webnovel

Sepuluh Garis Besar

Selalu saja sepi seperti malam-malam sebelumnya. Hanya bisa berdiri terdiam di balkoni sambil melihat langit malam. Aku mulai menyeret sebuah kursi ke tempatku dan setelah itu duduk sambil sesekali mengecek isi HPku. Hal seperti ini bagiku sangat menenangkan raga. Yaa karena kamarku berada di lantai tiga.

Sekedar info, gedung asrama ini memiliki empat lantai. Lantai pertama dan kedua untuk kelas B. Lantai ketiga dan keempat untuk kelas A. Namun, ada hal lain yang mengherankan. Kepemilikkan kamar diurut sesuai nomor absen. Mau cewek atau cowok tetap berada di satu gedung yang sama. Selain itu, per lantai ada sepuluh kamar. Itulah alasannya kamarku berada di lantai tiga.

Saat berdiam diri seperti ini, terkadang aku juga memikirkan beberapa hal mengenai kehidupan sekolahku yang sekarang. Dari awal masuk hingga sekarang sudah banyak yang kupikirkan.

Pertemanan, persaingan, harta, tahta, wanita. Selain itu, aku tak mempunyai prestasi apapun dan nilaiku standar KKM. Kemampuanku ini bukanlah suatu hal yang mesti dibanggakan. Justru aku harus bersusah payah untuk menyembunyikan hal tersebut.

Dikala semuanya sudah tau akan kemampuanku. Maka pada saat itulah aku harus benar-benar serius dalam menanggapi sesuatu.

Aku ingin meminum sesuatu yang hangat. Hanya saja diriku terlalu malas untuk bangun dan membuat itu. Lagipula masih ada beberapa hal yang harus kupikirkan lagi.

Final Election kurang empat hari lagi.

Suara dari kelas C saja tak cukup.

Meskipun aku masih membutuhkan suara dari kelas lain.

Apakah rencanaku cukup sampai di sini saja?

"Arrgghh ... bagaimana caranya agar aku menang dalam pemilihan nanti!"

Kuharap kamar sebelah tidak mendengarkan ujaranku. Meskipun masih jam sembilan sih. Kucoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu.

Namun, sempat saja terlintas beberapa pemikiran.

Aku ini terlihat cukup egois untuk segi seseorang yang pernah menjadi pemimpin. Apakah jabatan ketua kelas sangat penting bagiku?

Saat SMP aku sudah tiga kali menjadi ketua kelas. Apakah yang kudapatkan di masa lalu itu masih kurang bagiku?

Mungkin penting juga!

Alasan penempatanku di kelas A adalah untuk dijadikan ketua kelas. Hanya saja kalau penghuni kelasnya sudah begitu, bagaimana caranya aku menjadi ketua kelas?

Bukan karena banyak yang menolakku. Tapi, dua orang yang berambisi untuk menjadi pemimpin dari kelas tertinggi saat ini.

Yaa meskipun informasi yang kudapatkan bahwa kompetisi peringkat antar kelas akan dimulai semester depan. Kurasa mereka berdua terlalu terburu-buru untuk mendapatkan jabatan tersebut. Aku sendiri merasa iba dengan dua orang itu yang pada nyatanya ingin sekali merasakan jadi ketua kelas. Terutama Arkan yang jika kuamati track history nya, dia tak punya pengalaman akan hal itu. Edward juga sama sih seperti Arkan, namun bisa kupastikan orang berduit sepertinya pasti bisa menjalankan apapun dengan lancar.

Aku tau track history mereka dari Rio. Dia memanglah intel yang bermanfaat. Bahkan beberapa hari lalu dia menyerahkan informasi penting tentang beberapa tempat di sekolah yang tak terpasang CCTV.

Kembali ke dalam topik antara Arkan dan Edward. Perbandingan di antara dua orang ini adalah Edward memang berduit dan mampu memutuskan apapun dengan bijak. Kalau Arkan, mungkinkah kepercayaan diri?

