webnovel

40

Pertama, Ino tertarik karena sepertiya Hinata bukan gadis yang mudah bergaul, tidak mudah untuk berbaur, pula bukan gadis yang suka membicarakan suatu hal yang tidak penting. Ino rasa, Hinata itu orang yang tepat, apa lagi satu-satunya gadis yang pernah menggulingkan dirinya dalam peringkat semester di kelas akselerasi, Hinata seperti berlian, bersinar tapi entah mengapa agak sedikit suram.

Ketika Hinata muncul di depan kamarnya bersama ketua asosiasi di sekolahnya, sebenarnya Ino tidak terlalu terkejut. Ia lebih suka menebak, Hinata tidak mudah dibohongi, dalam waktu dekat, gadis itu akan menyadari apa yang terjadi. Entah dengan bantuan ketua asosiasi tidaknya, Ino rasa Hinata bukan seperti sosok keluarganya yang tidak sekalipun peduli kepadanya. Meskipun pada awalnya Hinata Hyuuga seperti tidak berminat padanya.

Duduk bersama di ruang tunggu bangsal, Hinata menatap Ino seolah tengah meneliti, sementara Ino sendiri tidak berani untuk membalas tatapan Hinata yang tidak terbaca apa-apa, sampai pada akhirnya membuatnya begitu kebingungan, tidak ada kata yang cocok untuk ia sampaikan kepada teman pertamanya—satu-satunya seorang teman yang mungkin peduli padanya.

"Kau marah?" hanya pertanyaan itu yang terlintas di dalam kepala Ino. "Kau memiliki hak untuk melakukan hal demikian, aku tidak punya alasan untuk melarangmu marah kepadaku, dan perlu kau ketahui, aku tidak mempermasalahkannya."

Hinata menghela napas, merasa tenang, bukan pasrah. "Apakah itu penting aku marah atau tidaknya?" Ino tertawa canggung. "Aku tidak mau menyusahkanmu."

"Kau sudah menyusahkan aku beberapa hari ini, maaf aku tidak pandai untuk menghiburmu dengan kata-kata, aku tidak pandai mecegahmu untuk tidak terjun, aku bahkan ingin minta maaf berkali-kali karena aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menjadi temanmu," wajah Ino merengut. "Tapi, kau sudah baik-baik saja, 'kan?"

"Ya, seperti yang kaulihat, aku baik-baik saja."

"Aku tidak yakin."

Ino tertawa. "Aku sedang merencanakan jadwal aborsi, besok lebih tepatnya," Hinata menelan ludah seperti ia sedang menelan ribuan kerikil, tampak menyakitkan dengan berpikir tebakan ataupun tidak, Naruto benar. Ino sedang hamil, tapi Hinata tidak memiliki hak untuk bertanya bagaimana bisa teman pirangnya itu ceroboh. "Aku memilih karena anak ini hasil perkosaan," itu benar-benar hal yang paling menyakitkan bagi seorang perempuan. "Kakakku memerkosaku."

Hinata nyaris limbung, sesuatu menghantam kepalanya dari belakang—itu adalah kenyataan. "Maka dari itu kau merahasiakan semua yang terjadi?"

Gadis itu bahkan masih sempat-sempatnya terkikik. "Tentu. Ya. Aku harus merahasiakan bahwa kakak kandungku cacat mental. Ayah sialan itu tidak harus tahu anaknya dinodai oleh putra kesayangannya. Aku pergi ke psikolog untuk memeriksakan mentalku yang kacau dan kadang kala aku tidak ingat apa pun—semua yang sudah kulakukan, aku kehilangan pengendalian diri karena kasus kepribadian ganda yang aku alami," Ino tersenyum kecut. Hinata adalah orang kedua yang tahu kasusnya, sementara kakak kandungnya, memanfaatkan segala apa yang diketahuinya untuk mendapatkan apa pun dari Ino.

"Aku senang kau menceritakannya padaku," kata Hinata, suaranya rendah, tidak dibuat-buat. "Dengan begitu aku bisa sedikit membantumu. Mulai sekarang aku akan berada di sisimu, Ino."

"Itu pasti akan menyulitkan dirimu," nada Ino seakan memprotes keputusan Hinata. Sebab kadang-kadang, Ino takut bahwa lagi-lagi hidupnya membuat beban orang sekitarnya. Tapi mungkin ia harus percaya pada Hinata, karena memang dari awal dirinya yang menginginkan gadis itu berada di sampingnya.

