webnovel

Penindasan

The ultimate tragedy is not the oppression and cruelty by the bad people but the silence over that by the good people.

-Martin Luther King (1929-1968)

>===o===<

Keesokan harinya ....

Suasana kelas yang sebelumnya mulai terlihat hidup, kini mulai suram kembali. Meskipun siang ini masih terlihat cerah, akan tetapi masing-masing kubu mulai menampakkan sikap individualismenya kembali. Kelompokku pada saat ini masih menghindari kecurigaan dengan cara sebisa mungkin tidak menjaga jarak dari murid-murid lainnya. Namun, pada kenyataannya situasi sekarang tidak seperti yang kami inginkan. Hal seperti ini mungkin bisa terjadi karena dua hari lagi akan dilaksanakan Final Election secara terbuka dan diikuti oleh seluruh kelas sepuluh.

Aku sendiri hanya bisa duduk terdiam dengan isi kepala yang padat akan kekhawatiran terhadap seseorang yang kuanggap sebagai teman masa kecil.

Selain itu, aku sedang memikirkan beberapa kemungkinan saat pergi ke tempat yang dimaksud oleh Edward. Awalnya aku masih tak percaya akan ucapannya. Akan tetapi, mengetahui kenyataan bahwa kelas terbawah benar-benar mendapatkan sebuah diskriminasi yang nyata. Aku tak bisa tinggal diam begitu saja, meskipun diriku pernah melakukan hal itu di masa lalu.

Kurasa aneh, jika aku baru tahu kalau Yurika bersekolah di sini. Seingatku saat hari kelulusan, dia hanya memberitahuku akan bersekolah di luar negeri, tapi kenyatannya sungguh berbeda. Aku mulai ragu akan hal itu. Apakah Yurika yang dimaksud Edward benar-benar seseorang yang pernah kukenal?

Argh ....

Aku mulai ragu terhadap ingatanku sendiri.

Meskipun ada beberapa kontrakdiksi dalam ingatanku dengan kenyataan. Namun, ada juga orang-orang yang secara tak kusadari telah kulupakan. Contoh saja Vika yang menyatakan bahwa dirinya mengetahui masa laluku. Tak hanya Vika yang seperti itu. Ada juga seorang gadis bernama Marie. Gadis berambut putih ini mengetahui hal yang sama seperti Vika, hanya saja dia bersikap baik kepadaku.

Kenyataannya yang kuingat hanyalah Yurika seorang!

Padahal aku sendiri ingat. Aku dan dia tidak pernah satu sekolah. Akan tetapi, memoriku berkata bahwa kami sangatlah dekat. Apalagi jika berada di luar jam sekolah, aku bisa menemuinya lebih sering daripada sebatas seorang kekasih.

Untuk saat ini yang bisa kulakukan hanyalah berusaha berpikir optimis, bahwa Yurika yang kuingat masih sama seperti sekarang. Yurika yang dulu, jika tiba-tiba meminta tolong kepadaku untuk menemuinya. Pasti akan ada sesuatu yang menimpanya.

Kring ... kring ... kring ....

Oke sudah waktunya. Jam sekolah sudah berakhir, aku harus memasukkan buku-buku ini dan segera bergegas ke tempat tersebut.

Kok kurang ya? Ah iya masih ada sebuah buku di kolong bangku. Buku peraturan? Ah tak ada waktu untuk memasukkan yang satu ini ke dalam tas, lebih baik kukantongi saja.

"Rafael ...."

Aku harus segera bangun dari tempat dudukku dan pergi ke tempat tersebut.

"Aww ...."

"Eh maaf Clarissa ...."

Sejak kapan dia berdiri di sampingku?

"Lagian sih ... mau berdiri gak liat-liat ...."

"Sejak kapan mau bangun dari tempat duduk harus lihat sekitar?" ujarku merasa heran.

"Hemph ...," balas Clarissa sedikit kesal.

