webnovel

41

Tempat ini menarik, Naru telanjur betah sampai dia rasanya tidak ingin pergi, sementara Hinata sedang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di kafe manga, bahkan menyediakan pemandian umum untuk berendam air panas, lengkap pula bisa menyewa jubah mandi.

Hinata sendiri merasa kembali segar setelah membersihkan diri. Dia melihat Naru sedang membaca beberapa manga sambil menyantap kentang goreng saat dia kembali masuk ke biliknya. "Sudah selesai mandinya?" pemuda itu bertanya dengan masih membaca setiap halaman komik aksi.

"Sudah, sedikit segar, aku harap lain kali bisa datang ke sini lagi," Naru menutup komiknya, kemudian memandangi Hinata yang duduk di depannya memeluk guling kecil erat-erat. Lelah di wajahnya tidak tampak lagi. "Bukankah tempat ini nyaman sekali? Kita bisa ke sini setiap akhir pekan," yah, mereka bisa memulai sesuatu bersama-sama, dan itu yang akan menyatukan mereka agar tidak terjadi kecanggungan lagi.

Naru tidak merespons saran itu. Ia malah memandangi Hinata intens—begitu dalam sampai terhanyut untuk mendekati gadis itu. Menguncinya, dan mencium bibirnya seperti apa yang pernah dilakukannya tiba-tiba. Sejujurnya, memang kadang dia sudah agak gila, toh karena Hinata memang tidak menolaknya, Naru bisa bebas untuk memulai semua yang diinginkannya. Terutama, menyentuh gadis itu sepuasnya karena rindu yang sudah melekat.

Naru berbisik kemudian, "Kau wangi sekali," Hinata tidak sedikit pun menolak begitu Naru menyingkirkan guling yang baru saja dipeluknya. Gadis itu menerima serangan dari Naru yang tiba-tiba, tetapi memabukkan. Membuat Hinata nyaris kehilangan kesadaran. Meski dia mungkin bisa percaya kalau Naru tidak akan menyerangnya bila dia ketiduran, tapi memalukan jika harus dihadapkan pada kenyataan bahwa pemuda itu mungkin menelitinya dalam-dalam.

Sebenarnya, malam ini mereka tidak seharusnya melakukan apa pun sebelum keduanya benar-benar siap, bahkan seingat Hinata, ia sudah memberitahu Naru, kalau dia berada dalam masa menstruasi—meski itu sebenarnya bohong.

Hinata menggigit bibirnya, tampak ingin melakukan sesuatu di dalam bilik kecil ini. Dan pandangannya bertemu dengan tatapan Naru yang seolah meminta izin untuk memasukkan tangannya ke dalam kaus yang dikenakan olehnya. Gadis itu mengangguk kecil, dengan cepat menerima sentuhan lembut di ujung dadanya, yang membuat tubuhnya menegang seketika. Area sensitif yang tak pernah dijamah oleh siapa pun, itu akhirnya terkuasai oleh seorang laki-laki.

Hinata sendiri tidak tahu, pada akhirnya mengapa dia mengeluarkan suara menjijikkan itu begitu saja. Ia mengerang kecil tidak tahu malu saat Naru semakin menguasai ujung dadanya dan hampir berteriak, tetapi sebelum hal itu terjadi, ia menutup mulutnya rapat-rapat, atau semua orang akan tahu, mereka sedang melakukan suatu hal menjijikkan di balik bilik mereka.

"Tidak sekarang!" Hinata berkata demikian, membuat Naru merasa bersalah.

Naru akhirnya bergerak mundur, dan pilihan yang baru saja dilakukannya mungkin terkesan buru-buru. Namun saat ia mundur, Hinata justru meraih tangannya, dan perempuan itu langsung mengambil duduk di atas pangkuannya. "Kau sedang berada dalam masa menstruasi," bisik Naru, sedikit sensual, matanya berkilat nafsu, dan ia mencoba menutup hal itu dari Hinata, dengan sesekali memejamkan matanya atau sekadar berkedip-kedip. "Apa kau berbohong?" tanya Naru, meski sejak awal dia tau kalau gadis itu sedang membohongi dirinya karena sebenarnya merasa cemas dan juga gugup.

"Karena aku merasa malu," ucap Hinata, ia menyembunyikan wajahnya pada leher Naru sembari memeluk lelaki itu. Bahkan kemudian, Hinata dapat mencium kolonye yang menenangkan dirinya dari semua hal yang terkesan rumit. "Tapi sekarang tidak," imbuh gadis itu. "Aku ingin melakukannya di sini, tidak mau di hotel, keburu aku berubah pikiran."

