webnovel

Öde

Alde tidak pernah menganggap keahliannya ini adalah sebuah anugerah. Malahan, ia merasa jika dirinya telah terkutuk. Benang-benang merah yang selalu muncul di depan matanya tanpa ia minta, memberitahukan dirinya bagaimana takdir dari hubungan orang-orang disekitarnya. Membuatnya muak melihat kenyataan yang tidak permah ia inginkan. Alde ingin, jika keahlian ini segera menghilang dari hidupnya. Tapi, bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja datang kedalam hidupnya dan membantu Alde merubah pemikiran sempit tersebut? Ketika ia dipertemukan dengan seseorang yang membuatnya ingin tetap memiliki kemampuan tersebut agar bisa melihat benang-benang merah tersebut terikat di antara jari kelingking mereka. Membuatnya berharap jika ia adalah satu-satunya takdir dalam hidup orang tersebut. Dan di saat seperti itu lah, takdir kembali mempermainkannya. — Aku mencintaimu, sangat. Akan tetapi, kau bukanlah takdirku. Benang merahmu, bukanlah benang merah milikku. Cerita kita... tidak bisa berakhir bersama. -Aldelina Jika kau memberikanku satu kesempatan lagi, aku akan melawan benang takdir itu. Tak peduli jika itu malah akan menghancurkanku. Karna... dari awal hingga selamanya, aku hanya akan mencintaimu. -Elio

angst00 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
34 Chs

6

Kapan terakhir kali Alde menangis seperti ini? Ketika pemakaman kakeknya?

Tidak. Ketika kakeknya meninggal, air mata Alde sudah tak lagi mengalir. Hal terakhir yang disampaikan padanya oleh pria paruh baya itu disela-sela kesadarannya yang menipis adalah untuk menjadi wanita yang kuat, tak menyia-nyiakan air matanya untuk hal-hal sepele. Jadi ia hanya bisa terdiam ketika melihat satu-satunya orang yang paling ia sayangi masuk ke dalam liang kubur, pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Tapi... untuk kali ini saja, biarkan ia menangis. Biarkan Alde melepas seluruh rasa frustasi yang telah menumpuk melalui air mata itu. Biarkan ia menghilangi rasa yang sudah lama menghimpit hatinya.

Dengan wajah yang memerah karna malu ia mengelap matanya yang bengkak karna tangis menggunakan tisu. Sudah sejak lima belas menit yang lalu Alde melepas pelukannya dari kakek di sampingnya. Saat ini mereka tengah duduk bersebelahan, dengan Alde yang masih berusaha menghentikan isakannya.

"Maaf karna membuatmu melihat hal yang tidak patut."

Sang kakek tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tersenyum, mengusak pucuk kepala Alde dan bangkit untuk mengambil segelas air putih.

"Minumlah." ucapnya sembari menyodorkan gelas tersebut pada Alde.

Setelah berterima kasih Alde segera menerima gelas tersebut. Ia menegak setengah dari isinya, melegakan tenggorokkannya yang terasa serak sehabis menangis.

Sang kakek yang sudah kembali duduk di tempat awalnya menatap Alde sesaat sebelum mengambil sendok yang sebelumnya ia tinggalkan untuk melanjutkan makannya yang tertunda. "Ayo kita lanjutkan lagi sarapannya."

Alde menganggukkan kepalanya. Ia kembali melahap sarapan yang berada di hadapannya. Menghabiskan makanan yang ia ambil untuk memenuhi perutnya yang kosong.

Seusai sarapan, Alde menerima tawaran sang kakek untuk membersihkan tubuhnya yang kotor karna keringat dan air mata di kamar mandi. Membenahi setiap jengkal tubuhnya menggunakan air hangat, berikut dengan rambutnya yang sudah berantakan dan kusut karna kejadian semalam.

Dengan mengenakan kaus putih yang kebesaran hingga paha dan celana kargo selutut, Alde keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah ia balut oleh handuk yang diberikan sang kakek. Tangannya menggenggam baju kotor yang sebelumnya ia gunakan, mengedarkan pandangannya untuk mencari sesuatu yang bisa menampung baju kotornya.

"Sepertinya baju cucu ku terlalu besar untukmu." celetuk sang kakek yang muncul dari dalam kamar yang ditempati oleh Nyla. Ia membawa sebuah kantung kresek kosong dan memberikannya pada Alde. "Tempatkan saja bajumu di sini."

Cepat-cepat Alde segera memasukkan seluruh bajunya ke dalam keresek dan mengikatnya rapat.

"Temanmu sudah bangun, lebih baik kau temui dia." lanjut sang kakek sebelum berjalan menuju dapur, meninggalkan Alde yang sudah berlari masuk ke dalam kamar tempat Nyla berada.

Tak bisa kalian bayangkan seberapa senang Alde saat ini. Ketika menangkap Nyla yang sudah menangis karna melihat sosoknya dan berlari ke arahnya dengan kaki terpincang-pincang.

"Alde... maafkan aku! Maafkan kebodohanku..." ucap Nyla berulang kali sembari memeluk Alde erat, enggan untuk melepasnya barang sebentar.

Alde menghela nafas. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Nyla agar menjauh darinya dan menangkup wajah wanita itu.

Nyla yang bingung menatap Alde tepat di manik matanya. "Ap-!"

Kalimatnya terputus ketika dengan tiba-tiba Alde menghantamkan dahinya sekencang mungkin pada dahi Nyla. Membuat Nyla merasakan sakit yang teramat sangat hingga meringis.

"Kenapa kau melakukan itu?!"

"Balasan karna membuatku kesulitan." jawab Alde sembari menepuk telapak tangannya seakan-akan tengah membersihkan debu yang menempel.