Untuk saat ini, aku tak bisa menghiraukan raut muka manisnya. Aku langsung melewatinya begitu saja.

"Eh Rafael ...," panggil Clarissa.

"Ada apa lagi?!"

"Kok buru-buru sih-"

"Maaf Clarissa ... aku masih ada keperluan lain ...," potongku

"Ikut ...."

"Gak boleh!"

"Eh, kenapa?"

"Maaf, aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini, lebih baik kamu pulang bareng cewek-cewek yang lain ...."

"Hmm ... ya udah deh ...."

Setelah mendengar balasannya, aku langsung bergerak cepat meninggalkan kelas.

Padahal hanya sebatas teman. Tapi kenapa sikapnya selalu saja begitu?!

>===÷===<

Ramainya suasana jam pulang tak dapat menghentikan langkahku. Satu persatu murid telah kulewati begitu saja. Mereka juga mulai memperhatikan langkahku yang tidak biasa.

Aku tak peduli akan respon mereka dan tetap fokus pada tujuanku. Aku beruntung kali ini tidak diikuti Riki. Aku sendiri saja sudah cukup untuk menangani hal ini. Tempat yang kutuju sudah hampir dekat.

Sudah kuduga ....

Hari ini area gedung olahraga sangat sepi. Clue yang diberikan Edward tak banyak. Dia hanya memberitahuku kalau mencarinya di dalam gedung, hanya akan membuang-buang waktu.

Penjelasannya bisa saja salah atau benar. Aku hanya setengah percaya terhadap rivalku ini. Meskipun begitu, aku harus melihat sekilas untuk membenarkan ucapannya.

Aku langsung menghampiri pintu masuk itu dan membukanya. Tak ada siapapun di sini. Sepertinya aku tak bisa hanya menilai dari sekilas saja.

Kucoba menyelidiki setiap sisi di dalam gedung olahraga ini. Mulai dari gudang, ruang pembawa acara, ruang ganti, dan akhirnya toilet. Hasilnya nihil, aku tak dapat menemukan siapapun. Aku merasa tertipu dengan pemikiranku sendiri. Pencarianku berhenti di toilet, sementara itu aku berusaha untuk berpikir dimana lagi harus mencarinya. Aku ingat masih ada satu tempat yang belum kudatangi.

Dugh ....

Getaran? Dari mana?

Aku merasakan sebuah getaran. Dari tembok? Ah bukan, kurasa dari balik tembok. Jika kuingat-ingat kembali posisi toilet gedung ini berada di paling belakang.

"Aduuuhhh, sakit tau ...."

Barusan aku mendengar suara gadis kesakitan. Apakah dia? Sialan aku harus segera bergegas ke balik tembok ini!

Dengan cepat aku pergi dari toilet dan berlari menuju keluar gedung. Selepas berada di luar, aku langsung berlari menyisiri sepanjang sisi gedung olahraga.

"Hah! Apanya murid terpintar di kelas E?!" Aku mendengar suara teriakkan seorang lelaki.

Suaranya cukup keras seakan-akan sedang membentak dan memarahi seseorang. Mendengarnya saja sudah membuatku merasa terancam. Aku memberhentikan langkah, lalu mulai berjalan secara pelan-pelan.

"Ta ... tapi kan ... aku sudah mengerjakan tugasmu ...." Sepertinya aku mengenal suara ini.

"Yaa ... jika dipikir-pikir ada benarnya juga sih ... jadi aku punya hadiah nih untukmu ...."

Sebenarnya, apa yang sedang mereka berbincangkan? Aku semakin penasaran dengan kedua orang itu.

Aku mulai mempercepat langkahku. Saat melangkah, sesekali aku menarik dan menghembuskan nafas. Jujur saja setelah mendengar suara teriakannya tadi membuatku berpikir jika dia memiliki badan yang seukuran dengan Ivan.

"Hah hadiah? Hadiah apa-"

Byuurrrr ....

