webnovel

Evaria

Kota yang indah dipenuhi dengan hiasan-hiasan mewah di dalamnya, dan juga dikenal sebagai pusat berkumpulnya umat manusia.

Atau itulah yang kudengar dari warga desa maupun orang-orang yang berkumpul di kota ini saat ini.

Dan memang dari dinding kotanya saja sudah bagus, apalagi isinya. Satu-satunya masalah yang ada di Evaria adalah sikap para bangsawan yang tak ingin berdampingan dengan rakyat jelata, namun kebanyakan dari mereka berpikir seperti itu saat masih berusia remaja. Setelah beranjak menjadi dewasa dan mewarisi kebangsawanan, mereka sepertinya jadi berubah.

Aku tak tahu banyak tentang hal itu, aku masih berusia 15 tahun saat ini, masih perlu banyak waktu untuk mempelajari hal tersebut. Hal tentang psikologis dan sikap-sikap manusia ketika menjadi dewasa, mungkin aku juga akan mendapatkannya saat sudah menjadi dewasa? entahlah.

Aku hanyalah remaja yang berasal dari desa terpencil yang entah bagaimana bisa diterima oleh Akademi Evaria tanpa tes maupun pertemuan, hanya sebuah surat yang tiba-tiba datang pada kepala desa dan Ia menyerahkannya padaku.

Aku pun berangkat sesuai dengan jadwal yang tertera dengan menggunakan sebuah kereta kuda yang mewah, saat aku menaikinya, aku pun bertanya pada supir, namun Ia tak mau membuka mulut tentang siapa yang mengirimnya.

Aku pun tak bisa memaksa karena aku sebenarnya cukup berterima kasih dengan orang tersebut karena memberikannya kesempatan untuk memasuki Akademi sihir Evaria.

Lagipula aku adalah seorang yatim piatu yang diasuh oleh kepala desaku. Aku hanya berharap dapat setidaknya menjadi prajurit dan mendapatkan masa depan yang baik.

Aku tak memiliki ambisi yang besar, ambisi tersebut dikhususkan untuk para bangsawan yang memiliki bakat yang Ia dapat dari garis darah dan sebuah julukan bangsawan yang Ia miliki.

"Maaf tapi kita tuan, anda bisa turun sekarang." Suaranya ramah tak ada nada merendahkan dalam perkataannya, tak heran, kemungkinan besar Ia juga orang miskin sepertiku.

"Ah maaf melamun, saya akan segera turun. Terima kasih atas tumpangannya." Aku menunjukkan senyum teramah yang dapat kubuat, aku tak boleh menjadi orang yang buruk.

Aku membuka pintu kereta tersebut dan melihat sebuah bangunan besar yang terbuat dari lapisan perak, emas dan batuan termahal di dunia, entah sekaya apa orang yang membangun akademi di hadapanku ini.

"Wah ramai sekali." banyak orang yang mulai menaiki tangga karena memang untuk masuk perlu melewati tangga tersebut, semakin dekat aku melihatnya, semakin kagum aku dengan bangunannya.

Di desa, tidak ada bangunan yang bagus, kebanyakan hanya terdiri dari kayu dan batu, tak heran bahwa aku sangat terkejut dengan hal-hal semacam ini.

Tapi yang kulihat saat ini hanya ada murid yang menggunakan seragam yang sama dengan milikku, aku berbalik dan melihat para orang tua hanya menunggu di bawah tangga, aku pun melanjutkan perjalananku.

tak sampai semenit, aku sudah sampai, tangga itu mungkin hanya sebuah pajangan, Lalu semua orang masuk ke dalam ruangan dari sebuah pintu.

Aku pun segera meraih kantung yang ada di bajuku dan mengambil surat yang diberikan oleh orang yang tak kuketahui itu. Aku melihat murid lain memiliki sebuah pin dengan nomor mereka masing-masing.

"Nomor 24, wah sial aku ada di tengah dan juga di barisan paling depan." Ya sudahlah, aku tak dapat menyalahkan apapun, ini semua adalah hal baik jika aku dapat melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda.

Aku duduk dengan tenang dan kembali menunggu apa yang akan terjadi ke depannya. Tak lama kemudian seorang pria tampa dengan rambut sebahu berwarna pirang berdiri di atas panggung yang di sediakan.

