webnovel

Yakinkan Aku Jodohmu

Nadia, saat ini bekerja paruh waktu sebagai salah satu karyawan di Anugerah Komputer di Kota Yogyakarta. Namun, selain itu dia juga sambil menjalankan kuliah S1nya di sebuah Unversitas. Waktu yang 24 jam sehari, terkadang terasa sempit bagi Nadia. Waktunya untuk bekerja 8 jam sehari di Anugerah Komputer, ditambah dengan waktu kuliahnya. Tak jarang, Nadia bahkan terkadang hanya mampu tidur 2 jam dalam 24 jam karena banyaknya tugas yang harus dia kerjakan. Di tempatnya bekerja, Nadia bersama kedua rekan satu shiftnya bernama Kak Rara dan Mesya. Keduanya, sama-sama orang asli Yogyakarta. Berbeda dengan Nadia, yang berasal dari luar Yogyakarta. Nadia, memilki perjuangan hidup yang berbeda dari keduanya. Karena dia juga harus jauh dari orang tua dan hidup indekos. Rara, dia dipanggil oleh semua rekan kerjanya dengan sebutan Kak Rara. Selain karena dia yang sudah bekerja di sana jauh lebih lama, namun juga karena usianya yang jauh di atas rekan kerja lainnya. Kak Rara, seorang janda dengan satu anak usia sekitar 5 tahun. Namun penampilan mereka berbeda, karena Nadia mengenakan kerudung sementara Kak Rara dan Mesya tidak mengenakan kerudung. Di suatu ketika, datanglah Huda. Dia merupakan salah satu pelanggan setia di Anugerah Komputer. Huda, membuka usaha servis laptop dan komputer di sebuah ruko kecil. Dia cerdas, berwawasan luas dan juga periang. Meskipun dia meliliki kekurangan yaitu disabilitas, dimana lengan sebelah kirinya tak bisa tumbuh normal seperti orang kebanyakan namun hal tersebut membuatnya minder sama sekali, bahkan dia begitu percaya diri. Huda sudah mengenal Kak Rara dengan sangat baik, karena sudah beberapa tahun terakhir ini Huda cukup sering ke Anugerah Komputer untuk membeli berbagai perlengkapan dan spare part komputer di sana. Kak Rara pun terlihat sudah semakin nyaman saat ngobrol dengan Huda. Sementara itu, Huda juga selalu terlihat nyaman jika ngobrol dengan Kak Rara. Keduanya bisa sejam bahkan dua jam kalau sudah ngobrol entah apa saja yang mereka bicarakan dan terlihat begitu asik. Kak Rara pun diam-diam ada rasa dengan Huda, namun ternyata berbeda dengan yang dipikirkan oleh Huda. Huda menganggap Kak Rara sebatas seperti kakaknya sendiri saja. Namun hal itu tidak membuat Kak Rara menjauh, kedunya tetap dekat. Hingga pada akhirnya Huda menyadari kehadiran Nadia. Huda yang melihat Nadia sebagai wanita yang polos dan unik, justru ada perasaan tertarik. Namun Huda justru berniat mendekati Nadia melalui Kak Rara, yang tentu saja membuat Kak Rara tidak menyukainya. Namun di depan Nadia, Kak Rara tetap bersikap biasa saja. Selama berbulan-bulan, terjadi perang dingin antara Kak Rara dan Nadia yang mulai menyadari bahwa Huda sepertinya ada rasa dengannya. Namun Nadia sendiri tidak yakin, karena setiap Huda datang ke toko, dia selalu ngobrol begitu asik dengan Kak Rara. Dalam hati kecilnya, Nadia ternyata juga mengagumi Mas Huda. Hingga tibalah saatnya Mas Huda benar-benar menembak Nadia. Nadia yang baru pertama kali ditembak oleh seorang pria semasa hidupnya, bingung bagaimana menanggapinya. Hingga pada akhirnya Nadia memberi jawaban kepada Mas Huda, kalau dia akan mencoba menerima Mas Huda. Nadia dan Mas Huda pun mulai dekat. Sejak saat itu, frekuensi obrolan dengan Kak Rara menjadi sedikit berkurang. Suatu ketika, Mas Huda mengantarkan Nadia untuk pulang ke rumahnya di Solo. Dan itu, merupakan kali pertama seorang Nadia diantar pulang oleh seorang pria. Setelah Mas Huda kembali pulang, Pak Samsul dan Bu Wati bertanya kepada putrinya. Nadia pun jujur kepada kedua orang tuanya kalau Mas Huda itu kekasihnya. Pak Huda menasehati putrinya untuk memikirkannya benar-benar. Beliau takut kalau sampai Nadia benar-benar serius dengan Mas Huda, nanti cucu-cucunya juga akan mengalami disabilitas seperti Mas Huda. Sementara itu Nadia yang sudah terlanjur jatuh hati dengan Mas Huda, tidak lagi mempedulikan masalah fisik.

