webnovel

YOU, ME, DEATH

Cara termudah untuk melupakan mantan kekasih adalah, mereset kembali pikiran. begitulah yang terjadi pada Junghan, pria kaya yang jatuh miskin karena mantannya. Dia bertekad menjadi orang lain dengan menghapus ingannya untuk memulai lembaran baru. Namun, tak semudah yang direncanakannya. satu persatu masa lalu datang padanya.

Vince_Umino · Urban
Zu wenig Bewertungen
20 Chs

Pikiran Ekstrim Kenta

Di depan gerbang, aku bersandar, menunggu kedatangan Kenta. Memastikan agar gadis itu tak mengajak Fujia untuk saling pamer kedewasaan.

Wajahnya tebal sekali, sehingga tidak ada batasan menyebutkan hal-hal sensitif di depanku. Jika Kenta pria, dia akan menjadi Fujia kedua dalam hidupku.

Aku memperhatikan para siswa yang berdatangan dan memasuki gerbang. Beberapa dari mereka menyapaku. Mataku masih mengarah pada jalan utama. Dari kejauhan, Kenta berlari dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia menghampiriku sembari membungkuk, napasnya tersengal-sengal.

"Kau berbohong!'' tudingnya padaku. "Dasar Picik! Kesalahanku karena terlalu percaya padamu."

"Benarkah? Ah, kupikir-pikir ternyata kerannya sudah kumatikan,'' ucapku padanya.

Melihat Gadis Sakit Mental itu kelelahan, senyumku tak bisa kutahan. Aku berbalik memasuki halaman sekolah.

"Anggap saja tadi itu olahraga. Lelaki harus olahraga, siapa tahu tubuhmu bertambah tinggi."

Kenta tertinggal di belakang dan sempat kudengar dia tengah mengomel.

Meski omelannya membawa-bawa nama semua hewan kebun binatang, tetapi kedengarannya sangat jenaka.

"Tidak ada hari yang lebih bahagia dalam satu minggu ini kecuali melihat Kenta menderita. Ahahaha!!!"

"Siapa yang membuatmu tersenyum pagi-pagi begini? Ah, kuharap itu aku," ucap salah satu siswa perempuan yang datang dan ikut berjalan di sampingku.

"Hal-hal lucu dari seorang gadis yang berantakan, tidak cocok untuk gadis manis sepertimu. Bersikap baik dan saling menyapaku, sudah cukup membuatku nyaman denganmu."

Gadis itu senyum dan menyenggol lenganku. Tampaknya dia tersipu dengan goyonanku.

Para siswa yang sering memberiku hadiah, juga menghampiriku. Tiba-tiba Kenta menerobos masuk, dan lewat di depan kami.

Gadis berkepang bertanya, "Kak Masio sudah sehat? Bisa ikut olahraga renang hari ini?''

Lalu gadis ke dua menyergah, "Eh, kak Masio tidak suka membasahi tubuhnya. Olahraga renang tidak cocok untuknya. Pasti punya alasan khusus."

Selama ini aku memang jarang ikut dalam pelajaran renang. Bukan karena tak suka, melainkan aku sudah pandai dalam berenang.

Renang salah satu pelajaran yang diikutsertakan dalam lomba tingkat nasional. Takut menimbulkan masalah untuk ayah, karena lebih berpotensi membongkar latar belakang keluarga, lebih baik untuk menghindari kegiatan itu.

Adegan terburuk yang pernah terbayang olehku, jika wajahku dimuat di koran nasional. Pencari berita dan penulis artikel lokal akan mencari siapa ayahku. Mereka akan melakukan segala cara untuk menyelidiki asal usulku. Ini akan menjadi rumit jika ayah, seorang ilmuan gila itu diketahui seluruh dunia.

Lamunanku terusik saat salah seorang gadis bertanya pada Kenta, "Apakah Kak Kenta bisa berenang? Kata orang-orang Kak Kenta belum memasuki ektrakulikuler satu pun.''

Mereka menatap Kenta lekat-lekat.

Gadis Sakit Mental itu tersenyum kikuk seraya berkata, "Ahahaa, aku tak ingat pernah ikut olahraga berenang. Apa berenang itu sulit?''

Gadis-gadis itu antusias menjawab dengan nada lebai. "Benar, sulit sekali!''

[ Dia akan menempatkanku pada posisi berbahaya jika Kenta ikut olahraga renang kali ini. Menjaga identitas sejatinya sama saja masuk ke dalam jurang yang dalam. Mengingat otaknya konslet, Kenta pasti tak ragu-ragu mempertontonkan tubuhnya tanpa baju. Aghhh ... membayangkannya bikin sakit kepala. ]

Obrolan yang makin berkembang antara Kenta dengan para gadis langsung kupotong, "Kurasa, Kenta akan langsung tenggelam begitu masuk ke kolam. Layaknya batu masuk ke air. Kolam renangnya sangat dalam, tubuh pendeknya kesulitan beradaptasi. Sebaiknya pikir-pikir dulu, dari pada mengganggu pelajaran.'' aku mencoba mempengaruhinya, agar setidaknya Kenta berpikir dua kali untuk ikut.

Seketika itu, gadis-gadis tertawa. Kutebak, mereka telah membayangkan kolam renang dengan tinggi tubuh Kenta.

"Kurasa kalian mengerti apa yang kumaksud," tebakku.

Gadis-gadis itu mengangguk sambil menutup mulut.

Kenta menatap sinis padaku. ''Aku mengerti sekarang. Kau pikir pria bertubuh pendek tak punya bakat untuk berenang? Ahh... Sungguh penghinaan!"

Gadis-gadis itu tertawa lepas, kemudian salah satunya berkata, ''Kalian terlihat bermusuhan.''

