Misi dendam Rio kepada orang yang telah membantai keluarganya membawanya pada orang-orang yang merasakan hal yang sama dan terlibat dalam satu peristiwa yang sama. Misi itu tidak mudah, karena ia harus berhadapan dengan orang yang dulu begitu dekat dengannya, tetapi entah dengan alasan apa, orang itu menghabisi keluarganya dengan keji.
Malam itu Rio sekeluarga baru saja menyelesaikan makan malam saat pintu depan digedor dengan sangat keras. Sang Ayah pun berinisiatif untuk melihat sjapa gerangan yang bertamu tanpa sopan santun di malam hari seperti ini. Rio kecil yang saat itu baru berumur sepuluh tahun tampak tak peduli dan asyik dengan makanan yang ada di piringnya. Sang Ibu dengan telaten mengelap sisa-sisa makanan yang tercecer di sekitar mulut dengan tisu. Sang Kakak yang sudah selesai makan, sibuk menghabiskan susunya.
Awalnya semua berjalan normal, hingga sesaat kemudian sang Ayah tergopoh berlari dan menyuruh sang anak dan istri bersembunyi.
"Rio, Acel, cepat masuk ke kamar kalian masing-masing! Kunci pintu dan jangan keluar sebelum Ayah panggil!"
Rio kecil hanya menurut saja dan langsung masuk ke kamar, mengunci pintu dan meringkuk di ranjang. Otak pintarnya mulai bekerja saat ia mendengar pintu rumahnya di dobrak dan teriakan sang Ayah menjerit pilu. Rio ingin keluar, tetapi ia teringat dengan pesan sang Ayah, akhirnya dengan tangan bergetar, Rio meraih ponsel miliknya dan menghubungi kantor polisi. Sembari menunggu panggilannya terhubung, Rio merangkak masuk ke kolong tempat tidur.
"To-tolong!" tangis Rio pecah saat mendengar suara tembakan dan jerit kedua orangtuanya.
Jeritan pilu dari kedua orangtuanya membuat Rio menutup telinganya. Badannya menggigil ketakutan. Ia tak lagi mempedulikan suara polisi yang memanggil-manggil namanya. Ia menutup telinga dan menangis dalam diam, berusaha untuk tak mengeluarkan suara sesikit pun
"Geledah seluruh rumah, pastikan tidak ada yang tersisa satu pun!" Teriakan itu semakin menambah ketakutan Rio , bibirnya komat-kamit membaca doa. Terdengar pintu kamar tempatnya bersembunyi didobrak, lalu langkah kaki yang banyak mulai masuk dan menjelajahi isi kamar.
"Tuhan, lindungilah aku!" Doa tak henti terus terucap dari bibir bocah itu.
Suara barang yang dihambur, lemari yang dibuka paksa menjadi backsound malam berdarah kala itu. Bahkan pintu kamar mandi yang ditendang pun copot engselnya dan teronggok mengenaskan di lantai.
Rio membekap mulut agar isak tangisnya tak terdengar saat seseorang berjalan semakin mendekat ke ranjang dan bersiap untuk berjongkok mengintip ke kolong. Saat sedang putus harapan, suara sirine polisi membuat Rio menghela napas lega.
"Ayo pergi, ada polisi sedang menuju kemari. Sial! Pasti masih ada yang hidup dan melapor kepada polisi." Perintah dari atasannya membuat orang itu mengurungkan niat mengintip kolong tempat tidur. Perlahan langkah kaki mulai menjauh dari pintu, bocah itu menghela nafas lega.
"Terima kasih, Tuhan!" Ia bersyukur orang-orang itu tidak menemukan tempat persembunyiannya.
Setelah merasa semuanya aman, ia segera keluar dari tempat persembunyian, menuju ke jendela dan terlihat mobil yang mulai menjauh dari rumahnya. Segera saja ia berlari turun ke lantai satu, rumahnya seperti kapal pecah, semua barang hancur dan berantakan.
Deg!
Tubuhnya mematung, perlahan air matanya turun dengan deras saat melihat orang-orang yang sangat disayanginya tengah terbujur kaku dengan darah di seluruh tubuhnya.
"Ayah, Bunda, Kak Acel...." ucapnya lirih. Dengan perlahan ia berjalan mendekat, lututnya terasa goyah, tapi ia terus menguatkan hatinya. Didekapnya jasad kedua orang tua dan kakaknya, tangis yang begitu memilukan mengisi keheningan malam itu. Tak ada orang yang tahu karena saat itu tengah malam dan semua orang sedang terbuai dalam mimpinya.
Tangisnya sudah berhenti berganti dengan tatapan yang tajam, dilihat nya secarik kain dengan logo bergambar naga di dekat jasad kakaknya. Diraihnya kain itu dan diremas dengan kuat. Dendam. Ya, hanya satu kata yang terlintas dalam otak bocah itu, jelas ia tahu siapa pemilik kain itu.
"Ayah, Bunda, Kak Acel .... Tenanglah dalam istirahat kalian, aku janji akan membalaskan dendam kalian!" tekatnya membara. Perlahan dikecupnya kening mereka satu persatu, tak ada lagi air mata, hanya raut wajah dingin dan sorot mata yang tajam, bocah berumur sepuluh tahun itu telah menjadi sosok yang lain.
Tak lama, polisi datang dan segera mengevakuasi korban. Selama itu pula, Rio hanya diam tanpa ekspresi, bahkan saat diinterogasi oleh polisi, Rio hanya menjawab seperlunya saja. Di umurnya yang masih sekecil itu, Rio harus menyaksikan sendiri pembantaian keluarganya.