Suara siraman air? Ah bukan waktunya untuk bertanya-tanya. Aku langsung berlari menuju sumber suara. Selang berapa menit, akhirnya aku sampai di belakang gedung. Baru saja aku menengok ke arah kanan.

Kurasa diriku sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Aku melihat Yurika bersimpuh lemas dengan pakiannya yang telah basah kuyup dan di depannya ada seorang lelaki yang sedang memegang sebuah ember. Sepertinya aku mengenal lelaki itu.

"Ares ...," gumamku kesal.

Aku sangat yakin jika dia itu Ares. Bentuk badannya besar seperti Ivan. Rambutnya lebat pirang kecoklatan. Warna kulitnya putih sedikit coklat, mungkin? Aku sedikit ragu karena di tempat ini sedikit terkena cahaya matahari.

"Eeehhh, ke ... kenapa kamu menyiramku?" rintih Yurika tertunduk lemas.

"Itu lah hadiah untuk budak sepertimu yang tidak bisa menjalankan perintah tuannya! Masa cuma tugas segini dapat nilai 75!" bentak Ares.

"Ja ... ja ... jadi selama ini kamu menganggapku ... seperti itu?" lirih Yurika.

Aku mulai menghampiri mereka. Kurasa Ares terlalu tenggelam pada emosinya, sehingga tak dapat menyadari kehadiranku.

Sialan! Ares sepertinya ingin memukul Yurika dengan ember itu. Aku langsung berlari menghampiri mereka berdua.

Aku sudah berada dekat dengannya, namun dia belum menyadari kebaradaanku. Ares mulai mengangkat ember ke udara. Pada saat itu juga, aku sedikit melompat dan merebut ember tersebut dari genggamannya. Saat kudapatkan ember itu, aku langsung mengambil sedikit posisi untuk mundur. Sebelum dia mengetahui keberadaanku. Secepat mungkin kulontarkan pukulan ke punggungnya dengan ember.

Cikh ....

Dia hanya sedikit terhentak. Kurasa memukul punggungnya dengan ember bukanlah ide yang bagus.

Bahunya bergerak, mungkinkah dia akan menyerang? Sesuai pengalamanku sedari SMP, aku mundur sepersekian detik sebelum kakinya menendang ke belakang. Dugaanku benar, dia melancarkan tendangan belakang tanpa mengenaiku sama sekali. Namun, tak cukup sampai di situ saja.

Sebelum mendarat di tanah, aku segera menangkap kakinya yang masih mengambang di udara dan memasukkan ke bagian timbaan besi ember ini. Setelah kupastikan keseimbangan tubuhnya tidak kuat. Pada saat itu juga aku langsung menarik bagian bawah ember dan membantingnya ke arah samping.

Srrreet ... Gedebuk!

Akhirnya aku bisa menumbangkannya. Dia sedikit kesakitan, tapi tak cukup membuatku berniat menolongnya. Dia menatapku dengan penuh emosi dan berusaha untuk bangun. Aku sendiri juga begitu, hanya bisa mengepalkan tangan dan menatapnya tajam. Hingga akhirnya aku menanyainya sesuatu.

"Apa yang telah kau lakukan kepadanya?" tanyaku sambil menunjuk Yurika.

"Heh ... jadi namamu Rafael yaa ...," ucap Ares masih berusaha untuk berdiri.

"Woi! Aku menanyakan tentang dia! Bukan menyuruhmu menyebut namaku!" bentakku.

"Ckckck .... jadi sesuai rumor yang beredar yaa ...," ujar Ares geleng-geleng kepala.

Akhirnya, dia seutuhnya bangun dan berdiri. Melihatnya masih mengepalkan tangan. Aku bersiap-siap untuk beberapa hal yang akan terjadi.

"Cih ... rumor apa yang kau maksud?!" ujarku.

"Rafael ... sang tirani tangan besi, kau tak sadar dengan sebutan itu?" tanya Ares bernada merendahkanku.

