang kuminum. Seluruh panca indraku menjadi lebih tajam saat aku meminum darah Nick, aku bisa mendengar setiap tarikan nafasnya dengan jelas dan merasakan suhu tubuhnya yang hangat di balik lapisan pakaian yang kami kenakan.
Kupaksa diriku untuk menjauh darinya saat rasa terbakar di tenggorokanku sudah hampir menghilang lalu mendongak menatap kedua mata biru Nick terlihat sangat jernih, kedua pupilnya sedikit melebar saat membalas tatapanku. Tanpa memutus tatapan kami, kuhapus darah di sudut bibirku dengan punggung tanganku. Kali ini giliran Nick yang menelan ludahnya.
Nick mengulurkan tangan kanannya ke arahku, sesaat aku mengira Ia akan memelukku lagi tapi bukannya menarikku ke dalam pelukannya Nick malah mendorongku perlahan ke belakang beberapa langkah. Sebelum aku sempat bertanya, kedua kakiku menabrak tempat tidur di belakangku hingga aku kehilangan keseimbanganku dan terjatuh di atas tempat tidur. Kedua mata Nick mengikuti setiap gerakanku tanpa berkedip sedikitpun, ekspresi di wajahnya saat ini hampir membuat nafasku tertahan di dalam dadaku. Ia mengikutiku menjatuhkan tubuhnya, memerangkapku di tengah tempat tidurnya.
Jantungku berdebar sangat cepat sejak beberapa menit yang lalu mengimbangi setiap tarikan nafas gugupku, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Aku bisa melihat seluruh detail wajahnya dalam jarak sedekat ini, kedua mata biru briliannya serta pupilnya yang melebar saat memandangku, lekukan sudut bibirnya yang selama ini lebih sering cemberut daripada tersenyum, rambut coklat gelapnya yang biasanya rapi kini jatuh menutupi dahinya. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di dalam kepalaku.
"Um, Nick," gumamku dengan sedikit panik sambil berusaha menjauhkan tubuhku darinya, "Nick, kau harus melepaskanku..."
Bukannya melepaskanku, kedua tangannya malah mencengkeram tanganku untuk mencegahku kabur. Tanpa menjawabku Nick membenamkan wajahnya di antara rambutku yang terurai berantakan di sekitar kepalaku. Aku berusaha menarik kedua tanganku dari cengekeramannya lagi, "N—Nick."
"Hmm?" gumamnya tanpa mengangkat kepalanya, jantungku terlonjak kecil di dalam dadaku saat Ia menyapukan bibirnya di leherku. Kucoba untuk mendorong tubuhnya menjauh tapi tetap saja Nick terlalu berat untukku. "Nick, tunggu dulu... ugh, aku—aku belum mandi sejak kemarin!"
Seperti mantra, Nick menghentikannya ciumannya di rahangku detik itu juga lalu menarik wajahnya menjauh hingga Ia bisa memandangku. Kedua alisnya berkerut serius tapi salah satu sudut mulutnya seperti ditahan untuk tidak membentuk senyuman. "Hmmm... pantas saja." Gumamnya sambil memperhatikan wajahku, kedua mata birunya yang jernih menjelajahi setiap inci wajahku yang memerah.
"Pantas saja apa?" tanyaku dengan rasa malu yang luar biasa. Rasanya aku ingin melompat dan lari ke kamar mandi saat ini juga. Salah satu sudut mulut Nick berkedut sekilas.
"Pantas saja aku tidak bisa menahan diriku untuk menyerangmu, Eleanor." Bisiknya dengan suara rendah yang membuat bulu halus di tengkukku meremang. Jantungku melonjak lagi di dalam dadaku diikuti oleh perasaan hangat yang membuatku ingin meleleh di tempat. Nick menundukkan kepalanya lagi untuk mencium pelipisku dengan lembut, kurasakan tangan kanannya bergerak menarik gaun tidurku perlahan.
"Nick." Protesku dengan lemah, tapi kali ini bukannya mendorongnya menjauh kedua tanganku memeluknya dengan erat.