Seperti yang Edward singgung pada waktu itu. Kepercayaan diri saja tak cukup. Selain itu, Arkan juga banyak mempunyai kenalan. Aku tidak bisa meragukan tindakannya untuk menyebarkan poster pencalonan dirinya. Mengingat relasinya di sekolah, bisa saja dia mendapatkan suara yang banyak, kan?

Namun, selepas dari semua itu. Murid Kelas mana yang ingin kelas tertinggi mendapatkan ketua kelas yang berpotensi?

Di sisi lain, aku belum memastikan kecerdasan mereka dalam memimpin.

Aku jadi ingat sepatah dua patah kata seorang politikus dari italia pada jaman dahulu.

"Cara pertama untuk mengukur kecerdasan seorang penguasa adalah melihat siapa orang-orang di sekitarnya."

Oh oke ....

Aku saat ini berusaha memikirkan siapa saja orang-orang di sekitar Edward dan Arkan.

Orang-orang di sekitar Arkan ....

Orang-orang di sekitar Edward ....

Sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, cukup untuk saling menutupi kekurangan masing-masing kubu. Sayangnya di antara kedua orang tersebut, mereka benar-benar berbeda pemahaman. Kubu pertama dengan pemikiran demokrasi dan kubu kedua dalam pemahaman kapitalisasi.

Hadeuh ....

Memangnya mau cold war atau perang ideologi, ya?

Namun, dari banyaknya pemikiranku tadi. Satu hal yang masih saja bergentayangan di pikiranku.

Apakah tempatku ini benar-benar sekolah swasta?

Ah ....

Kepalaku cukup pusing. Aku mulai memijat keningku. Setelah itu aku bangun dari tempat duduk dan masuk ke dalam kamar. Lalu segera tidur dan menunggu masalah yang akan datang esok hari.

>===X===<

Keesokan harinya di sekolah.

Suasana kelas masih sama seperti kemarin. Aku hanya bisa duduk terdiam sambil membaca buku pelajaran. Meskipun guru tak akan masuk kelas sih.

Saat ini tidak terlalu sepi dan juga tidak bisa dikatakan ramai. Aku tidak bisa menyebutkan siapa saja yang saat ini berada di kelas. Yang pasti Arkan dan seluruh bawahannya tidak berada di kelas. Padahal belum jam istirahat tapi mereka malah keluyuran.

"Tidak seperti dirimu yang biasanya ...."

Aku sudah sangat mengenal suara ini. Bisa kukatakan gadis paling dibenci di kelas meskipun dirinya sangatlah manis dan cantik.

"Dari pada bengong dan diam saja mending aku baca beberapa buku pelajaran," jawabku masih dalam membaca buku.

"Kamu menyindirku, ya?" tanya Hyuki sedikit kesal.

Apakah dia kedatangan tamu setiap hari? Selalu saja menunjukkan muka kesal kepadaku. Aku jadi ingin melihatnya tersenyum.

"Yaa ... gak juga sih, aku hanya sadar diri saja. Diriku ini tak sepintar murid-murid lainnya," ucapku dengan posisi yang sama.

"Begitulah kenyataannya, bahkan dirimu tak menyadari kemampuan diri sendiri," sahut Hyuki masih dengan tampang yang dingin.

"Daripada hanya mengkritikku saja, lebih baik kamu melakukan hal yang sama sepertiku," ujarku masih tak memperhatikannya.

"Diriku tidaklah sepertimu. Aku sudah mempelajari semua buku tersebut. Meskipun masih ada beberapa yang belum kumengerti ...," balas Hyuki.

"Terserah saja ...," gumamku.

"Eh apa katamu?" tanya Hyuki.

Aku tak membalas responnya. Diriku lebih memilih untuk tetap fokus membaca buku ini. Ah ... meskipun begitu, Hyuki sudah mengacaukan konsenstrasiku. Lalu, kenapa dia serius sekali memandangiku?