"Perkenalkan, aku adalah salah satu penyihir yang akan menjadi guru kalian selama pendidikan 5 tahun kedepan, Gorderon Heim. aku harap kalian akan nyaman di tempat ini tanpa diskriminasi dan penindasan. Aku tak akan menyampaikan banyak hal."

"Hal yang pertama adalah kalian semua yang ada di sini sudah lolos, namun ada satu tes lagi untuk menentukan bakat kalian dalam sihir. Tak perlu berlama-lama mari kita segera mulai. Nama pertama adalah Arthur Veriz."

"Hah? anak dari pendiri akademi?"

"Wah, aku yakin pasti Ia orang yang sangat berbakat."

Di tempat ini, ada seribu orang yang diterima dan sepertinya orang bernama Arthur itu mendapat perhatian paling banyak, dan jika aku tidak salah dengar, banyak yang mengatakan bahwa Ia adalah anak dari pendiri akademi, aku jadi penasaran dengan hal itu.

Ia naik ke panggung dan melambaikan tangannya kearah para murid yang duduk menunggu sembari memasang senyum yang elegan, sungguh menyebalkan melihat seseorang yang lebih tampan dari dirimu terlebih Ia juga lebih kaya dan berbakat.

Ia meletakkan tangannya pada kristal yang ada di sekitar tempatnya itu, wajahnya tenang, bola kristal tersebut bersinar dengan terang, dengan warna pelangi.

Aku mengetahui hal itu, semuanya mengetahui. Dengan intensitas cahaya dan jumlah warnanya, tak salah lagi bahwa Ia adalah orang yang memiliki bakat dengan tingkat yang mengerikan. Aku sadar bahwa aku tak pernah mencapainya.

Ia hanya menampilkan senyum canggung dan menggaruk telinganya, yang entah gatal atau tidak, namun yang pasti, semua hal itu tidaklah mengejutkan, seperti hal yang biasa.

Aku tak tahu mengapa aku merasa itu hal biasa walau itu hal yang luar biasa, apakah karena aku tahu bahwa Ia anak dari pendiri akademi? mungkin saja seperti itu.

Namun semua orang terlihat sedikit ribut, bahkan Gorderon terlihat membuka mulutnya dengan lebar lalu berbisik pada orang yang ada di sampingnya. Ia terlihat kembali bersikap tegas selanjutnya.

"Permulaan yang sangat bagus yang ditampilkan oleh Arthur Veriz, namun karena kita tak ingin membuang banyak waktu, mari kita lanjutkan." Ia berbicara dengan nada biasa, nada yang datar tanpa kekaguman seperti yang sebelumnya Ia tunjukkan.

Tes itu berjalan dengan biasa dengan beberapa orang yang hebat, namun juga ada beberapa dari mereka yang dianggap sebagai bakat kelas bawah, aku hanya berharap bahwa setidaknya aku berada di kelas menengah.

Namaku pun akhirnya disebut oleh seorang guru bernama Gorderon itu, aku pun menaiki panggung tersebut dengan kaki yang gemetar, aku tak menyangka rasanya cukup menegangkan.

Aku menatap bola pengukir tersebut dengan canggung, rasanya cukup mengerikan.

"Apakah kau mendengarku? silahkan mulai." Gorderon berbicara dengan dingin, membuatku tersadar akan lamunanku.

"Ma-maafkan aku." Aku segera menyentuh bola tersebut dengan mata terpejam. Tak ada reaksi dari orang-orang yang hadir, membuatku bertanya-tanya.

Aku membuka mataku dan melihat penyebab atas diamnya orang-orang yang hadir di tempat ini, aku menemukan bahwa cahaya yang dikeluarkan oleh batu itu sama terangnya dengan yang dikeluarkan oleh Arthur yang pertama kali melakukannya.

Dan warna yang dikeluarkan oleh batu itu adalah warna putih yang artinya elemen cahaya, akulah yang menyentuhnya, aku... adalah pemilik elemen cahaya.

Ini mengejutkan, tanpa sengaja, aku memasang wajah konyol yang penuh dengan kegirangan karena kesenangan yang berlebihan karena mengetahui bakatku berada pada tingkat yang sama dengan anak dari pendiri akademi Evaria.