webnovel

Serigala yang Kesepian

"Apa-apaan kau ini?! Kenapa kau tadi membuang-buang rotinya, hah?!" sentakku ketika Ian akhirnya berhenti berlari.

Kami bahkan telah berlari cukup jauh hingga rumah terakhir penduduk desa terlihat.

Sialan! Anak ini cepat sekali larinya. Tanganku sedikit sakit karena dia menarikku terlalu kencang.

Aku melihat sekelilingku. Sepertinya ada yang aneh.

Tempat ini terasa tidak asing ....

Apa anak ini sengaja membawaku ke sini?!

Maksudku dia membawaku ke tempat yang sama dimana para anak-anak nakal itu mencegatku dan tempat yang sama pula waktu dia melempariku dengan batu kemarin.

"Oi, jangan bilang kau sengaja membawaku kemari?!"

Anak itu terdiam sambil masih menyesuaikan nafasnya yang terengah. Raut wajahnya terlihat masih pias.

"Ayo ikut aku!" ajaknya tiba-tiba.

"Tidak, terimakasih. Aku akan kembali ke desa saja."

Aku tak mau meladeni apapun yang akan anak ini lakukan.

Lagipula tujuanku dari awal diam-diam keluar rumah hari ini adalah mencari buku dan atau semacam peta. Ya, setelah dipikir-pikir aku akan mendapat banyak informasi lebih cepat tentang tempat di mana aku berada sekarang dari benda-benda itu.

Aku tak mungkin bertanya pada Marie dan walau kuyakin di lantai atas rumah banyak sekali buku yang kubutuhkan itu aku tak yakin aku bisa sempat-selamat untuk melihatnya karena Zurine 24 jam berada di tempat itu.

Aku yakin tak menutup kemungkinan di suatu tempat di desa ini ada seseorang maniak. Yah ... walau di suatu tempat yang terpencil sekalipun ..., pasti ada, kan, orang yang terobsesi dengan ilmu dan pengetahuan? Jadi, aku akan menemukan orang itu dan kalau aku beruntung mungkin aku juga menemukan orang yang akan menceritakan informasinya secara cuma-cuma ....

Aku hendak berbalik pergi, namun, tanpa peringatan Ian kembali mengambil tanganku.

"Hei, hei, hei, bocah, apa yang kau lakukan?! Aku bilang aku tak mau ikut denganmu."

Aku mencoba menarik lepas tanganku, tetapi anak ini semakin berjalan dengan cepat. Dan kenapa genggaman tangannya kuat sekali, sih?

"Ayo ikut saja."

Aduh. Bocah ini!

Sialan tak ada gunanya aku memberontak. Bocah ini ternyata punya kekuatan super, yah, dengan tubuhku saat ini mustahil aku bisa mengalahkan kekuatan anak seumurannya. Aku menyerah saja. Semakin cepat aku menuruti keinginannya sekarang, dia tak akan menggangguku lagi kedepannya, kan?

Pada akhirnya aku harus pasrah saja kemana Ian menyeretku pergi.

Ian masih terus berjalan membawaku hingga jalan setapaknya hilang dan kami harus menerobos beberapa semak-semak. Melewati daerah pepohonan. Kami sudah berjalan cukup jauh.

Sesekali Ian akan bersenandung santai. Aku sudah memprotesnya karena senandungnya bukan jenis senandung yang indah untuk situasiku sekarang, namun anak ini tak memperdulikan dan terus berjalan sambil menyeret tanganku.

Kami lalu menyeberangi sebuah sungai kecil dengan melompati bebatuannya, hingga berjalan lagi di antara pepohonan-pepohonan dengan kanopi-kanopi yang tinggi menjulang.

Dia mau membawaku ke mana, sih? Cahaya mataharinya juga semakin sedikit. Jelas-jelas kami mulai berjalan memasuki hutan. Jangan bilang dia mau menjebakku dan meninggalkanku di tempat ini. Awas saja kalau dia benar-benar melakukan hal kekanak-kanakan itu.

"Bocah, kau mau membawaku--wow tempat apa itu?!"

Aku terkesiap melihat pemandangan di depanku.

Pepohonan tingginya mulai menjarang, dan dari kejauhan terlihat cahaya matahari menyorot permukaan air. Bahkan dari kejauhan ini aku bisa melihat betapa jernihnya permukaan airnya.

Pohon-pohon yang dahannya mulai kekuningan tumbuh mengelilinginya, beberapa dedaunan jatuh di atasnya permukaan airnya.

Hebat! Ada pemandangan lainnya yang sebagus ini di desa ini!