Pandangannya bukanlah menunjukkan perasaan suka. Namun, sangatlah mengancam bagiku. Dengan tatapan tajam seperti itu kurasa dia sangatlah mencurigai tindakanku saat ini.

Atau hanya perasaanku saja? Yaa ... karena aku merasa tak pandai dalam menilai ekspresi seseorang.

"Woe Rafael! Diperhatiin terus tuh sama Hyuki ... yakin mau dikacangin aja?"

Awalnya kukira Riki yang mengatakan hal itu. Hanya saja ketika aku berbalik badan.

"Ada urusan apa menghampiriku?" tanyaku datar.

"Apaan sih Edward! Merusak suasana aja ...," cela Hyuki memarahinya.

Oh iya mereka berdua pernah pacaran, kan? Hmm ... wajar aja respon mereka begitu. Tuh kan keduanya malah saling menatap dengan penuh amarah. Walaupun aku tak pandai dengan hubungan asmara, mungkin melerai lebih baik.

"Sudah ... sudah ... emangnya kalau sudah jadi mantan harus musuhan yaa?" ucapku menatap ke arah mereka berdua.

"HAH MANTAN!!!" bentak Hyuki kepadaku.

"Dari mana kau tahu itu Rafael?" tanya Edward curiga.

Tuh kan malah jadi kecurigaan yang berantai. Dasar diriku ini, terkadang bisa blak-blakan juga.

"Ah ga usah dibahas dulu ... ngomong-ngomong ada urusan apa mencariku?" ujarku sambil menatap Edward.

"Oh iya! Udah jam istirahat nih. Mau ke kantin gak?" ajak Edward.

Eh? Kesambet roh juru kunci sekolah? Ya heran aja sih, tiba-tiba mengajakku ke kantin begini. Pasti ada maunya nih orang. Tapi kalau diem di kelas, aku sendiri merasa tak nyaman karena hawa keberadaan Hyuki.

"Rafael! Dari mana kamu tau?!" ujar Hyuki masih menatapku dengan penuh kecurigaan.

Sudah kubilang gak usah dibahas, tapi tetep aja nyolot. Cantik-cantik bikin risih. Meskipun penampilannya termasuk tipeku, tapi tatapannya itu loh! Seakan-akan siap mencabikku kapan saja. Ya sudah lebih baik begini saja.

"Oh oke ... lagian aku udah lapar," jawabku.

"Sip kuy ke kantin!" ajak Edward.

Aku langsung memberi kode ke Edward agar segera bergegas kabur ke kantin. Saat setelah diriku bangun dan keluar dari tempat duduk. Aku pun langsung berjalan dengan cepat, Edward sendiri langsung menyusulku.

"Eh ... RAFAEL!!!!!" teriak Hyuki.

Teriakkan cukup menyita perhatian seluruh kelas. Selain itu terdengar imut bagiku.

>===÷===<

Sesampainya di kantin. Kami langsung memesan makanan dan segera mencari tempat duduk. Karena jam istirahat baru saja mulai, suasana kantin lumayan sepi. Bahkan aku sendiri tidak menemukan keberadaan Arkan dan teman-temannya.

Saat sudah menemukan tempat duduk yang kami inginkan, aku dan Edward langsung menempati tempat tersebut.

Lalu ... posisi macam apa ini!

Risih aja rasanya duduk dengan posisi begini. Apalagi kami berdua sama-sama cowok.

"Edward, gak usah menjaga jarak dariku. Kau tak perlu sampai duduk di depanku begini," ujarku heran.

"Hmm ... aneh ya? Ya sudah kupindah saja di sebelahmu."

Ya aneh lah kutu!

Seharusnya tadi kuajak Riki atau Ivan gitu. Yaa biar suasananya gak berdua aja.