Hinata membalas senyuman Ino yang tulus. Ia sendiri tahu, menceritakan hal seperti ini tidaklah mudah. Hinata menerima segala keputusan ini, karena ini hidup gadis itu. Tapi selama Ino tidak terbebani, Hinata ingin menjadi orang yang selalu membantu dan mereka bisa maju bersama-sama.

Ino akan melanjutkan istirahat, sementara Hinata mendatangi Naruto yang duduk dan sedang bermain gim ponsel, menunggu dirinya dengan sangat bosan—yah, mungkin saja, padahal mereka malam ini harusnya pergi ke hotel untuk melepaskan keperjakaan ataupun keperawanan mereka. Tapi momen manis tercipta, di mana Naruto menerima ajakannya untuk berpacaran.

Gadis itu kemudian berhenti di depan Naruto yang masih duduk di kursi yang tersedia pada setiap lorong bangsal. Mengulurkan tangan, lalu berkata, "Mau gandeng tanganku lagi?" Naru mendongak, mematikan ponselnya, kemudian tersenyum sambil menggenggam tangan Hinata kembali. "Aku lapar, mau traktir aku makan malam? Tawaran itu belum hangus, 'kan?"

"Belum. Kau ingin makan malam apa?"

"Aku ingin makan malam di kafe manga, boleh?" Naru menatap Hinata heran, pikirnya, mengapa harus pergi ke kafe manga, berada di bilik kecil berdua, menikmati makanan sederhana, bermain gim komputer, juga sepuasnya untuk mengambil penganan di kafetaria yang sudah tersedia. "Kau pasti belum pernah ke sana."

"Kurasa tidak ada yang menarik di sana, tempatnya pasti sempit."

"Kita coba dulu, pergi ke distrik Hachiko."

"Benar, mengapa aku tidak mencobanya bersamamu pergi ke sana, mungkin saja bakal terjadi sesuatu yang menarik," sahut Naruto, pemuda itu semakin menunjukkan sikap hangatnya kepada Hinata, sementara Hinata, berpikir sampai kapan dia dapat menyembunyikan apa tujuannya, atau bagaimana kalau Neji tahu dan melaporkan semua yang sudah terjadi ini pada ayah mereka.

Hinata termenung di tengah perjalanan bersama Naru, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya belum benar-benar terjadi. Tapi dia sedang berada dalam dirinya yang penuh antisipasi, dan mencoba setidaknya menyelami situasi di mana pada akhirnya dia ketahuan, hukuman, kutukan, atau apa pun mungkin bakal diterima olehnya nanti.

Naruto yang menyadari kekhawatiran Hinata, tanpa sadar menyalurkan energi ketenangan dari genggaman tangan mereka yang erat. Dan perasaan familier tersebut pun menyelusup pada diri Hinata, yah, kehangatan ini benar-benar pernah dirasakannya dahulu.

Di kafe manga, mereka memesan bilik yang agak besar, bisa diisi dua orang untuk membaca manga bersama-sama dan menikmati setidaknya makanan yang sudah disediakan dalam banyaknya paket pilihan. Dan sesampainya di bilik, mereka melepaskan mantel mereka, digantungkannya pada cantelan di bagian pintu, lalu mengambil buku panduan untuk memesan makan malam.

"Nasi kari," pinta Hinata, ketika baru saja Naru menyalakan komputer yang ada di sana, dan aplikasi menu yang sudah tersedia memampangkan sepiring nasi kari yang tampak lezat. "Aku juga ingin cola."

"Aku ingin spageti."

"Aku juga ingin spageti," Naru tertegun. "Aku ingin semuanya."

Ia nyaris menghela napas, karena gadis ini sepertinya sedang kambuh busung laparnya. "Nanti, kita pilih satu-satu dulu," pinta Naruto secara serius.

"Oke. Kalau lapar, kita bisa pesan lagi."

"Aku sudah cukup dengan spageti."

"Maksudnya itu untuk aku, bukan untukmu," Naru menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menekan setiap kotak pesanan mereka, dan ketika berhasil, mereka tinggal menunggu pesanan mereka datang, diantar oleh pelayan berseragam putih dan hitam.

Sebelum itu, Naru meneliti tempat ini dalam-dalam. "Tidak terlalu buruk," dia menilainya dengan senyuman mengembang. Ke mana saja dirinya selama ini. Tempat senyaman dan penuh privasi seperti ini dilewatinya. Seharusnya dia sedikit menghibur dirinya sendiri untuk datang ke tempat ini beberapa minggu sekali.

Siguiente capítulo