"Ini adalah tempat rahasiaku! Kau adalah manusia pertama yang kuajak kemari, jadi jangan katakan pada siapapun tentang telaga ini!" Ian melepaskan tanganku setelah kami berhenti di salah satu pohon besar yang batangnya menjuntai ke arah telaga.

Aku tak terlalu peduli dengan ocehannya, karena aku terlalu terpesona dengan pemandangan telaganya.

Airnya jernih sekali sampai aku bisa melihat dasar telaganya. Lihat, aku bahkan bisa melihat sekelompok ikan yang berenang di dalamnya. Apa aku bisa berenang di sini? Tapi, sepertinya airnya sangat dingin.

"Kau dengar?!"

"Kalau begitu mengapa kau membawaku kemari?"

"Katanya kau ingin roti."

"Hah?!" Aku berbalik. Menatapnya seperti orang bodoh.

Anak itu malah sedang berjongkok dan sibuk menggali sesuatu di tanah dengan sebuah ranting kayu.

"Kapan aku bilang aku ingin roti?!"

"Tadi kau bertanya kenapa aku membuang roti milik wanita itu. Kukira kau lapar."

"Aku bertanya kenapa kau membuang rotinya itu bukan karena aku lapar. Aku bertanya alasanmu kenapa kau membuangnya."

"Itu ... terserahku," ujarnya keras kepala. "Lagipula roti itu sudah menjadi miliku jadi aku bebas untuk melakukan apapun pada rotinya. Dan aku sudah punya penyimpanan sendiri jadi aku tidak butuh roti itu."

"Kenapa kau memukulku?!" Ian menoleh, memegang kepala bagian belakangnya yang baru saja kupukul. Dia menatapku dengan sengit.

"Alasan macam apa itu?! Padahal wanita itu berbaik hati mau memberikan rotinya padamu."

Ian kembali berbalik memunggungiku. Meneruskan menggali.

"Aku tak butuh kemurahan hati wanita itu. Aku membenci dikasihani."

"Dasar anak kecil keras kepala! Lain kali tolak dengan halus, jangan membuang-buang makanan. Kau lihat dirimu sendiri, banyak orang yang kekurangan makanan dan kelaparan di luaran sana. Kau malah di sini membuang-buang makanan."

Anak itu terdiam.

Entah mengapa sekarang aku malah tertarik mengamati kegiatannya.

Sesuatu terlihat dari galiannya. Permukaannya halus, dan mengkilap berwarna cokelat kemerahan.

"Tunggu kotak apa itu?" tanyaku setelah Ian menggangkat sebuah kotak yang ternyata terkubur di dalam tanah yang dia gali itu. Apa itu harta karun?

"Tempat penyimpanan makananku."

"Bukan, maksudku yang di bawahnya itu."

"Oh, ini? Ini adalah kotak berisi buku-buku yang diberikan Rick."

"Buku?"

"Iya, Rick memberikan buku-buku ini agar aku bisa mempelajarinya. Ah, tapi aku malas sekali membaca bahasa kuno--"

"Perlihatkan bukunya."

"Eh?" Dia menatapku bingung.

Tapi, sekarang aku tak butuh keterkejutannya. Jadi, aku berjongkok dan kuambil sendiri kotak itu, akan tetapi kotak itu sangatlah berat. Jelas benar-benar ada sesuatu yang menarik di dalam sini.

"Ayo bantu aku!" Perintahku pada Ian.

Jantungku terasa berdetak lebih cepat. Sialan!

"Membantumu bagaimana?"

"Bantu angkat ini!"

"Biasanya aku tidak mengangkatnya karena terlalu berat."

"Apa?!"

"Aku bisa membukanya jika kau mau--"

"Kalau begitu cepat buka."

Ian menurut saja.

Sialan! Sepertinya aku benar-benar menemukan maniak itu.

Butuh waktu untuk membukanya karena kami harus benar-benar membersihkan permukaan atasnya dari tanah, tentu aku juga tak ingin ada yang mengotori hartaku saat kotaknya dibuka nanti. Saat Ian akhirnya membuka kotaknya aku tersenyum sumringah melihat ternyata kotak itu benar-benar berisi kumpulan buku seperti yang kuduga. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang kuperkirakan. Aku benar-benar menemukan harta karun.

Namun, senyumku tak berlangsung lama karena begitu memilah-milah buku dan membukanya satu persatu aku terbengong melihat semua isi tulisannya.

"Huruf macam apa ini?!" kataku setengah berteriak frustasi.

"Itu Bahasa Nairian, masa kau tidak tahu," sahut Ian.

Aku menoleh. Ian sedang duduk dengan santai memakan sebuah roti di atas batang pohon yang menjuntai itu.

"Tentu aku tidak tahu bahasa aneh macam ini," kataku sengit sambil menunjukannya tulisan-tulisan di dalam buku.

