"Cinta hadir karena terbiasa bersama.
Tapi, apakah cinta bisa tumbuh jika separuh hatinya, justru mengharapkan cinta yang lainnya?"
___________
Senja tenggelam di wajahnya lima menit lalu tepat ketika seorang kurir menyerahkan amplop yang ditujukan untuk ayahnya.
Kekosongan kini nampak jelas di mata Nadhira.
Bagaimana mungkin?
Apakah ini hanya surat salah alamat?
Berbagai asumsi menjejali otakknya. Hingga suara lembut wanita bersahaja membuyarkan lamunan, tepat saat pikiran Nadhira sampai pada kemungkinan terburuknya.
"Apa yang kamu lamunkan, Nadhira?"
Setelah menaruh sepiring penuh kukis cokelat dan dua gelas sirup di meja, Rianti duduk persis di samping Nadhira.
"Eng...enggak apa-apa kok, Bunda."
Sedikit gelagapan karena terkejut dengan kedatangan sang Bunda, dengan serabutan gadis itu meremas lalu menyembunyikan surat yang ia pegang dalam saku gamisnya.
"Hampir dua puluh tahun, Ra." Rianti berdehem sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Itu artinya sudah hampir tujuh ribu tiga ratus hari Bunda menghabiskan waktu untuk merawat dan menjaga kamu selama ini. Bunda tahu ketika kamu gelisah, ketika kamu menyembunyikan sesuatu. Bahkan tentang perasaan yang kamu simpan rapat sendiri untuk Aryan selama ini."
Nadhira yang sebelumnya hanya tertunduk, langung mendongak begitu mendengar pernyataan Rianti.
Rianti menggenggam erat tangan anak gadis semata wayangnya.
"Bunda tahu, Sayang. Bahkan ketika kamu memilih untuk menutupi semuanya, Bunda tahu dari tatapanmu setiap kali memandang Aryan. Mata adalah indera yang tidak pernah bisa berbohong, Ra."
"Bunda..," lirih Nadhira memanggil. Sorot matanya layu, tak lagi berbinar seperti biasanya.
"Jangan pernah berpikir untuk menyembunyikan apapun dari Bunda. Sekecil apapun masalah itu, Bunda berhak tau yang sebenarnya. Itu jika kamu masih menganggap wanita tua ini seorang yang berharga untukmu."
"Bunda... Jangan ngomong kayak gitu." Nadhira bergegas memeluk sang Ibu. Dalam isak yang coba ditahan, gadis itu meyakinkan. "Selamanya Bunda adalah orang yang paling berharg dalam hidup Dhira, Bun. Enggak ada yang bisa menggantikan posisi Bunda di kehidupan Dhira sampai kapanpun. Jadi tolong, Bunda jangan ngomong kayak gitu lagi ya, Bun. Dhira minta maaf kalau sikap Dhira udah menyakiti hati Bunda."
Rianti tersenyum hangat sambil mengusap punggung gadisnya, sebelum akhirnya melepas pelukan mereka.
"Sekarang cerita sama Bunda. Apa yang mengganggu pikiranmu saat ini, Sayang?"
Tatapan tulus yang terpancar di mata wanita bersahaja itu, membuat siapapun yang melihatnya tak akan mampu untuk berkata dusta.
Mata itu, terlalu indah untuk dipadankan dengan kalimat-kalimat palsu.
Nadhira bergeming.
Masih ragu untuk mengungkapkan yang sebenarnya.
"Apa...soal Aryan?"
Sebenarnya Aryan adalah topik pembicaraan sensitif yang selama ini sebisa mungkin selalu Nadhira hindari. Tapi, apa boleh buat?
Jika itu bisa menghapus rasa penasaran Rianti, akhirnya Nadhira mengangguk dan siap menanggung resiko. Mendengar nama Aryan beberapa menit ke depan.
Yah, setidaknya Nadhira tidak berbohong pada ibunya. Aryan memang selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
Rianti tersenyum, matanya menerawang. Membayangkan sesuatu di sana.