Tangan Naru bergerak lembut, masuk ke dalam kaus Hinata, mengabsen ataupun memberikan sentuhan sensual ke punggung gadis itu. Hinata mengerang, lalu menutup mulutnya dengan tangannya. Ia tidak harus mengekspresikan dengan suara menggema seperti ini, atau mereka akan ketahuan sedang melakukan hal-hal aneh di bilik ini—tapi semuanya begitu saja terjadi, ia tidak dapat menahan semua rangsangan yang menggelitik ke kulitnya.

Seseorang kemudian menggedor pintu, keduanya saling mendorong, hingga berhamburan karena kaget. "Kami sedang mengirim panekuk," Hinata membenahi penampilannya, dan mengambil gulingnya kembali untuk dipeluk, menutupi wajah merahnya.

Naru bergerak untuk membuka pintu bilik, dan melihat seorang pelayan membawa dua piring panekuk yang dilumuri sirop cokelat. "Terima kasih," katanya pada pelayan tersebut yang langsung pergi setelah mengantarkan pesanan mereka. "Ayo kita makan dulu."

"Kau masih bisa makan?"

"Sebenarnya tidak."

Hinata menghela napas.

□■□■□■□■□

Hinata melambaikan tangannya begitu sampai di apartemen dan dia harus berpisah dari Naru. Mobil laki-laki itu kemudian memecah jalanan sepi, sementara Hinata mendaki tangga dengan perasaan campur aduknya. Ia harus menutupi debaran hatinya, dan bagaimana rasa khawatirnya mengingat baru saja dia melakukan kebohongan.

Sesampainya di dalam apartemen, ternyata Neji sudah menunggunya pulang, sedang berada di ruang tamu, menonton acara televisi dengan semangkuk raksasa popcorn.

"Mengapa kau bisa diantar Naruto?"

"Kami berpapasan," jawab Hinata, tidak buru-buru meninggalkan Neji sendiri. Ia tahu, Neji mungkin saja menaruh curiga, kalau dia begitu saja pergi tanpa memberikan saudara laki-lakinya penjelasan masuk akal. Ia akan memulai perbincangan mereka dengan menyebut nama Ino. "Oh iya, Yamanaka sudah bangun, dan aku mendapatkan sesuatu yang mengejutkan."

Neji mengembuskan napasnya berat. "Seperti itulah," jawab Neji sekenanya, dan mengerti apa yang ingin adiknya bahas soal salah satu murid di sekolah mereka. "Naru yang memberitahumu?" Hinata mengangguk. "Kupikir kau tidak akan peduli."

"Kami hampir mirip," ujar Hinata, ia merasa sedikit tenang. "Aku dan Ino sangat terlihat mirip. Kami tidak bisa melakukan apa pun semau kami. Dan, aku tahu bagaimana penderitaan Ino," Neji mulai terpuruk oleh sikap adiknya yang selalu membanding-bandingkan dirinya. Meskipun ada benarnya, kalau mereka memang sangat mirip dalam situasi maupun keadaan di rumah mereka. Neji mendadak iba.

"Pergilah ke kamarmu, kau harus istirahat," Neji tahu apa yang dibutuhkan oleh adiknya hari ini adalah dia harus istirahat, agar bisa menghadapi hari esok.

"Benar, aku harus pergi istirahat."

Hinata pergi menuju kamarnya, sementara Neji duduk dengan gusar. Ia tidak memikirkan tentang Ino sebenarnya, tapi tanda merah pada leher adiknya, sesuatu yang tidak dapat ditutupi itu membuatnya semakin gusar dan bingung. Laki-laki yang dimaksud oleh adiknya adalah Naruto Namikaze, 'kan? Mereka tidak hanya membahas masalah Ino, tapi kedua orang itu sedang melakukan sesuatu yang tidak pantas.

Neji memegangi kepalanya. Bagaimana bisa ini terjadi. Mengapa harus dengan temannya? Pikir Neji semakin bingung, dan ia tidak dapat berpikir jernih lagi. Tontonan yang sebelumnya menarik sambil menikmati popcorn justru menjadi tontonan yang kini malah membosankan.

Sebalinya di kamar, situasinya agak berbeda, di mana Hinata merasa senang jika tadi dia tidak merasa gugup ataupun panik. Dengan begitu, semua usahanya tidak akan sia-sia untuk melepaskan diri dari status pengantin dewa. Mulai sekarang dia akan melakukannya secara perlahan, tidak perlu terburu-buru, karena jika terburu-buru semuanya tidak akan berjalan baik.

Hinata menarik napas dalam-dalam sebelum menerjunkan diri ke atas kasurnya.

Terima kasih, sudah mampir dan membaca ulang.

BukiNyancreators' thoughts
Siguiente capítulo