Saat dia sudah duduk di sebelahku.

"Jadi ... apakah ada sesuatu yang ingin kau bahas?" tanyaku.

"Ah iya ... kira-kira sudah berapa suara yang kau dapatkan?" tanya Edward sembari tersenyum dan memasang tatapan tajam.

Dia mau pamer ya? Kurasa suara yang dia dapat lebih banyak. Pasalnya orang seperti dia pastinya bermain-main dengan uang untuk mendapatkan suara.

"Ah ... aku gak yakin ... suara yang kudapatkan rasanya dikit sekali," jawabku sedikit memalingkan pandangan.

"Oh yaa? Aku tak yakin dengan seseorang yang pansos sepertimu malah mendapatkan suara yang sedikit," ujar Edward curiga menatapku.

Pansos? Apakah tindakan telat dan berkeliaran saat jam pelajaran termasuk pansos? Atau jangan-jangan ....

"Kenapa kau menyebutku pansos?" tanyaku datar.

"Banyak rumor yang beredar tentang masa lalumu ... namun sayangnya tidak sedikit juga yang menganggap hal itu hoax ...," jelas Edward.

"Ah syukurlah ...."

"Eh syukur kenapa?"

"Tidak apa-apa ...."

Aku sedikit berpikir tentang apa yang dikatakan Edward dan sedikit berspekulasi tentang sumber informasi tersebut.

"Pesanan datang ...," ucap seorang petugas kantin membawakan pesanan kami.

Mie goreng juga?

Kenapa dia memesan hal yang sama?

"Edward ...."

"Hmm ?"

"Apakah kebiasaan orang kaya tuh emang suka makan mie goreng yaa?"

"Lah kamu sendiri juga begitu ...."

"Ah iya juga ..., EH SEBENTAR DULU!! Ga seharusnya bahas mie goreng!" ujarku.

Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Untungnya selepas itu suasana kembali datar dan kami berdua langsung menyantap makanan yang kami pesan. Namun, kucoba untuk menyinggung perolehan suara yang dia maksud.

"Jadi ... sudah berapa suara yang kau kumpulkan di luar kelas?" tanyaku.

"Oh ... cuma satu-"

"Ah aku juga satu ...," potongku.

Entah kenapa kumerasa aneh. Namun, Edward sendiri juga terlihat merasakan hal yang sama sepertiku. Hingga kami berdua berhenti menyantap makanan dan saling bertatap curiga. Kucoba untuk mengucapkan sesuatu,

"jadi ... daripada saling penasaran begini, mungkin ada baiknya kita menyebut jumlah suara secara bersamaan ...."

"Hmm ... boleh juga, oke mari kita hitung ...."

Buset dah ....

Ah bodo amat! lagipula aku sendiri penasaran dengan jumlah suaranya. Masa iya cuma satu orang.

"Satu ...," ucapku.

"Dua ...," ucap Edward.

"Jumlah suara satu kelas!"

"Jumlah suara satu kelas ...."

Eh?

Jumlah suara satu kelas? Sama sepertiku dong! Wah ga beres nih ....

Pasti dia berbohong!

"Eh Rafael ga usah bohong!!!" bentak Edward.

"Heh? Tapi kenyataannya begitu! Aku hanya bisa meminta bantuan kepada seorang ketua kelas ...," balasku.

"Hmm ... sepertinya kau tak berbohong, tapi sama sepertiku. Aku hanya bisa merayu salah satu kelas saja, tapi susahnya kelas itu malah sama seperti kita."

Apakah dia bisa mengetahui seseorang yang berbohong? Atau ... dia itu hanyalah seseorang yang pandai menilai ekspresi.

"Belum memiliki ketua kelas?" tanyaku.

"Benar sekali ... maka daripada itu, belum ada jaminan juga nantinya jumlah suaraku setara dengan satu kelas."

