webnovel

Öde

Alde tidak pernah menganggap keahliannya ini adalah sebuah anugerah. Malahan, ia merasa jika dirinya telah terkutuk. Benang-benang merah yang selalu muncul di depan matanya tanpa ia minta, memberitahukan dirinya bagaimana takdir dari hubungan orang-orang disekitarnya. Membuatnya muak melihat kenyataan yang tidak permah ia inginkan. Alde ingin, jika keahlian ini segera menghilang dari hidupnya. Tapi, bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja datang kedalam hidupnya dan membantu Alde merubah pemikiran sempit tersebut? Ketika ia dipertemukan dengan seseorang yang membuatnya ingin tetap memiliki kemampuan tersebut agar bisa melihat benang-benang merah tersebut terikat di antara jari kelingking mereka. Membuatnya berharap jika ia adalah satu-satunya takdir dalam hidup orang tersebut. Dan di saat seperti itu lah, takdir kembali mempermainkannya. — Aku mencintaimu, sangat. Akan tetapi, kau bukanlah takdirku. Benang merahmu, bukanlah benang merah milikku. Cerita kita... tidak bisa berakhir bersama. -Aldelina Jika kau memberikanku satu kesempatan lagi, aku akan melawan benang takdir itu. Tak peduli jika itu malah akan menghancurkanku. Karna... dari awal hingga selamanya, aku hanya akan mencintaimu. -Elio

angst00 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
34 Chs

3

Tepat pukul 10 malam Nyla datang ke depan gedung apartemen Alde menggunakan taksi. Ketika turun, wanita itu menatap gaya perpakaian Alde yang terlihat... sangat tidak menarik.

"Kau yakin mau menggunakan pakaian seperti itu?"

Alde menunduk, menoleh ke arah pakaian yang sedang dikenakan olehnya. Sebuah hoodie gading dengan celana potongan lurus berwarna putih yang panjangnya hanya selutut.

"Memangnya kenapa?" tanya balik Alde, tidak paham maksud dari perkataan Nyla.

Tau jika hal seperti ini akan terjadi, Nyla segera kembali ke dalam taksi untuk mengambil sebuah tote bag berisi baju yang sudah ia siapkan dari rumah lalu menyodorkannya pada Alde.

"Pakai ini cepat!" titahnya.

Alde yang bingung mengapa ia harus mengganti bajunya hendak menolak namun, dengan keras Nyla mengancam, "Jika kau tak mengganti bajumu dengan ini kesepakatan kita batal."

Dan tanpa membuang waktu lebih banyak lagi Alde segera mengambil totebag tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung apartemen. Menggantinya di dalam kamar mandi milik penjaga gedung sebelum kembali keluar menghampiri Nyla yang sudah menatapnya dengan senyuman puas.

"Begini lebih baik." ucapnya.

Alde yang harus mengganti bajunya dengan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans selutut hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Sekarang, ayo kita pergi!"

Menggunakan taksi yang sebelumnya Nyla tumpangi, keduanya tiba didepan sebuah gedung bertingkat yang tak pernah Alde sadari ada sebelumnya. Ia melihat cukup banyak orang yang mengantri di depannya, entah sedang menunggu izin masuk atau apa ia tak tahu. Dengan santai dan tanpa merasa curiga sedikitpun Nyla berjalan ke arahnya, membuat Alde segera menarik lengannya.

"Hei, kau benar-benar akan mengganti gajiku yang dipotong setelah ini kan?" tanyanya memastikan jika apa yang dikatakan sahabatnya tadi siang bukanlah omong kosong belaka.

Pertanyaan itu membuat Nyla menghela nafas.

"Aku sudah mentransfer sebagian ke rekeningmu." jawabnya.

Mendengar hal tersebut, Alde cepat-cepat segera membuka mobile bankingnya. Ia mengecek uang tabungannya saat ini dan tersenyum ketika melihat nominalnya bertambah.

"Sudah kan? Ayo jalan!"