"Aneh? Padahal kau sendiri berbicara Bahasa Nairian."

"Nai--apa?"

"Ah, maaf, salahku. Kau masih bayi, tentu kau belum bisa membaca."

Tunggu? Apa--? Aku berbicara bahasa tulisan ini. Sejak kapan? Aku sama sekali tak menyadarinya.

Netraku menatap sampul kulit buku yang kupegang ini. Mengusap permukaan yang tak rata bergambar sebuah pohon ini dengan lembut melalui tangan kecilku.

Ah, tentu saja .... Bodohnya aku. Aku, kan, terlahir lagi di dunia ini. Tentu sejak saat itulah tanpa kusadari aku menggunakan bahasanya.

"Hei, bocah .... Berhenti makan dan cepat turun kemari."

*

Aku masih tak tahu harus bereaksi apa setelah mendengar cerita yang di katakan Ian.

"Aku tinggal di benua yang kau sebut Nairian dan ini adalah satu-satunya benua yang ada di dunia ini?" ulangku. Menelan ludahku susah payah, aku kembali bertanya. Pertanyaan yang sejak awal sudah menganjalku sejak Ian mulai menceritakan benua ini. "Lalu bagaimana dengan benua yang lainnya? Bagaimana mungkin tak ada benua lainnya?"

"Aku tak tahu. Tapi dari yang diceritakan di buku-buku kuno, benua-benua itu memang tidak ada bahkan sejak perang klan. Mungkin sedari awal memang tidak ada benua lain."

"Begitu ya ...."

"Iya," jawab Ian. Wajahnya menatapku aneh. "Kenapa kau terkejut sekali? Kau ini seperti datang dari dunia lain ya."

Aku memang datang dari dunia lain.

"Kau sendiri yang menyebutku masih bayi. Jadi, tentu bayi ini terkejut karena tak tahu apa-apa."

Ian semakin menatapku curiga. Ditutupnya buku bergambar pohon di tangannya itu. "Lalu, kenapa bayi ini ingin tahu sekali dengan semua hal yang ada di benua ini?"

Sialan! Bocah ini curigaan sekali.

"T-tentu karena aku akan menjadi penyihir terkuat sedunia. Aku harus tahu semua hal yang ada di dunia ini."

Ian terdiam sesaat. Tiba-tiba saja dia kembali meletakan buku-buku yang kukeluarkan ke dalam kotak. "Kalau begitu aku tidak akan membiarkanmu tahu tentang benua ini."

"T-tunggu dulu!"

"Para penyihir itu jahat. Aku membenci mereka."

Aduh! Aku melakukan kesalahan bodoh.

"Sebentar dulu! Aku ingin tahu tentang semua hal di benua bukan karena ingin jadi penyihir! Sebenarnya mimpiku adalah menjadi petualang!"

Ian berhenti memasukkan buku. Dia langsung menoleh dan menatapku dengan mata berbinar. "Benarkah? Mimpiku dulu juga ingin jadi petualang!"

"Dulu?"

Ian menunduk. Matanya menyorot permukaan tanah. Ini adalah wajah yang sama seperti beberapa waktu lalu saat wanita roti bertanya tentang Rick. Oh, apa aku salah karena bertanya?

"Iya," ujarnya sedih. Dia berbisik lirih. "Sekarang mimpiku berbeda."

Aku terdiam mendengarkan. Setidaknya anak ini berhenti memasukkan kembali bukunya. Jadi, aku harus memanfaatkan situasi ini.

"Kalau begitu apa impianmu sekarang?"

Mata hazel gelapnya tiba-tiba menatapku tajam. "Bukan urusanmu."

*

Yang namanya bocah tetaplah bocah. Setelah aku membujuknya dan mengungkit perlakuannya padaku kemarin, anak itu akhirnya mau kembali menceritakan tentang benua ini.

Dari informasi yang kudapat darinya sementara ini aku tahu ternyata penyihir itu benar-benar ada di dunia ini. Mereka menyebutnya Sorcerer (entah kenapa aku familiar dengan ini). Kalau ada penyihir tentu ada sihir, karena hal itu juga termasuk lumrah di benua.

"Jadi, walau sihir ini ada dan hampir semua Bangsa Nairian bisa mempelajarinya. Sihir ini hanya akan dikatakan legal jika itu bukan sihir hitam dan atas izin dan demi kepentingan kekaisaran?" Kesimpulanku setelah mendengar penjelasan Ian.

"Legal?"

"Diperbolehkan."

"Menurutku penyihir tetaplah penyihir. Mereka jahat."

"Tapi, aku tidak jahat."

"Kau bukan penyihir! Tapi kau jahat!"

"Terserah deh."

