webnovel

BAB 11 : AWAL PERJUMPAAN 

"Sebenarnya lo bisa kenal dia dari mana sih Rin. Gedeg gua sama tu anak. Lagian kalian ngapain juga jadi satu sekolah." Ujar Indah, seakan dia lupa kalau sebenarnya dia juga adalah sahabat Sabiru, meski persahabatan mereka tak selama hubungan Karin dan Sabiru, namun setidaknya ia tahu beberapa hal tentang Sabiru. Karin masih terdiam, dia memandangi jalanan di luar sana dari balik kaca mobil. Seketika ia teringat hari di mana ia bertemu dengan Sabiru.

Saat itu, saat hari kelulusan Sekolah Menengah Pertama Karin tanpa sengaja menabrak Sabiru di acara pesta kelulusan. Mereka satu sekolah, namun tak pernah saling bertemu, tak pernah saling kenal atau saling menyapa. Dan itu adalah hari pertama mereka bertemu.

"Sorry." Ujar Karin yang tanpa sengaja juga menumpahkan minuman bersoda itu di baju putih milik Sabiru, hingga membuat noda yang terlihat nyata. Namun Sabiru sama sekali tak marah pada saat itu, ia justru memandangi Karin dengan senyum yang begitu mengagumi Karin. Bahkan Sabiru sampai tidak mendengar apa yang di katakan Karin barusan.

"Hallo!" Karin mencoba menyadarkan Sabiru hingga akhirnya ia nampak salah tingkah dan mengulurkan tangannya kearah Karin.

"Sabiru, nama gua Sabiru." Sabiru begitu nampak sangat bersemangat menyebut namanya, sementara Karin hanya tersenyum melihat gelagat Sabiru yang salah tingkah. Ia akhinrya membalas uluran tangan Sabiru, mereka berdua berjabatan tangan.

"Karina, bisa di panggil Karin." seperti itulah pertemuan pertama mereka berdua, semenjak pesta itu, keduanya menjadi dekat, saling bertukar kabar melalui pesan-pesan yang melayang diudara. Tiada malam tanpa mereka tersenyum-senyum sendiri. Setiap hari mereka bersua sapa di layar ponsel, seakan tak ingin ada hari yang terlewatkan untuk berdua. Hingga akhirnya Sabiru mengajak Karin untuk bertemu di sebuah taman kota dekat rumahnya. Saat itu malam minggu tepat sebelum tanggal sepuluh Juni.

Karin datang dengan penampilan terbaiknya, begitu juga dengan Sabiru. Mereka berdua duduk di tepi, memperhatikan langit yang entah mengapa saat itu sangatlah terang dengan di temani sinar rembulan dan bintang. Sabiru meraih tangan Karin, menggenggamnya.

"Karin, lo tahu? Saat pertama kali gua bertemu lo, di malam pesta kelulusan kita, entah mengapa hati gua berdebar-debar. Belum pernah hati gua merasakan hal itu, seakan gua ngga mau lo pergi dari kehidupan gua. Bukan karena lo cantic Rin, tapi gua selalu ada di sisi lo. Dan hari ini, biar gua mengungkapkan apa yang gua rasakan selama ini. Gua suka sama lo Karin, gua cinta. Dan gua mau lo jadi kekasih gua. Kalau bisa temani gua sampai tua." Mata Karin sudah berkaca-kaca. Ini kali pertama ia mendapatkan perasaan yang sangat berdebar, seakan ia dibawa melayang melambung tinggi keangkasa. Pipi Karin memerah menahan malu tapi mau.

"Lo mau ngga jadi pacar gua Rin? Gua janji, gua ngga akan ninggalin lo, gua ngga akan nyakitin lo. Gua akan selalu ada buat lo." Dengan sigap dan penuh keyakinan Karin mengangguk mengiyakannya. Karin menerima menjadi pacar Sabiru.

Sabiru sangatlah senang saat itu, ia memeluk Karin dengan sangat erat. Menyentuh pipinya menatap mata Karin sedikit lebih lama lalu mengucapkan terima kasih berkali-kali, hingga akhirnya Sabiru membenamkan bibirnya dibibir Karin. Mereka berdua saling bermadu kasih dibawah sinar rembulan. Lembutnya bibir Karin membuat Sabiru semakin membenamkan dirinya. Ini kali pertama bagi Karin berciuman, dengan orang pertama yang ia cintai. Karin masih ingat betul bagaimana deru napas Sabiru menerpa wajahnya, Karin tak menutup mata saat berciuman, ia memperhatikan raut wajah Sabiru, wajah yang sangat dekat bahkan menempel dikulitnya. Karin menyukai hal itu.

