webnovel

42

Kali ini, Naruto memesan teh daripada kopi pada Sakura, yang terheran-heran menjumpai wajah pemuda itu berseri-seri. Pasti ada yang salah. Pasti ada sesuatu yang terjadi, dan hal itu membuatnya senang. Sedangkan Naru selama ini selalu terserang murung sepanjang waktunya. Ia jarang menunjukkan sisi bahagianya kepada orang terdekat maupun sekitarnya. Dan ketika Naru menunjukkan sisi yang tak pernah ditunjukkannya itu, hal itu benar-benar membuat orang-orang di sekitarnya merasa heran.

"Sepertinya ada hal menarik yang sudah terjadi," tebak Sakura, ia duduk di samping Uchiha yang baru saja mendaratkan catur ke atas papan permainannya. "Tidak biasa melihatmu seperti ini. Kau nyaris tertawa sepanjang tadi, padahal tidak ada yang lucu."

"Benarkah?" Uchiha melirik Naruto, dan satu-satunya tebakan yang dapat diungkapkannya, adalah tentang si pengantin. Naru yang melihat Uchiha tersenyum kepadanya penuh godaan. Memandang tidak nyaman dan seolah ingin menantang duel malam ini juga. "Sesuatu yang biasa sedang terjadi, tapi tidak terlalu menarik kok," sambungnya, kepada Sakura yang membuang tawanya—dewi kehidupan macam Sakura, tidak mungkin tidak menyadari apa yang terjadi padanya.

Naru kemudian melihat keluar kedai, suasana berubah pada era Meiji, tidak ada yang menarik dari kehidupannya pada era Meiji kecuali banyaknya perang dan perdebatan atau perubahan struktur politik, menyebabkannya banyak sekali keputusan-keputusan, terutama pemindahan ibu kota ke Tokyo.

Naru kembali melanjutkan permainannya, bersama si Uchiha di bilik biasa mereka tempati, sementara Sakura kembali melayani pelanggan lainnya. Semakin malam, semakin banyak pelanggan datang untuk menikmati minuman gadis itu.

□■□■□■□■□

Neji melihat langit mulai mendung, sepertinya akan turun hujan. Ia tidak membawa payung, dan sebelum kuyup karena gerimis mulai turun, dia berlari tergesa-gesa menuju toserba. Namun begitu dia akan sampai di depan pintu toserba. Seorang pemuda albino menyita perhatiannya, yang saat itu pun memandangi dirinya untuk keluar dari toserba. Mendorong pintu kaca, pemuda albino itu meneliti Neji lebih dalam.

Pemuda itu terlihat ramah dengan mempersilakan Neji untuk masuk terlebih dahulu, karena dia memilih untuk menahan pintu tersebut agar tidak menutup. Neji bersikap biasa saja. Ia terlihat tidak begitu menyukai perlakuan laki-laki albino itu. Sepertinya lebih tua darinya. Ia hanya mengenakan celana olahraga hitam dan jaket senada. Membawa sekantung berisi bir dan keripik.

"Terima kasih," ucap Neji, demi sopan santun yang dijaga sebagai masyarakat yang baik, meski dia tidak nyaman dengan kebaikan pemuda itu.

Sampai di dalam toserba, Neji mengambil satu payung untuk dibeli olehnya. Rumahnya masih jauh. Dia meninggalkan Hinata sendirian di rumahnya, kala gadis itu masih terlelap untuk istirahat. Dia bilang, badannya sangat lelah, tapi tidak mau pergi ke klinik untuk memeriksakan diri. Hinata memang bukan gadis lemah yang mudah sakit, tapi Neji khawatir terjadi sesuatu pada adiknya.

Neji kembali berjalan ke dekat rak makanan, mengambil ramen instan, juga beberapa minuman bersoda di mana Hinata amat menyukainya. "Sudah?" tanya sang kasir, ketika Neji menyerahkan semua belanjaannya untuk dihitung.

Selesai membayar semua belanjaannya, ternyata pemuda albino tadi sedang duduk-duduk di kursi depan toserba. Menikmati minumannya sendiri sambil memandangi hujan yang semakin deras, juga tidak berhenti untuk mengambil camilan. Ia amat menikmati suasana dingin yang membekukan. Meski begitu, Neji lebih suka hanya melihatnya sekilas daripada beramah-tamah hanya karena pemuda itu mempersilakannya masuk ke toserba.