Kurasa tak seharusnya dia mengatakan hal itu di depan Yurika. Meskipun begitu, aku sendiri tidak tahu apa yang sedang Yurika pikirkan dengan posisi menundukkan kepala. Setelah berpaling dari Yurika, aku kembali menatap Ares dengan penuh kesal.

"Sudah cukup basa-basinya! Apa yang telah kau perbuat kepada Yurika!" bentakku.

"Oh yaa? Yang telah kuperbuat kepadanyaaa ...," ujar Ares.

Dia mulai melangkah menghampiriku dengan tampang senyum mencurigakan. Mungkin yang harus kuwaspadai adalah tongkat komandonya itu. Kurasa tongkat itu bisa untuk memukul seseorang. Badannya sedikit membungkuk, kurasa dia akan melancarkan sebuah serangan.

Wush ....

Hah? Gerakannya sangat cepat!

Tunggu dulu, sudah di belakang? Dia melewatiku dengan cepat dari sisi kiriku. Kaki kirinya? Dia kidal?

Aku harus mengubah posisi dan menjauh dari jangkuan kakinya.

Swift!!!

Bagaikan sapu lidi yang dihempaskan. Gerakkan kakinya hampir menyentuh pinggangku.

"Reflekmu hebat juga ya ...," ujar Ares.

"Aku hanya merasa beruntung kali ini bisa membaca gerakkanmu," balasku.

"Oh ya? Rasanya sulit untuk menyentuhmu," ucapnya merendahkanku lagi.

"Kalau sudah tau begitu, kau tak harus mencobanya lagi," balasku.

"Setelah mendengarmu mengatakan itu, kau kira aku akan menurutimu, hah?"

Sekarang giliranku untuk menampilkan senyum licik ini. Dia pikir, aku tak tahu cara apa yang digunakan untuk memperdaya Yurika.

"Kurasa kau akan menurutiku sebentar lagi." Aku mulai mengeluarkan sebuah buku dari kantongku.

Senyum jahatnya mulai luntur setelah melihatku mengeluarkan buku ini. Namun, kurasa tak dapat membuatnya tutup mulut begitu saja.

"Wah wah ... apa yang akan kau lakukan dengan buku itu?"

"Ada sebuah peraturan di dalam buku ini .... ehmm lebih tepatnya di bagian peraturan sistem kasta, yang berbunyi ...."

"Setiap murid peringkat terendah tidak diperbolehkan membantah, membangkang, dan melawan segala hal yang dilakukan oleh murid dengan peringkat tertinggi," sambung Ares.

"Yaa ... benar sekali, lalu kau menggunakan peraturan ini untuk memperdaya murid-murid yang berada di bawah kelasmu, kan?"

"Kenapa mesti mempertanyakan hal itu lagi? Bukankah fungsi peraturan itu diberlakukan untuk membuat murid-murid seperti mereka lebih berguna?" sindir Ares sedikit melirik ke arah Yurika.

"Ah iya ... aku lupa ...."

"Hah?"

"Aku baru ingat, kau sendiri dari kelas D, kan?"

"Oh yaa? Mau menyombongkan posisi kelasmu?"

Jujur saja, mau tak mau aku sendiri harus menyalahgunakan posisiku saat ini. Agar semua ini cepat selesai.

"Bukan bermaksud sombong, tapi untuk segi murid dari kalangan bawah sepertimu ... pemikiranmu cukup dangkal untuk memahami peraturan ini."

"Hah MAKSUDMU!" bentak Ares.

"Pada dasarnya, pembentukkan peraturan ini untuk membuktikan bahwa pihak sekolah lebih mementingkan murid peringkat atas," jelasku.

"Ah banyak omong!"

"Sudah mulai berpikir seperti kera, yang menginginkan semua hal dengan cara hukum rimba, tak kusangka murid-murid kelas D mendapatkan pemimpin seperti dia," gumamku.

"Woi ... kau mau menyindirku, hah? Hanya saja ... bukankah pemikiranku ada benarnya mengenai peraturan itu!"

