webnovel

MENGAMBIL KEPUTUSAN

Kedua pertarungan sengit itu tiba-tiba saja terhenti.

Mereka berdua melihat cahaya yang bahkan lebih terang dari apapun.

"Oh astaga, apakah dia awakening sekarang? Tidak, aku harus segera membawanya ke asrama," pikir Alena tak sabaran.

Sementara itu disisi lain, Damian bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat berbeda dari tubuhnya.

Perlahan, dia pun melihat telapak tangannya sendiri yang berkilau. "Apa ini? Kenapa aku bercahaya?" Dia amat takut akan perubahan yang terjadi pada dirinya saat itu. Namun, waktu sudah tak memungkinkan lagi.

"Dengan nama cahaya yang menerangi dunia, kuperintahkan kau lahap semua kegelapan yang ada," ucap Alena yang langsung membuat penyihir hitam yang sedang dia lawan saat itu terbelalak ketika kekuasaannya terhenti dan kegelapan yang dia perintahkan dilahap.

"Alena, keparat kau! Akan kubuat kau membayar semua ini!!!" Teriaknya, yang sama sekali tak didengarkan lagi oleh Alena dan Damian yang sudah kabur lewat dimensi lain.

***

Tap.

Mereka berdua pun tiba di suatu tempat yang sama sekali tak dikenal oleh Damian.

"Astaga! Aku benar-benar hampir gila menghadapinya di sana. Bisa-bisanya dia merapalkan sesuatu yang sangat dahsyat seperti itu dan melawanku? Cih! Maka dari itu aku sering meminta pada guru untuk mengajarkanku sihir kegelapan, akan tetapi guru sama sekali tidak ingin dan-" tiba-tiba saja wanita itu pun berhenti mengoceh ketika melihat pria yang ada di hadapannya itu, memandang dengan penuh pertanyaan Padanya. "Eh..."

"Apakah kau sudah selesai mengoceh? Sekarang juga kembalikan aku ke apartemenku." Damian melihat sekujur tubuhnya yang saat itu sama sekali tak mengenakan pakaian dan hanya mengenakan celana rumahannya saja.

Alena pun terkekeh. Dia juga baru menyadari bahwa dia membawa lari Damian tanpa menyuruhnya mengenakan apapun lagi. "Astaga! Aku benar-benar minta maaf. Pfft! Hahahaha! M-maaf!" Wanita itu sama sekali tak bisa menahan tawanya ketika melihat tubuh Damian yang berkilau terkena cahaya matahari karena berkeringat saat itu.

Damian benar-benar kesal melihat wanita itu terus saja menertawakan dirinya. "Apakah kau tidak bisa diam? Sekarang lakukanlah apapun untuk mengembalikan ku ke sana."

Mendengar permintaan dari pria itu, contoh membuat Alena pun menatap Damian dekat. "Kau gila? Kau ingin kembali ke sana dan mati percuma? Padahal aku sudah membawamu dengan mengeluarkan hampir seluruh mana yang ada di dalam tubuhku. Aku bahkan belum pernah mengeluarkan mana sebesar ini untuk menolong seseorang. Kau seharusnya berterima kasih padaku."

"Hah? Kau ingin aku berterima kasih padamu? Pada wanita gila sepertimu? Tidak! Terima kasih! Kalau kau sama sekali tak mau membawaku kembali, maka biar aku saja yang kembali ke sana sendirian." Alena pun hendak ditinggalkan saat itu. Akan tetapi, Damian sama sekali tak tahu harus berjalan ke mana. Dan karena mereka sama sekali tak memiliki waktu banyak lagi untuk menyelamatkan umat manusia, Alena pun terpaksa mengucapkan sesuatu yang benar-benar membuat Damian terperanjat.

"Damian, mungkin kau tidak akan mempercayai hal ini, tapi, sekarang ... Jika kau sama sekali tidak bertindak maka kedua orang tuamu juga akan terluka. Apakah kau ma-" belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, Damian yang marah besar sotak langsung mendorongnya ke pohon dengan tatapan yang benar-benar mengerikan.

"Apa yang kau katakan? Coba katakan sekali lagi dan aku akan benar-benar membuatmu menyesal wanita gila!"

"Cih! Pria ini benar-benar tidak bisa diberitahu." Alena pun meninggikan suaranya. "Kau lihat saja, jika aku pulang sekarang, maka kau akan kutinggalkan. Jika kau berniat untuk mengubah pikiranmu, maka sebutlah namaku tiga kali. Aku akan segera tiba di manapun kau berada." Alena pun langsung pergi begitu saja meninggalkan Damian.