Ah iya bener juga sih. Aku sendiri masih belum yakin dengan suara seluruh kelas C. Apakah Marie benar-benar menyuruh seluruh murid di kelasnya untuk memilihku? Apalagi suara satu kelas kan artinya sudah mendapatkan dua puluh suara.

Sambil menyantap makananku. Aku jadi teringat ucapan Kak Ruka waktu itu. Kelas yang bernasib sama seperti kelas kami yaitu kelas E. Boleh juga nih Edward! Meminta bantuan ke kelas paling bawah.

"Oh iya Raf!" panggil Edward.

"Hmm?"

"Waktu itu aku dimintai tolong untuk menyampaikan sebuah pesan untukmu dari salah satu siswi kelas E," jelas Edward.

"Dari siapa tuh?"

"Kalau gak salah dari Yuri ... Yuri ...," ucap Edward berusaha keras untuk mengingat.

Oh dia ....

Aku ingat nama gadis yang akan disebut Edward. Tapi sampai saat ini dia hanya mengingat nama Yuri dan mengucapnya berulang kali.

"Yurika?" sahutku.

"Ah iya! Yurika ... dia bilang bahwa kamu harus menemuinya besok saat pulang sekolah di-"

"Sssttt ...."

Aku baru sadar jika suasana kantin bertambah ramai. Apalagi Yurika menyuruhku mencarinya. Pasti akan ada sesuatu yang terjadi.

"Eh emangnya kenapa-"

"Lebih baik kau membisikkanku tempat dimana Yurika akan menungguku ..," pintaku.

Edward terlihat sangat heran dengan yang kuucapkan. Namun, terlihat rasa herannya menyusut ketika sadar akan situasi sekitar. Edward pun berbisik kepadaku tentang tempat yang Yurika maksud.

Setelah itu Edward semakin terlihat heran dengan sikapku.

"Kok bisa tau? Emangnya Yurika itu siapamu?"

"Yurika adalah temanku saat SMP, yaa meskipun tak satu sekolah sih."

"Aneh ...," curiga Edward.

"Aneh kenapa?"

"Kemarin-kemarin kau sendiri tak ingat siapa teman SMPmu padahal kalian satu sekolah, kan?"

"Siapa yang kau maksud?"

"Itu si Vika, dia mengaku pernah satu sekolah denganmu, kan?" tanya Edward memastikan.

Yurika memanglah temanku saat SMP. Tapi aku sendiri masih tak yakin tentang Vika. Seharusnya Edward tidak usah terlalu peduli mengenai gadis tersebut. Toh juga Vika bukan pendukung Edward.

"Jujur saja aku tak ingat sama sekali tentang Vika aku sendiri merasa baru kali ini mengenalnya ...," ujarku.

"Kalau Yurika?"

"Aku ingat betul tentang gadis tersebut!"

Edward sedikit tersenyum dan geleng-geleng kepala. Memangnya ada yang aneh dariku?

"Apakah daya ingatmu tentang seorang gadis diukur dari seberapa cantiknya mereka?" tanya Edward masih tersenyum menyindirku.

Namun, aku sendiri masih tak mengerti apa maksudnya. Meskipun aku sadar yang dia maksud itu perbedaan antara Vika dan Yurika. Seingatku penampilan Yurika yaitu kulit seputih salju dan berambut panjang hitam sepinggang. Namun hanya itu yang bisa kuingat.

"Hah? Apa hubungannya dengan kecantikkan Yurika?"

"Nah tuh kan! Giliran cantik malah ingat ... dasar!" bentak Edward.

"Ah sudahlah ... gak usah dibahas ...," ujarku sambung menyantap makanan.

Kulirik tatapan Edward makin dipenuhi oleh perasaan curiga. Kurasa ada yang mengganjal dipikirannya tentang caraku mengingat seseorang.