Sambil meneliti hujan yang semakin deras, semakin deras, bahkan semakin membekukan bibir dan wajahnya. Neji berteguh untuk tetap jalan daripada memanggil taksi, atau menunggu di halte bus sampai hujan sedikit berdamai dengan kondisi penglihatannya. Tinggal dua kilo lagi, apa salahnya tetap berjalan, selama pandangannya masih berkompromi dengan keadaan curah hujan yang semakin mengaburkan.

Namun Neji merasa seseorang mengikutinya di belakang. Perpaduan derap langkah dan gemericik air, membuatnya selalu sadar. Ia membelok arah yang tidak biasa dia lewati. Pemukiman warga yang jarang. Hanya ada beberapa toko yang sudah tutup. Gedung-gedung apartemen bahkan flat kecil. Ia bisa menebak siapa satu-satunya orang yang mengikutinya. Saat Neji berhenti dan membalikkan tubuhnya, ia melihat pemuda albino juga berhenti di belakangnya—berjarak dua meter dengannya, tampak terkejut, lalu tersenyum ke arah Neji.

"Kukira kita tidak searah," tidak ada salahnya berterus terang. Neji menyukai sesuatu tanpa basa-basi jika bertemu dengan musuh. "Temanmu yang waktu itu, kukira selamat, dan mungkin saja melaporkan sesuatu padamu."

"Melaporkan jika kau orang yang paling berbahaya di muka bumi ini," pemuda albino itu menyahut, senyumannya manis, tapi bagi Neji senyumannya amat memuakkan. "Kami semua tidak suka kalau kau mulai ikut campur, atau malah memulai kekacauan yang tidak penting. Berhenti untuk bersikap ceroboh," si albino seolah memperingatkan Neji, tetapi Neji keburu menyunggingkan senyuman, lalu dia terbahak-bahak.

"Hai, Pangeran Toneri, senang berjumpa denganmu kembali," sapa Neji, seolah mereka teman lama yang akhirnya kembali bertemu.

Payung yang digenggam oleh Neji berubah menjadi sebilah katana, dengan aura berwarna biru dan mungkin ia tidak segan-segan menggunakannya untuk membunuh seseorang. Dan itu mungkin saja Pangeran Toneri yang dimaksud olehnya sekarang, berada di depannya, agak tenang meski tubuhnya barangkali kedinginan karena hujan yang terus berjatuhan membasahi tubuhnya.

Neji memulai perkelahian tersebut, mendatangi si pangeran albino yang menghindarinya. Tatapan matanya berubah tajam. Sang pangeran pun sepertinya tidak segan-segan pula untuk memulai di sini, bahkan barier peperangan di antara mereka telah dipasang supaya perkotaan tetap aman, terhindar dari kekacauan yang mereka buat.

Dengan nafsu yang tak terkontrol, Neji kelabakan untuk melakukan serangan. Kekuatan pemuda berambut putih itu jelas berbeda dari wanita sialan yang tiba-tiba menusuknya dari belakang. Perkelahian tak dapat dihindari. Gedung sekolahnya hancur, dan seolah-olah ada meteor yang menerjang tanpa ampun. Tapi ketika barier sudah disiapkan terlebih dahulu oleh pemuda pucat yang terus menyerangnya pula tanpa ampun, ia pun tidak akan pernah segan untuk bersikap ingin menghancurkan, bahkan meluncurkan serangan.

Sebelum Neji dapat menusuk tubuh musuhnya dengan katana, ia terhenyak begitu seseorang menendang perutnya terlebih dahulu, dan membuatnya terguling hebat mendarat jalanan.

"Isshi, apa yang kaulakukan?"

"Maaf, kalau aku mengganggumu," seorang pria berperawakan tinggi, setengah bertanduk menyela peperangan mereka. "Kau buang-buang waktu dengan melakukan adu jotos tidak penting seperti ini."

Toneri menghela napas. "Kudengar olahraga malam itu sangat baik untuk tubuh."

"Kau bukan manusia, dan jangan bersikap seperti manusia," sanggah Isshi. "Kaguya sudah bangun, kau harus kembali karena dia mencarimu."

Sekejap, Toneri menghilang dari pandangan Neji, menyisakan Isshi yang mencekik Neji sampai tubuhnya terangkat, lalu membuat pemuda berambut panjang itu kehilangan kesadaran.

Seperti biasa belum saya koreksi, biasa seharian ini mager, hehehe

BukiNyancreators' thoughts
Siguiente capítulo