"Aryan memang lelaki yang baik. Itulah mengapa Ayah sama Bunda dulu sempat berpikir untuk coba menjodohkan kamu dengan dia."
"Iya, Dhira tahu."
"Kamu tahu?" Alis Rianti bertaut. Tak mengira akan respon spontan yang dilontarkan Nadhira.
Setahunya, pembicaraan itu hanya Rianti dan Nirwan lah yang tahu. Rasanya, sekalipun mereka belum pernah membicarakan perjodohan itu pada siapapun.
Buru-buru ia menjelaskan begitu melihat raut keterkejutan dari wajah sang Bunda.
"Maaf, Bun. Dhira nggak sengaja dengar obrolan Bunda sama Ayah waktu itu. Dan mungkin karena percakapan itulah, hati Dhira dengan angkuh dan begitu percaya dirinya berani menaruh harapan lebih pada Aryan."
Kalau sebelumnya Nadhira lebih banyak menunduk, kali ini gadis itu memberanikan diri menatap mata Rianti.
"Tapi Dhira senang, Bun. Walaupun bukan Dhira yang menjadi jodoh Aryan. Tetap saja, Aryan jadi menantu Bunda. Menjadi suami Leia."
Kalimat Nadhira terhenti sebentar saat kedua tangannya berusaha menghalau air mata yang tanpa komando, menetes begitu saja.
"Setelah begitu banyak luka juga kepedihan yang dia dapat, anak Bunda yang satu itu berhak mendapatkan suami seperti Aryan. Leia juga berhak bahagia kan, Bun."
Dengan segenap kasih sayang, Rianti kembali membawa tubuh mungil Nadhira dalam pelukan.
"Bunda bangga sama kamu, Sayang. Sangat bangga. Terima kasih telah tumbuh menjadi putri yang membanggakan untuk Bunda dan Ayah."
"Harusnya Dhira yang bilang terima kasih, Bunda. Bagaimanapun keadaannya, Bunda sama Ayah selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Dhira. Entah harus bagaimana Dhira bisa membalas semua kebaikan Bunda sama Ayah."
Sedang larut sepasang ibu dan anak berpelukan dalam haru, Nirwan yang baru saja selesai melaksanakan ibadah lengkap dengan sarung dan kopiah hitam yang masih bertengger di atas kepalanya, ikut serta dalam adegan romantis keluarga sederhana itu.
"Selaluu saja, Ayah nggak pernah diajak kalo ada acara peluk-pelukan gini."
"Ayaah."
Keduanya menyahut bersamaan, kemudian kembali merangkul pria yang paling dihormati sekaligus yang paling mereka cintai di dunia.
Dalam sekejap mata, keluarga sederhana itu nampak begitu bahagia. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang mengerti isi hati dan pikiran masing-masing. Di balik senyuman itu, ada banyak ketakutan yang menggelayuti hati dan pikiran setiap dari mereka.
Tidak ada satupun yang tahu, bahwa masing-masing dari mereka mencemaskan hal yang sama. Ketakutan yang sama, juga ditutupi dengan senyum palsu yang sama.
***
Setelah melewati belasan purnama bersama, seharusnya sudah tidak ada lagi kata canggung di antara mereka.
Sayangnya, kedekatan yang tengah berusaha mereka bangun tidak sebanding dengan degupan canggung yang membuat keduanya justru terlihat bodoh.
"Ekhmm... Mas Aryan."
Leia yang lebih dulu memberanikan diri memecah kesunyian.
"Ya, Lei?"
Pria kaku itu lalu merutuki dirinya sendiri yang masih saja berlaku bodoh, tak bisa mengambil inisiatif untuk lebih dulu membuka pembicaraan.
"Liat sini," protes Leia sebal.
Tidak habis pikir, bagaimana bisa ketika sang istri berbicara si suami malah sibuk menatap layar tivi.
"Eh?"
Aryan memutar kepalanya yang terasa kaku menghadap Leia. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan sendi putar di lehernya rusak dan sulit digerakkan.