Dengan langkah ringan Alde mengikuti Nyla yang menuntunnya berjalan langsung ke depan sebuah antrian. Ia melihat jika orang-orang yang mengantri sepertinya menunggu untuk diberi izin masuk oleh pria bertubuh kekar di depan pintu.

Awalnya Alde mengira jika mereka juga harus mengantri. Namun, ketika Nyla berincang sebentar dengan sang penjaga, tiba-tiba saja mereka di izinkan masuk.

"Kenapa dia membiarkan kita masuk begitu saja?" tanyanya bingung sekaligus takjub.

Nyla tertawa, "Karna temanku yang memberitahukan tempat ini adalah pemiliknya."

Kedua alis Alde terangkat. Ia tau kalau Nyla adalah seorang social butterfly yang sangat parah, tapi ia tak tau jika lingkup pertemanan wanita itu ternyata adalah orang-orang seperti ini.

"Kau tidak berteman dengan orang-orang aneh kan?"

Mendengar nada kekhawatiran di pertanyaan tersebut, Nyla tersenyum. "Tenang saja, teman-temanku baik kok."

Walau ragu, Alde berusaha percaya pada sahabatnya. Ia mengesampingkan pemikiran-pemikiran negatifnya dan membiarkan kakinya melangkah masuk ke dalam.

Di dalam, Alde dibuat terkejut oleh lagu yang memompa jantung. Bersamaan dengan beat yang terdengar dari speaker full range yang di susun di setiap sudut ruangan. Telinganya terasa seperti tuli karna tak terbiasa mendengar lagu yang cukup memekakkan telinga seperti ini

Tapi, yang membuatnya merasa aneh adalah, orang-orang yang menikmati situasi seperti ini. Remang dan bebas, seakan-akan tengah melepas bebas hormon dopamine mereka. Tak peduli dengan tata krama, semua yang berada di sana melakukan apa pun yang mereka inginkan. Sama seperti Nyla, yang kini sudah berlari ke tengah sembari menyeret Alde dan menggerakkan tubuhnya dengan penuh semangat di atas lantai yang memancarkan lampu warna-warni.

"Bukankah tempat ini menyenangkan, Al?"

Alde yang tak mengerti maksud 'menyenangkan' dari kalimat Nyla hanya bisa tersenyum simpul.

"Ayolah kau harus bersenang-senang sedikit, lupakan buku-buku membosankan itu!" jerit Nyla pada Alde, berusaha melawan suara lagu yang mengalun kencang di ruang remang tersebut.

Semakin lama Alde berada di tengah-tengah kerumunan, semakin tak nyaman ia dibuat. Tempat seperti ini bukanlah tempat yang ia sukai. Jika bukan karna janji yang sudah ia buat—juga jaminan kesepkatan mereka—Alde pasti tidak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat seperti ini.

Tanpa mengatakan apapun pada Nyla, ia segera berjalan ke pinggir ruangan dan menyandarkan tubuhnya pada sebuah tembok. Berusaha mengistirahatkan tubuhnya yang sudah terasa lelah—walau pada kenyataannya ia haanya bergerak sedikit—.

"Hei, kau sendirian?"

Suara itu membuat Alde menoleh. Tiba-tiba saja seorang pria sudah berdiri di sampingnya. Wajahnya cukup tampan, tubuhnya tinggi dan terlihat cukup atletis. Namun, entah mengapa, Alde merasa tak nyaman ketika melihat senyumannya. Seakan-akan ada sesuatu di balik wajah ramah itu.

"Aku bersama dengan teman." jawab Alde acuh.

Pria itu tersenyum lalu menunjuk ke salah satu arah dengan dagunya. "Apa temanmu yang itu?"

Alde segera mengikuti arah tunjuk pria itu. Kedua matanya membola ketika melihat Nyla sedang meminum sesuatu bersama dengan pria yang tak ia kenal.

"Oh tidak." rutuknya sembari berlari ke arah mereka.

Dengan tergesa-gesa Alde melewati kerumunan orang yang akal sehatnya sudah menghilang, berusaha menghampiri sahabatnya secepat yang ia bisa sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

"Nyla, hentikan!" jerit Alde, dengan paksa menarik gelas yang masih menempel bada mulut Nyla.