Sabiru lantas melepas ciumannya, menatap Karin dengan rasa bahagai. "Mulai saat ini aku akan menjaga kamu Karin. Aku janji tidak akan menyakiti atau bahkan pergi." Tidak ada kata lo gue lagi di percakapan Sabiru, semua menjadi intens.

Mereka memutuskan untuk bersekolah di tempat yang sama, Maharani dan Putra tahu hubungan mereka berdua. Namun hal itu sama sekali tak mengusik keduanya, mereka acuh tak peduli dengan kehidupan buah hatinya. Karin dan Sabiru bebas, mereka mau berkencan kapan saja tidak ada larangan bagi kedua orang tua Karin. Hanya saja cukup dengan pulang lebih awal, Karin akan terbebas dari omelan Maharani atau Putra.

"Gua muak nginget masa lalu Ndah, semuanya yang dikatakan dia bulshit. Mana dia yang katanya ngga mau ninggalin gua, yang ngga bakalan nyakitin gua. Bulshit semua Ndah." Karin yang masih menatap Keramaian jalanan di luar sana kini menghadap kearah Indah, ia menatap Indah dengan kekecewaan yang begitu amat berat. Indah memeluk Karin.

"Gua ngga bakalan biarin lo sendiri Rin, gua janji gua ngga bakalan seperti Sabiru, gua selalu ada buat lo. Kita hadapi sama-sama ya Rin. Lo ngga sendiri, ada sahabat lo di sini Rin."

"Ndah, gua harus pertahankan anak ini, gua mau buktiin ke dia, kalau gua kuat, bahkan gua bisa ngurus dia sampai besar tanpa seorang Ayah." Mereka pun kembali berpelukkan.

****

Nasib baik masih memihak Putra, setelah hampir seminggu ia tak sadarkan diri, akhirnya hari ini ia membuka matanya kembali, Karin berada di sana, begitu juga Maharani, mereka berdua mendekat merasa bersyukur karena kepala keluarga mereka sudah sadar dari komanya.

Maharani yang paling bahagia, sebenarnya beberapa hari ini Maharani selalu memasang wajah sedih di depan media atau bahkan kepada rekan-rekan suaminya yang datang untuk menjenguk. Selalu ada drama yang ia luapkan pada orang-orang yang datang. Karin sebenarnya muak dengan itu semua, ia bahkan memilih pergi jika ada orang yang datang keruangan itu.

"Mah!" Ujar Putra saat melihat Maharani telah ada di sampingnya dengan tetesan air mata. Maharani lantas memeluk suaminya. Menangis tersedu-sedu, entah ini tangis yang benar-benar tangis kesedihan atau hanya tipuan belaka, Karin tak menghiraukan itu. Ia lebih memilih fokus pada Putra.

"Karin." Kini Putra memanggil namanya, lantas Karin memeluknya, ia juga menangis bersyukur karena Ayahnya telah sadar, ketakutan itu setidaknya sirna sudah. Karin lega, tak perlu ia khawatir kehilangan lagi.

"Papa jangan banyak gerak dulu ya, harus istirahat yang cukup. Kalau mau apa-apa bilang ke Karin ya!" Putra menganggukkan kepalanya, Tuhan jika di izinkan bolehkah Karin merasakan kehangatan ini lebih lama, sudah lama ia tak merasakan pelukan hangan orang tuanya.

"Terima kasih ya Karin." Karin tersenyum mengangggukkan kepalanya, lantas ia duduk di kursi yang memang sudah di letakkan di sebelah brangka ayahnya terbaring. Pikirnya melayang, apakah akan ada lagi musibah yang menimpanya setelah ini. Apakah yang akan dilakukan Joyvano pada keluarganya jika mengetahui Putra sudah sadar dari komanya. Tak kah ada kesempatan untuk menghentikan air mata Karin yang terjatuh. Akan kesengsaraan itu selalu ada.