Entahlah, yang ia tahu sekarang ini lidah seakan tak mau berhenti mereproduksi air liur. Membuat mulut dan tenggorokannya selalu basah.
Selalu. Setiap kali matanya dan manik milik Leia bertemu dalam satu garis lurus.
Setelah bersepakat untuk menjalani kehidupan sebagai suami istri seperti masyarakat pada umumnya dua minggu yang lalu, mereka kini sedang berada di kamar utama. Dengan Leia yang duduk di pinggiran ranjang di sebelah kiri, dan Aryan yang duduk santai dengan punggung yang bersandar nyaman di kepala ranjang yang sudah dilapisi bantal empuk. Tangannya yang entah sejak kapan berkeringat itu buru-buru meraih remote tivi di atas nakas begitu Leia masuk lima menit yang lalu.
"Kita mau begini-begini terus, Mas?"
Ayolah, Leia memang bukan tipe gadis yang sabaran menunggu umpan dimakan. Gadis itu bahkan tidak masalah jika harus dijuluki cewek agresif. Biar saja. Apalagi, Aryan sudah sah menjadi suaminya. Sah sah saja, kan?
"Mm... Maksudnya gimana, Lei?"
Aryan menelan ludah untuk yang kesekian puluh kalinya.
Meskipun dua tahun lamanya ia sudah terbiasa melihat Leia tanpa hijab di kepala, tapi melihat gadisnya membuka penutup aurat tepat di depan matanya membuat Aryan lagi-lagi tak bisa mengendalikan diri.
Leia menarik napas kesal. Tidak habis pikir, lelaki macam apa yang menikahinya ini. Benar-benar tidak peka!
Selesai menyisir rambut, gadis itu bergegas menbalikkan badan menghadap Aryan sepenuhnya.
"Kita kan sudah sah, Mas. Masa mau begini aja."
Kali ini Leia merangsek naik ke atas ranjang. Menempelkan kepalanya pada bahu sang suami.
"Aku sudah dengan senang hati menyerahkan seluruh hatiku buat Mas Aryan. Sekarang giliran kamu, Mas. Kapan kamu akan memandang dan memeperlakukan aku layaknya seorang istri seperti yang lainnya?"
Aryan terpaku. Seluruh tubuhnya ia rasa telah diam, tapi mengapa kepalanya terasa berputar?
Apakah Leia baru saja merayu dirinya?
"Ngomong apa sih kamu, Lei? Sudah ah, sana tidur udah malam. Jangan begadang, nggak baik untuk kesehata."
Pada akhirnya, hanya kalimat itu yang mampu diucapkan Aryan.
Lalu tangan kokohnya mengusap lembut puncak kepala Leia sebelum akhirnya memposisikan dirinya untuk bersiap tidur dengan membalikkan badan membelakangi Leia.
"Mas!" Gadis itu merajuk, melihat reaksi Aryan yang jauh di luar ekspektasi.
Lalu memutuskan untuk keluar kamar meninggalkan suami 'kaku'nya, sambil mengumpat panjang pendek.
Bahkan Leia sudah berkorban menurunkan harga diri, tapi tetap saja. Sekali robot, tetap saja robot.
Ah, andai Leia tahu.
Sepeninggal dirinya dari kamar, Aryan terjaga sampai waktu yang cukup lama.
Entah bagaimana dia bisa bertingkah sekaku itu pada istri sendiri.
Hasratnya sebagai pria dewasa tentu saja menginginkan lebih dari sekedar mengusap puncak kepala Leia. Hanya saja, entah mengapa hatinya masih ada secuil keraguan.
Lalu kedua bola matanya tanpa ia duga menatap kalender yang terpajang di atas meja.
Tanggal dua puluh tiga. Hari kamis.
Malam Jum'at.
Mungkinkah ini pertanda dari-Nya agar Aryan memulai semuanya di hari yang penuh berkah?
Melaksanakan sunnah-Nya?
Haruskah, Aryan keluar menyusul Leia keluar kamar?