"Kenapa sih?"

Tanpa menghiraukan keluhan Nyla, Alde segera mengembalikan gelas tersebut pada sang pemilik sebelumnya lalu segera menyeret sahabatnya pergi dari sana.

"Kau mau membawaku ke mana Al? Kita kan masih memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang."

Kalimat itu membuat langkah Alde terhenti. Ia memutar tubuhnya, menatap Nyla yang masih bisa tertawa tanpa tahu bahaya dari tempat seperti ini.

"Ayo pulang." hanya itu yang bisa Alde katakan.

Lenguhan kecewa lolos dari mulut Nyla, "Tapi aku masih ingin di sini." rengeknya.

"Pulang!"

"Tidak mau!" tolak Nyla.

Tanpa habis akal Alde berusaha membawa Nyla keluar dari sana. Dengan penuh paksaan ia menyeret sahabatnya yang masih menolak untuk bergerak dari tempatnya berdiri.

"Ayo pulang Nyla!"

"Sudah kubilang tidak mau!!"

Terjadi adegan tarik menarik di lorong club malam itu. Keduanya enggan untuk mengalah, membuat orang-orang yang melalui lorong itu menatap mereka aneh.

"Kenapa kau tidak mau mendengarkanku sih? Lebih baik kita pulang dan tidur daripada bermain di tempat seperti ini." ucap Alde disela-sela nafasnya yang berat, lelah karna permainan tarik menarik yang mereka lakukan.

Nyla menggelengkan kepalanya. ia masih bersikeras untuk menetap di tempat ini. "Kalau kau ingin pulang silahkan saja, tinggalkan saja aku di sini, aku masih ingin bersenang-senang tanpamu."

Kalimat itu menyentuh batas kesabaran Alde. Ia segera melepaskan pegangannya dari lengan Nyla. Menyerah.

"Baiklah kalau itu maumu, jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi padamu!" ucap Alde, segera memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Meninggalkan Nyla yang sebelumnya hendak mengejar Alde namun, mengurungkan niatnya dan kembali melangkah masuk kedalam club malam.

Di luar, dengan penuh emosi Alde menghentak-hentakkan kakinya ke atas aspal. Menginjak kerikil sekencang yang ia bisa untuk melampiaskan emosi. Tak peduli dengan tatapan-tatapan aneh yang sudah diberikan oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya, termasuk penjaga pintu berbadan kekar tadi.

"Kenapa anak itu sangat keras kepala di saat seperti ini?!" geram Alde.

Dia sudah tak peduli lagi dengan uang. Keselamatan jiwanya lebih penting daripada uang yang tak seberapa. Ia tak mau, sesuatu yang buruk menimpahnya. Sudah cukup ia berkutat dengan masalah keluarganya, tak mau menambah beban lagi.

Akan tetapi...

Decihan lolos dari bibir ranum Alde. Dengan sedikit berlari ia kembali masuk ke dalam club malam tadi. Sekesal apapun dirinya pada Nyla, Alde tak tega jika harus benar-benar meninggalkan wanita itu sendirian. Rasa khawatir terus mengikutinya jika mengingat bahwa Nyla saat ini berada di sekitar orang-orang berbahaya.

"Nyla!"

Jeritan yang berusaha menyaingi suara dentuman musik namun gagal. Dengan bersusah payah Alde membelah lautan manusia di dalam club tersebut, mencari sahabatnya yang sudah menghilang entah ke mana.

" Kau di mana Nylaa!!"

Manik coklat jernihnya mengerling ke tiap sudut ruangan. Kakinya melangkah secepat yang ia bisa menuju tempat-tempat yang belum sempat terjamah olehnya, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan yang hanya di tutup oleh tirai beludru.

"Lepas!" suara yang berasal dari balik tirai itu lah membuat Alde menghentikan langkahnya.

Tanpa ragu ia menyibak paksa tirai yang berada di hadapannya, membuat kedua manik coklak jernih itu terbelalak lebar ketika menyaksikan hal yang saat ini tengah terjadi di balik tirai tersebut.

"Nyla!"