"Sial!" Pria itu sudah tak tahu lagi harus berkata seperti apa dan memikirkan apa saat itu. "Kepalaku benar-benar sakit. Apakah benar yang dia katakan bahwa jika aku sama sekali tidak bertindak maka semuanya akan mengenai ayah dan ibu juga?" Dia pun duduk sejenak di bawah pohon saat itu.

Meratapi dirinya tanpa busana bagian atas, membuatnya pusing dan mengantuk. "Hhh! Aku akan memejamkan mataku sejenak," ujarnya, yang kemudian menutup matanya.

***

"Nak, kenapa kau tak melakukan sesuatu lagi saat ini? Ayah dan ibu sekarang sudah menjadi korban. Kau akan hidup di dalam keputusasaan dan juga rasa penyesalan hingga seluruh daging yang ada di dalam tubuhmu itu habis. Bahkan tulang belulang yang ada di dalam dirimu menjadi debu, Akan tetapi rasa penyesalanmu tidak akan pernah bisa berakhir."

"DAMIAANNNN!"

Mimpi yang begitu mengerikan sekali lagi Damian rasakan. "Astaga!" Pria itu mengusap dan mengurut kepalanya yang saat itu terasa sangat sakit setelah menerima mimpi yang begitu menakutkan.

"Hhh! Apakah ini adalah pertanda?" Dia menakut karena setelah dia memimpikan sesuatu, mimpi-mimpi itu pasti akan langsung menjadi kenyataan. Dan di dalam mimpinya saat itu kedua orang tuanya mati mengenaskan, tanpa dia bisa menolongnya sedikitpun.

Sontak pria itu pun langsung mengambil ponsel yang saat itu ada di dalam sakunya, kemudian menelepon dan bertanya bagaimana keadaan kedua orang tuanya di Amerika.

"Halo! Ayah, Ibu, apakah kalian baik-baik saja? Tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada kalian, bukan?"

"Ahhh! Syukurlah kalau begitu. Aku akan menelpon lagi nanti," ujarnya yang kemudian langsung mematikan panggilan telepon itu.

Saat itu dia sudah benar-benar memutuskan bahwa dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kedua orang tuanya.

"Tapi, yang sekarang jadi masalahnya adalah kapankah hal itu akan terjadi?" Karena dia sama sekali tidak bisa memutuskan dan mendapatkan waktu pasti dari mimpinya itu akan berlangsung kapan. "Mungkin saja mereka bisa membantuku. A-aku, aku tidak ingin lagi hidup di dalam penyesalan dan tak bisa melakukan apapun ketika orang lain membutuhkan bantuanku. Ya, aku akan melakukan apapun untuk membantu mereka dan juga menyelamatkan ayah dan ibu."

Damian sontak melihat sekelilingnya. Yang terlihat saat itu hanyalah Padang yang luas dan juga sebuah pohon yang sedang ia pakai sebagai tempat berteduh.

"Sebenarnya penyihir gila itu membawa aku ke mana? Kenapa tempat ini begitu aneh dan juga sama sekali tidak sesuai dengan tempat di mana manusia berada?" Damian berputar-putar dua kali hingga pada akhirnya dia pun mengingat untuk memanggil nama Alena sebanyak tiga kali untuk menghadirkan penyihir itu.

"Hah! Benarkah jika aku memanggil namanya sebanyak 3 kali maka dia akan datang? Cih! Ya sudah, biar aku coba saja."

Damian pun kembali berdiri di bawah pohon, dan mulai memanggil nama Alena sebanyak 3 kali. "Alena, Alena, Alena!" Tepat pada panggilan yang ketiga, ternyata wanita itu sama sekali tidak hadir di sana. "Kurang ajar! Apakah dia boho-" akan tetapi satu detik setelahnya, Alena pun tiba dengan tingkat sihirnya.

"Haha, apakah kau sudah sadar sekarang?"

Damian menatap tajam padanya dengan tatapan yang benar-benar tegas. "Bawa aku ke akademi itu. Aku akan belajar di sana bagaimana caranya untuk mengendalikan kekuatanku."

Mendengar hal itu benar-benar membuat alinea tersenyum bahagia. "Akhirnya, kau mengambil keputusan yang tepat, Damian. Peganglah tanganku!"