"Tapi ini berlebihan." rengek Nyla yang merasakan jika di dahinya sudah terdapat sebuah benjolan akibat ulah Alde.

Sang pelaku tidak peduli. Dengan Acuh Alde membalikkan tubuhnya untuk meminta handuk baru dari sang kakek dan memberikannya pada Nyla. "Lebih baik kau bersihkan dirimu dulu baru kita bicarakan ini."

Sembari mencibir Nyla menerima handuk tersebut. Dengan sedikit susah payah ia mulai berjalan menuju kamar mandi--tentunya dituntun oleh Alde--dan membersihkan tubuhnya. Alde menunggu di luar bersama Kakek, keduanya menikmati teh yang sudah diseduh sembari menonton tv. Menunggu Nyla selesai mandi.

"Aldee!" panggil Nyla dari dalam kamar mandi.

Mendengar itu cepat-cepat Alde segera bangkit dari duduknya dan berlari ke kamar mandi. Tak lupa ia juga membawa baju ganti yang sudah diberikan oleh kakek dan memberikannya pada Nyla.

"Sudah." ucap Nyla ketika ia selesai mengganti bajunya dengan baju yang bersih. Tangannya beberapa kali harus memperbaiki bajunya yang terus merosot memperlihatkan bahunya karna kelonggaran.

"Karna kau sudah selesai, ayo kita pulang!"

"Loh, temanmu tidak mau makan dulu?" tanya sang kakek ketika mendengar kalimat yang baru saja Alde ucapkan.

"Tidak usah, lebih baik kita segera pulang saja. Aku yakin orang tua anak ini sudah menangis karna tau jika anak semata wayangnya tidak kunjung pulang dari semalam."

Kakek itu menganggukkan kepalanya paham. "Kalau begitu aku akan memanggilkan taksi."

"Terima kasih."

Alde bergegas untuk mengambil seluruh barang-barang milik mereka. Mengeceknya beberapa kali karna tidak ingin meninggalkan apa pun di sini, tak ingin merepotkan sang kakek lebih dari ini.

Ketika taksi datang, Alde segera membopong Nyla di bahunya. Dengan perlahan mereka berjalan ke luar, diikuti oleh sang kakek dari belakang.

"Aku benar-benar berterima kasih pada kakek atas bantuannya." sebelum memasukkan Nyla ke dalam taksi, Alde membalikkan tubuh mereka agar menghadap sang kakek lalu membungkukkan tubuhnya.

Buru-buru Nyla segera mengikutinya, membungkukkan tubuhnya dan berterima kasih pada sang kakek. "Terima kasih atas bantuannya."

Melihat itu sang kakek tersenyum, "Sama-sama. Lain kali jangan mudah percaya pada orang yang tidak kau kenali ya."

Nyla yang merasa jika kalimat itu ditujukan padanya hanya bisa tertawa canggung sembari penggaruk pipinya yang tak gatal menggunakan jari telunjuknya.

"Alde, ayo pulang."

Ajakan itu membuat Alde segera mengingat tujuan mereka dan kembali menuntun Nyla menuju taksi. Mendudukkan wanita itu di bangku belakang sebelum mengambil barang-barang mereka yang dibawa oleh sang kakek.

"Kalau begitu kami pamit kakek." ucap Alde sekali lagi sebelum membalikkan tubuhnya.

Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, sang kakek tiba-tiba saja menahannya.

"Tunggu."

Alde menoleh, "Ya?"

Sang kakek segera menarik tangan kanan Alde. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya dan memberikannya pada Alde, "Kalau kau ada waktu luang, mainlah kemari." dan setelah itu mendorong Alde untuk segera masuk ke dalam taksi.

Dengan wajah bingung Alde masuk ke dalam taksi. Ia memperhatikan wajah penuh senyuman sang kakek sebelum akhirnya mobil melaju perlahan.

"Apa lagi yang kalian bicarakan?" tanya Nyla penasaran.

"Huh? Bukan apa-apa." jawab Alde.

Merasa tak tertarik lagi, Nyla segera mengalihkan perhatiannya pada ponsel. Ia saat ini sedang sibuk membuat sebuah alasan untuk dikatakan kepada orang tuanya.

Di sisi lain, Alde yang penasaran dengan apa yang diberikan oleh sang kakek segera membuka kepalan tangannya. Ia melihat jika terdapat sebuah kartu nama dan kunci di tangannya. Kunci tersebut memiliki gantungan dari sebuah lambang yang tidak pernah Alde lihat sebelumnya. Lambang sebuah kesatria yang menancapkan pedang emasnya di kepala seekor singa.

"Kenapa seorang pemulung bisa memiliki kartu nama?" celetuk Nyla, dengan sekejap merebut kartu nama tersebut dari tangan Alde.

Alde yang sudah terbiasa dengan perlakuan tidak sopan sahabatnya tidak mempermasalahkan hal itu. "Aku tak tau." jawabnya.

Salah satu alis Nyla terangkat ketika membaca sesuatu yang tak umum dari kartu nama itu. "Wahh... bahkan namanya saja sangat bagus."

"Memang siapa namanya?"

"Kau lihat saja sendiri." Nyla mengembalikan kartu nama tersebut pada Alde, membiarkan Alde untuk membacanya sendiri.

Sama'el Vele Khrysaor

Nama yang terdengar sangat mewah untuk seorang kakek sederhana sepertinya.

"Mungkin orang tuanya salah seorang fans novel atau film kerajaan." ucap Alde, berusaha membuat alasan semasuk akal mungkin.

"Hmm mungkin juga." sahut Nyla.

Berpikir jika ia memiliki hutang yang cukup besar pada sang kakek, Alde memutuskan untuk mengunjunginya lagi.

"Setidaknya, aku harus mengembalikan baju cucunya, kan?"