"Kak Kenta, kalau marah lucu sekali,'' puji seorang gadis berpipi tirus.

"Agar tidak buat masalah, kusarankan untuk berenang di rumah saja!" aku menimpali sambil menatapnya dengan senyum tipis.

Gadis Sakit Mental itu tidak menghiraukan aku. Ia malah bertanya, "Dari kalian, ada yang bisa berenang? Bisa ajari aku?''

Gadis-gadis itu histeris lantas menunjuk diri mereka sendiri untuk mengajari Kenta.

Jujur saja, aku agak takjub pada situasi ini. [ Sebagai gadis yang berpenampilan laki-laki, Kenta memang cukup enak dipandang, aku mengakui hal itu. Saat pertama kali dia datang ke sekolah, sudah menjadi perhatian dan perbincangan. ]

[ Mengajak gadis-gadis ini, dia sama saja sedang berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Kenta harus banyak-banyak berterima kasih padaku suatu hari nanti. Karena seorang Masio, akan turun langsung untuk mencegah rahasianya tidak terbongkar. ]

Aku mendesah, lalu menyela obrolan mereka lagi, "Aku akan ikut pelajaran hari ini. Kudengar asisten guru yang mengajar pemula, orangnya pemarah sekali. Paman Rai akan mengomel padaku jika tidak menjagamu.''

Gadis-gadis kembali berseru kegirangan. Sampai-sampai kami menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Benarkah? Kau serius?" tanya Kenta.

"Kami akan membantumu, jadi jangan khawatir dengan asisten guru. Aku akan ajukan diri untuk mengajarimu,'' ucap gadis berambut pendek, kepada Kenta.

"Aku juga"

"Aku juga!"

Sampai pada persimpanan lorong, Kenta melambaikan tangan pada gadis-gadis itu saat hendak menuju kelas. Aku hanya menatap mereka sambil tersenyum.

Kutarik kerah Kenta sambil berjalan menuju kelas.

"Jangan terlalu terbawa suasana ketika bersama mereka. Mungkin salah satunya akan salah paham atas sikapmu tadi. Kalau sudah begitu, akan repot nantinya. Oh, ya! Aku hanya ingin mengingatkanmu, asisten guru olahraga suka menyiksa, sebaiknya cari alasan agar bisa menghindari pelajaran renang hari ini.''

Kenta menatapku dengan mata yang menyipit seolah-olah dia curiga. "Hiiih, kau hanya menakut-nakutiku saja, 'kan?''

"Kalau itu aku, lebih baik belajar berenang di tempat lain, sebelum benar-benar mengikuti kelas renang. Sekali kau jadi perhatiannya, kau akan dapat sial. Dia senang mengerjai anak-anak yang terlihat sepertimu.'' Aku tak henti-hentinya mempengaruhi Kenta.

Ketika berjalan di lobi. Aku menoleh ke lantai dua, menaburkan senyum sambil melambaikan tangan pada beberapa orang yang menyapaku.

Kenta mendengus. "Mereka sungguh kegirangan meneriam senyumanmu. Omong-omong, apa senyum itu benar-benar tulus, atau hanya pura-pura ramah?''

"Kenapa? Apa terlihat seperti itu? Ahaha, aku senang kau menganggap begitu.''

"Ternyata kau gemar menutupi sifatmu. Wajah aktor yang bagus. Kau harus diberi penghargaan karena menciptakan ekpresi yang alami,'' lanjut Kenta, tanpa menatapku.

''Hai!'' Mendadak Fujia datang dari belakang dan merangkul Kenta. ''Apa yang sedang kalian bicarakan? Tumben kalian datang bersama-sama.''

''Fujia, kau bisa berenang?'' tanya Kenta.

Mereka berbicara dengan jarak cukup dekat.

''Kau mau ikut kelas renang? Aku ahlinya! Mau berenang bersama? Bisa saling gosok punggung. Aku membawa semua peralatan mandi, lho.'' Fujia tersenyum lebar. Terliga dari rona wajahnya, tingkat kesenangannya mencapai level maksimal.

Aku memperhatikan rambut Fujia yang mencuat di mana-mana, karena jarang sekali di sisir. Aku menyela obrolan mereka, "Sini kau!" Kurangkul leher Fujia lalu, memisahkan mereka. Sambil sesekali kucekik.

"E-e-e, ada apa ini?'' tanya Fujia, seraya menahan lenganku.

''Tanggung jawab atas pesta tadi malam, hah! Gara-gara kau, aku kerepotan membersihkan ruang TV. Dasar tidak bertanggung jawab!'' kueratkan lenganku di leher Fujia, sekan-akan mengancam.

Bukannya malah meminta maaf, Fujia malah terkikik, "Ah, itu ... tunggu! Ahahaa, kau bisa lepaskan tanganmu dulu?'' ia berusaha menarik menyingkirkan lenganku, namun tidak bisa.

Kenta tertawa dari belakang melihat Fujia berusaha keras lepas dariku.

"Siapa yang paling berwenang selain aku di rumahku sendiri!'' kataku dengan garang. "Untuk membayar kejadian waktu itu, makan siang hari ini dibebankan padamu!"

''Hah! Jangan buat keputusan secepat itu, dong!" Kemudian Fujia menunjuk Kenta. "Dia, dia juga terlibat! Dia yang menghubungi mereka semua.''

Aku menoleh, melempar tas pada Kenta lalu berjalan sambil mempererat lenganku di leher Fujia.

''Sebentar! Ini tidak adil, jerat juga lehernya!" Fujia mengeluh, tak terima. "Hukuman membawakan tasmu, tidak seberapa atas perbuatannya tadi malam. Masioooo!!!