MAMAEZR · Urban
Zu wenig Bewertungen
284 Chs

Chapter 32 Pingin Punya Cucu

"Lho ... ada tamu to ternyata?" Tiba-tiba Pak Samsul keluar dari pintu dalam.

Hari tersenyum dan menyapa beliau dengan sopan,"Eh ... selamat siang Pak."

"Siang-siang. Lho ... kok tamunya dianggurin Nadia? Diambilin minum sana!" suruh Pak Samsul.

"Tadi sudah Nadia tawarin Pak. Tapi katanya sudah kembung dia," sahut Nadia.

"Sudah ... sana buatkan. Biar Bapak temani dulu teman kamu ngobrol dulu." Pak Samsul tampak memaksa anak perempuannya untuk membuatkan minuman untuk Hari.

"Ya udah. Jadinya mau minum apa Hari? Teh atau kopi?" tanya Nadia.

"Bapak kopi Nduk. Sehari ini belum ngopi soalnya." Pak Samsul lantas duduk di depan Hari.

"Saya ... samain Bapak juga boleh deh Nad," sahut Hari.

"Oke, kamu ngobrol sama Bapak dulu ya Har." Nadia pun ke belakang untuk membuatkan kopi.

"Saya Pak Samsul, Bapaknya Nadia. Lha kamu ini, siapa Mas?" Jiwa interogasi Pak Ridwan pun mulai dijalankan.

Hari merasa grogi tapi bagaimana lagi sudah terlanjur tertangkap basah di depan Bapaknya Nadia.

"Saya ... Hari Pak. Teman sekolah Nadia, waktu masih SMP dulu."

"SMP? Udah lama juga ya? Kok tahu rumah ini emangnya dulu pernah ke sini ya?" tanya Pak Samsul.

"Dulu ... iya, pernah sekali Pak. Tapi ya .. tadi agak lupa, soalnya sudah berubah selama bertahun-tahun nggak ke sini lagi. He ... he," sahut Hari mencoba menghilangkan sedikit groginya dengan tertawa saja.

"Iya, wajar lah Mas. Soalnya kan rumah Bapak ini lokasinya agak di dalam juga. Jadi, ada perlu apa sama Nadia?" Pak Samsul bertanya langsung saja, mumpung Nadia juga masih sibuk di belakang.

"Main saja Pak. Kebetulan, tadi saya juga habis dari teman SMP lainnya juga jadi sekalian mampir," jawab Hari.

"Bisa kebetulan ya? Padahal Nadia biasanya nggak di rumah, sibuk kuliah dia di Jogja. Apa ... memang sudah janjian tadinya sama Nadia?" tanya Pak Samsul lagi.

"Oh ... sama sekali belum Pak. Malah saya baru minta nomor Nadia barusan saja ini. Karena juga ... kebetulan lusa saya juga sudah nggak di sini," kata Hari.

"Lho ... mau kemana?"

"Saya ... sudah mau kembali berlayar Pak," jawab Hari dengan sedikit membanggakan diri.

"Berlayar? Ooh ... jadi kamu ini, sudah bekerja di pelayaran begitu maksudnya Mas?" tanya Pak Samsul.

"Alhamdulillah, iya Pak." sahut Hari.

"Hebat. Masih mudah sudah keliling dunia kamu ya. Kalau Nadia, masih kuliah. Sambil kerja juga sih dia, katanya buat ngisi waktu luang." Pak Samsul menyampaikan tentang anaknya.

"Nadia hebat ya Pak. Sejak SMP dulu, selalu menjadi juara kelas juga. He ... he," kata Hari memuji Nadia.

"Alhamdulillah, iya Mas. Tapi ya itu, anaknya pemalu sekali dia itu. Sampai sekarang belum punya pacar juga kayaknya." Pak Samsul berkata kepada Hari sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Ooh ... berarti benar, Nadia memang belum punya pacar," batin Hari sembari tersenyum lebar.

"Kenapa Mas? Kok malah senyum-senyum sendiri? Apa, jangan-jangan kamu ada naksir sama anak Bapak ya?" tanya Pak Samsul tanpa basa-basi.

Sontak, pertanyaan Pak Samsul membuat Hari terkaget sekaligus merasa kalau bapak Nadia ini membukakan kesempatan untuk dirinya untuk bisa mendekati Nadia.