"Hah ...," responku heran.

Senyum liciknya yang tadi luntur, kini mulai menampakkan diri kembali. Tatapan matanya sudah tidak tajam lagi. Mungkinkah ... ehm, kurasa dia mulai melotot seperti orang gila.

"Kau tahu sendiri, kan! Aku kelas D! Dia kelas E! Itu artinya, peraturan tersebut membenahi tindakanku!" bentak Ares.

Opini yang cukup menggelitik.

"Dan aku sendiri kelas A," ujarku sedikit besar kepala.

"Ehh ...," kaget Ares.

"Jika kau bisa menyalahgunakan posisimu, maka aku sendiri pun bisa."

"Jadi ...."

"Jadi, atas nama kelas A! Yurika Russel li dari kelas E ada di bawah perlindunganku!"

"Ckckck ... aku tau kau mencalonkan diri sebagai pengurus kelas ... hanya saja ..."

Kenapa dia bisa? Ah sudahlah rumor memang sudah tersebar luas.

"Hmm?" balasku.

"Kurasa melalukan perjanjian dengan sainganmu dapat menguntungkan posisi kelas kami."

Sainganku? Siapa? Arkan? Edward? Yaa aku rasa yang dia maksud adalah Edward. Namun, dugaanku hanyalah sebatas spekulasi.

"Dengan siapa kau membuat perjanjian?"

"Bukan masalah perjanjiannya ... tapi betapa bodohnya dia! Aku sendiri tak dapat membiarkan dirimu dan murid ber'uang itu menjadi pemimpin kelas tertinggi!"

Aku sudah dapat membaca keputusannya. Antara aku dan Edward, tidak ada salah satu di antara kami yang akan dipilih oleh kelasnya.

"Hahahaha ... kau kira aku berniat menjadi ketua kelas, hah? Kalau kau benar-benar mendapatkan rumor tentang diriku yang bertangan besi, seharusnya kau sendiri paham ...."

"Paham tentang apa?" tanya Ares Curiga.

"Tentang jabatan yang kuincar ...."

"Hadeh ...," balas Ares lesu.

"Hmm?" ucapku curiga dengan raut mukanya.

Ares mulai menengadah melihat langit. Dia menarik dan menghela nafas mencoba menenangkan emosinya.

"Ah bukan apa-apa ... kurasa berbincang-bincang denganmu hanya membuang waktuku, lagipula coba kau lihat dia," ujar Ares mulai menunjuk Yurika, "kurasa dia tak sadarkan diri," sambung Ares.

Aku melupakannya begitu saja. Diriku terlalu sibuk berbicara dengan Ares.

"Untuk segi lelaki ... kau terlalu banyak bicara. Hari ini kau selamat, karena aku tak menggunakan tongkat komando milikku," ujar Ares langsung pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku merasa kesal mendengar ucapannya, meskipun yang dia katakan itu benar. Mengenai tongkat komando, aku masih penasaran kelebihan benda tersebut. Lebih baik aku lekas mengecek keadaan Yurika. Dia pingsan? Kurasa tidak.

"Rafael ...." Kurasa Ares memanggilku.

Aku tak berniat menengoknya maupun menjawab panggilannya. Karena aku sendiri sepertinya sudah tau, sebuah kalimat yang akan dia ucapkan.

"Hari ini kau sudah berani macam-macam denganku. Mulai besok ... jangan harap menghirup udara dengan tenang," ucap Ares mulai melanjutkan langkahnya.

Aku sudah bosan mendengar ucapan itu dari SMP. Bukan berarti aku pernah satu sekolah dengannya. Hanya saja, sudah banyak sekali murid yang mengatakan hal itu kepadaku.

Pada dasarnya kehidupanku sudah tidak tenang semenjak masuk ke sekolah ini. Namun, mungkin saja akan lebih menarik jika yang dikatakan Ares akan menjadi kenyataan.

>===#===<

Dieser Teil ist noch nicht fertig

Siguiente capítulo