Tak hanya itu, pendiri kekaisaran sekaligus penyatu klan merupakan seorang penunggang naga. Ya, naga, reptil bersayap yang bernafaskan api itu pernah ada di benua ini.

Lalu, Ian juga berkata bahwa ada sebuah pintu raksasa yang sangat tinggi dan tersembunyi di suatu tempat di benua ini. Ian menyebutkan namanya adalah Gerbang.

Tempat itu merupakan tujuan para petualang dan pemburu hadiah karena konon di dalam gerbang itu berisi harta karun pendiri kekaisaran. Banyak yang sudah menemukan Gerbang ini dan masuk ke dalamnya, namun, banyak juga yang tidak keluar dari dalamnya. Mereka yang berhasil keluar mengatakan bahwa di dalam Gerbang itu berisi hal paling mengerikan yang ada di dunia. Entah itu hantu atau monster, apapun itu membuat orang yang masuk Gerbang tak bisa kembali.

Setelah mendengar cerita tentang sihir, pendiri kekaisaran yang penunggang naga dan Gerbang ini jelas aku mulai tersadar bahwa aku benar-benar sudah berainkarnasi ke dunia antah berantah. Ini jelas seperti dunia fantasi yang misterius.

"Kurasa aku akan pulang sekarang. Besok aku akan kemari lagi dan pastikan kau harus sudah berada di sini karena kau akan membacakan kisahya untukku."

"Kapan aku bilang aku mau membacakannya untukmu lagi!"

"Ya, anggap saja itu permintaan maafmu, kan? Kalau kau benar-benar tulus meminta maaf?" tanyaku dengan senyum miring. Kutunjuk pelipisku.

Ian hanya bisa memberenggut dan menggerutu. Tapi, dia tak bisa menolak ancamanku.

Kami berjalan kembali ke desa dengan aku yang memimpin jalan. Ian tentu saja berjalan di belakangku masih dengan menggerutu. Yah, dia bilang dia malas membaca bahasa kuno dan kini ada aku yang membuatnya harus membaca dan mempelajarinya. Jadi, jelas dia kesal.

Tapi, misiku untuk mencari informasi di desa atau menemukan pendongeng akhirnya berhasil. Maniak itu adalah Rick dan Ian. Rasanya aku bersyukur bertemu mereka.

"Tunggu kenapa kau mengikutiku lagi? Jangan bilang kau mau ke rumahmu, karena itu arah menuju rumahmu, kan?" tanyaku sambil menunjuk sebuah tempat di sisi lain padang rumput dengan domba-domba ini saat Ian masih akan mengikutiku kearah rumah penduduk.

"Aku harus mengantarmu," jawab Ian dengan malas.

"Hah?" Apa aku tak salah dengar?

"Karena kau bayi."

"Hei, jangan membuatku marah atau aku akan berteriak sekarang juga dan Rick akan kembali marah padamu."

"J-jangan berteriak." Ian langsung gugup. "Begini, sebenarnya sedari awal pengasuhmu memintaku untuk menemanimu dan menjagamu saat kau keluar dari rumah itu. Aku sebenarnya tak mau karena akan merepotkan. Tapi, dia bilang kalau aku melakukannya kau pasti akan mau memaafkanku dan karena kau sudah memaafkanku, jadi--"

Aku sudah menduga ada yang tidak beres dengan tingkah Marie di rumah tadi.

"Sudah tidak perlu, kau pulang saja. Aku akan pulang sendiri," kataku memotong penjelasannya.

Tak menutup kemungkinan Marie juga menyuruh anak ini untuk mengawasiku. Kalau anak ini benar-benar mengantarku sampai rumah, Marie pasti akan bertanya apa saja yang kami lakukan seharian ini pada Ian. Dan aku tentu tak ingin hal itu terjadi.

"Tapi--"

"Sampai jumpa besok, Temanku."

Ian terlihat termenung.

Aku memanfaatkan kesempataan ini untuk segera kabur. Namun, belum sampai langkah ke tigaku, Ian lebih dulu menarikku ke sebuah pohon.

"Apa--!"

"Ssshh." Ian berbisik.

Pandangan matanya tertuju pada tiga orang pria yang berjalan ke padang berisi domba-domba yang di gembalakan Rick. Wajah mereka terlihat marah.

Dari ujung lain padang Rick berlari terpincang menghampiri mereka. Terlihat mereka berdebat sesuatu dan salah satu pria terlihat sangat marah dengan menunjuk-nunjuk tubuh kurus Rick.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil berbisik pada Ian.

"Jumlah domba-domba yang kami gembalakan akhir-akhir ini berkurang. Para pemilik domba marah karena domba mereka hilang."

*

Sabtu, 18 Juni 2022

7:24 AM