"Kurasa ada yang salah dengan memorimu mengenai ingatan masa lalu ...," gumam Edward

Kuakui ada yang salah dengan ingatanku ini. Beberapa hari kemarin, saat ayah menelponku. Dia memberitahu sesuatu tentang ingatan yang dirubah.

"Kau sadar akan hal itu yaa ...," balasku.

Edward tersenyum percaya diri dan sepertinya dia telah mengetahui sesuatu.

"Yurika telah bercerita kepadaku segalanya tentang dirimu ...."

Seharusnya aku kaget saat mendengar perkataannya. Hanya saja aku tahu jika berbicara dengan uang, gadis seperti Yurika tak akan tinggal diam begitu saja.

"Oke aku mengerti ... jadi dia juga bercerita tentang Vika?"

"Tentu saja ...."

Yah aku bisa memaklumi hal seperti ini.

Pandanganku mulai teralihkan oleh seorang murid laki-laki berpenampilan cukup sangar dan dingin, namun bisa kukatakan tampan dengan model rambutnya curtain haircut yang sedikit lebat dan panjang berwarna coklat muda. Dia juga cukup tinggi dengan tubuhnya yang terlihat atletis seperti Ivan. Namun, sebenarnya ada hal lain yang membuatnya mencuri perhatianku. Hal itu adalah orang-orang yang mengikutinya.

Dua laki-laki dan dua perempuan mengikutinya dari belakang. Ekspresi mereka terlihat pasrah dan serasa sedang dipaksa. Satu hal lagi yang menarik perhatianku.

"Aku tak ingat jika sekolah ini memperbolehkan perhiasan seperti kalung choker, mencurigakan ... apalagi warnanya hitam ...," gumamku.

Setelah mendengar ucapanku, Edward langsung melirik ke arah para murid yang kumaksud. Sepertinya dia mengetahui sesuatu tentang murid-murid tersebut.

"Oh mereka ... yang di depan itu Ares ketua kelas D, terus yang di belakangnya hanyalah pesuruh ...."

"Tega sekali dia menganggap teman sekelasnya sebagai pesuruh-"

"Eits tunggu dulu, Rafael ... mereka-mereka yang di belakangnya itu bukanlah anak kelas D melainkan anak kelas E," ujar Edward.

"Apa coba haknya dia untuk menyuruh-nyuruh murid dari kelas lain!" ujarku kesal.

"Asal kau tau saja Rafael ... murid-murid dari kelas bawah memang sudah biasa dijatuhkan hal-hal diskriminasi seperti ini, jika mereka melawan maka akan dikeluarkan," jelas Edward.

"Apa coba hubungannya? Mentang-mentang mereka kelas bawah!" seru diriku semakin kesal.

Mampus aku! Kurasa Ares sedikit melirik ke arahku.

"Aku sendiri tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun bisa kau lihat kalung choker mereka, kan? Itu seperti sudah menjadi lambang bahwa mereka dari kelas tingkatan bawah ...," jelas Edward pasrah.

Mendengar Edward mengucapkan kelas tingkat bawah dan mengingat Yurika. Membuatku jadi naik pitam. Sudah lama aku tidak merasa sekesal ini.

Masalahnya ....

Melihat mereka yang di depanku saat ini saja sudah membuatku tak tega dan ingin segera melawan orang tersebut. Apalagi jika hal seperti ini menimpa Yurika.

Aku yang saat ini serasa dibimbing oleh perasaan kesal dan marah mulai bangun dari tempat dudukku. Aku keluar dari tempat duduk dengan raut muka kesal lalu segera melangkah ke orang tersebut.

"Rafael tunggu!" ujar Edward sambil menarik tanganku.

Seketika aku sadar jika yang kulakukan terlalu ceroboh. Aku mulai mengendalikan emosi dan berusaha sabar.

Namun untuk kesekian kalinya aku sendiri tak ingin melihat gadis secantik Yurika harus meneteskan air mata hanya karena penindasan di masa lalunya.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Unterdrückung

Siguiente capítulo