"Emangnya boleh Pak?" Hari pun langsung bertanya kepada Pak Samsul. Pikirnya, siapa tahu saja dengan ijin dari bapaknya, Nadia akan lebih mudah untuk didapatkan hatinya.

"Kopinya Pak ... Hari." Nadia tiba-tiba saja datang membawakan kopi dan gorengan hangat dari belakang.

"Wah ... harumnya. Pantesan lama, kamu goreng mendoan dulu ternyata Nad?" tanya Hari.

"He ... he. Enggak kok. Kebetulan Ibuk yang ternyata di dapur sedang menggoreng. Oiya, barusan aku dengar kamu tanya ke Bapak, emangnya boleh ngapain?" sahut Nadia setelah selesai menurunkan kopi dan gorengan dari atas nampan.

"Boleh ... apa ya tadi? Sebentar, gara-gara bau harum kopi buatan kamu jadi lupa kan tadi bicara apa," sahut Hari.

"Ah ...Mas Hari ini masih muda kok pelupa. Bapak saja masih ingat kok. Ini ... Nak Hari barusan minta ijin sama Bapak buat menjadi pacar kamu. Lha ... semua terserah sama kamu saja to Nduk. Kan kamu yang akan menjalani nantinya," sahut Pak Samsul benar-benar dengan begitu berterus terang tanpa tedeng aling-aling di depan kedua anak muda di depannya.

tedeng aling-aling artinya ditutup-tutupi.

Ya ... Pak Samsul memang tipe orang tua yang spontan, mengatakan apa adanya saat itu juga.

"Bapak ini ... Nadia kan masih kuliah Pak. Masih ingin menyenangkan Bapak dan Ibu dulu, nggak mau mikir pacar-pacaran dulu," sahut Nadia yang sontak membuat Hari tampak kecewa serta malu, secara tidak langsung jawaban itu memang ditujukan untuk dirinya.

"Itu ... Nak Hari. Bapak ini jadi orang tua sudah begitu terbuka sama anak-anak. Tapi kalau anak Bapak saja prinsipnya sudah seperti itu ya mau gimana lagi? Oiya ... sambil dimakan lho mendoannya Mas Hari. Mumpung masih hangat dan nikmat lho ini, " sahut Pak Samsul sembari mengambil mendoan hangat di atas meja.

"I-ya Pak. Terimakasih," sahut Hari yang lantas mengambil mendoan pula.

"Sudah nggak usah sedih. Jadi pria itu memang harus berjuang untuk mendapatkan hati perempuan yang dicintainya," kata Pak Samsul sembari tersenyum.

"Bapak ini lho ... bukannya mendukung anaknya sendiri buat fokus meraih masa depan," sahut Nadia dengan wajah sedikit cemberut.

"Menikah itu ... kamu pikir bukan masa depan?" tanya Pak Samsul.

"Ya ... tapi kan bertahap Pak. Kuliah, kerja, sukses dulu baru habis itu nikah. Jadi bisa buat bekal hidup ke depan juga kan nantinya," sahut Nadia berusaha mempertahankan prinsipnya di depan Bapak dan juga Hari.

"Hey ... nggak usah cemberut seperti itu. Bapak sabar untuk menimang cucu. Ibuk kamu itu, yang tampaknya sudah ingin sekali. Setiap lihat cucunya Bu Siti, dia kelihatan senaang sekali," kata Pak Samsul sambil tertawa.

"Bapak ini. Lagian kan anaknya Bu Siti juga memang sudah lebih tua dari Nadia. Memang sudah saatnya menimang cucu dia," sahut Nadia.

Hari hanya tertawa melihat percakapan antara Bapak dan anak perempuan di hadapannya. Dia kini merasa seperti penyusup diantara keduanya. Hingga ponselnya tiba-tiba saja berdering.

"Nad, Pak. Saya minta ijin angkat telpon dulu ya, permisi ..." Hari keluar untuk mendapatkan sinyal yang lebih jelas dan ngobrol di halaman rumah Nadia.

"Bapak ini lho ... bikin Nadia malu aja di depan Hari. Dia itu teman Nadia aja Pak. Nggak ada hubungan apa-apa lho," kata Nadia.

"Tapi Bapak lihat, anak itu ada rasa lho Nduk sama kamu,. Lagian, udah mapan juga lho, kerja di pelayaran gitu kok," kata Pak Samsul.

"Ah ... Bapak ini. Lagian Bapak tahu nggak? Orang itu kalau kerja di pelayaran, biasanya sekalinya berangkat bisa berbulan-bulan baru pulang lho Pak," Nadia mencoba menjelaskan kepada Bapaknya.

*****

Bersambung ...