RASA APA INI
"Bicara apa sih kamu Dara?" tanya Barra yang semakin mendekat.
Dara hanya terdiam, jujur ia juga tidak mengerti mengapa dirinya sebegitu ingin ikut campur dalam suasana hati Barra. Barra yang sudah berhasil mendekati Dara, kini ia dengan sengaja menidurkan kepalanya di dalam pangkuan Dara.
"Sst jangan bergerak, pikiran saya sedang berisik. Saya ingin tidur sebentar." perintah Barra yang mulai memejamkan mata.
Bagaimana perasaan Dara saat ini? Yang jelas dirinya mulai mengeluarlan keringat dingin, kakinya mendadak kaku. Tatapannya terpaku menatap langit-langit ruangan, ia tak berani melihat Barra yang kini sudah berhasil mendekat tanpa jarak.
Tetapi sampai kapan Dara harus menatap ke atas seperti ini? Perlahan-lahan, Dara mencoba memberanikan diri untuk menatap Barra. Ketika bola matanya berhasil ia turunkan, ia melihat bahwa Barra sudah tertidur lelap. Pemandangan indah ini membuat jantung Dara mendadak berdetak tenang. Tak ada lagi kegugupan. Senyumnya terukir jelas.
"Barra ternyata cukup tampan, hidungnya yang menjulang saking mancungnya, dan bibirnya yang tebal sedikit berwarna merah muda." batin Dara memuji fisik Barra.
Tanpa sadar tangan Dara mulai mengayun mengusap pipi Barra. Ia melakukan gerakan itu berulang kali, sampai rasa kantuk pun menghampiri dirinya. Tak terasa Dara ikut terlelap.
Abrial yang telah tiba di kantor, langsung disambut oleh Rachel dengan wajah gelisah.
"Pak Abrial, syukurlah Anda sudah hadir. Pak kalo boleh tau pak Barra ada dimana sekarang?" ujar Rachel yang membuntuti Abrial di belakang.
Abrial terus berjalan tanpa menjawab, ia hanya memberi isyarat kepada Rachel agar dirinya diam tak banyak bicara, sekaligus menyuruh Rachel untuk segera pergi dari hadapannya.
Kini pria yang usianya tidak beda jauh dengan Barra, tengah duduk sembari berpikir keras. Sebenarnya ini bukanlah urusan yang harus ia pikir, akan tetapi Barra adalah sahabatnya.
Ia merasa dirinya berhak tau apa yang Barra lakukan. Mengingat baru pertama kali Barra mengajak anak buahnya ke tempat asing, yang bahkan dirinya pun tak tau, rumah mewah itu milik siapa.
"Sialan!" umpat Abrial.
Ia mencoba menelepon Barra berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Karena sudah menunggu terlalu lama tetapi tidak ada hasil, Abrial memutuskan untuk melanjutkan bekerja dengan suasana hati yang buruk. Ia melakukan pekerjaan dengan tergesa-gesa.
Beberapa jam kemudian, Barra menggeliat. Ia merasakan rasa pegal disebelah kanan kepalanya.
"Ugghh!" ucap Barra yang mulai membuka matanya.
Gerakan berkedip membuat mata Barra segar. Ketika sudah berhasil membuka mata dengan sempurna, Barra teringat akan 1 hal. Ia teringat bahwa dirinya membawa kabur Dara, namun tiba-tiba ia mulai merasa panik karena ia tak melihat Dara di hadapannya.
Mata Barra masih jelalatan mencari Dara, ia melihat depan dan samping kiri. Sontak ketika mata Barra menghadap ke kanan, baru lah ia melihat gadis yang sedang ia cari. Tertidur dengan posisi kepala miring, raut wajahnya terlihat sangat lelah. Diam-diam Barra tersenyum, dan berusaha menyentuh dagu Dara.
"Aku akan mengikuti permainanmu Dara, gerak-gerikmu sangat terlihat jika sedang mencari perhatianku." batin Barra sembari memandangi Dara.
Lalu ia berusaha bangkit dengan langkah yang pelan, Barra membenarkan jasnya yang terlihat kusut. Setelah itu ia mencoba menepuk-nepuk pipi Dara, untuk berusaha ia bangunkan.
"Ra, Dara.." panggil Bara lembut.
Perlahan Dara membuka matanya, beberapa detik kemudian ia melotot terkejut ke arah Barra.
"Astaga! Pak Barra!" jerit Dara.
Tubuh Dara melemas, belum sempat Barra jawab, pikirannya kembali mengingat jika dirinya memang sudah berada disini dari beberapa jam yang lalu.
"Saya bukan pria seperti itu. Ayok berkemas, kita menuju kantor." tutur Barra yang sudah berjalan meninggalkan Dara.
Dara mengusap wajahnya kasar, "aarggh! Tunggu sebentar Pak!" teriak Dara.
Di dalam mobil mereka saling diam, tetapi pada saat sudah mendekati kantor, Barra memohon sesuatu kepada Dara.
"Ra, tolong rahasiakan ini." ucap Barra. Hanya itu saja kalimat yang terucap dari bibirnya. Dara pun mengangguk paham.
Begitu sampai, Barra lah yang terlebih dulu memasuki kantor. Sedangkan Dara ia berjalan tetapi berjarak dengan Barra, sembari membawa segelas cangkir bekas teh. Semua staff melihat, ketika tak lama Dara juga ikut memasuki area kantor.
Dan dalam penglihatan Dara, staff receptionist tiba-tiba menelepon seseorang. Seperti memberi tau kedatangan dirinya dan Barra.
Ternyata telepon itu menuju ke ruangan Abrial, teleponnya berdering. Abrial yang masih berkutat di depan komputer, seketika ia mengangkat dan menjawab dengan galaknya.
"Ada apa!" ucap Abrial meninggi.
"Anu pak, pak Barra sudah tiba di kantor." jawab staff receptionist.
Ketika ia mendengar kalimat itu, Abrial segera bangkit dan keluar dari ruangannya. Gagang telepon yang ia pegang, dibiarkan saja menggantung ke arah lantai. Namun, dirinya justru bertemu dengan Barra yang dimana Barra akan memasuki ruang kerjanya sendiri. Mereka berpapasan, tetapi raut muka Abrial begitu kesal.
Ia sengaja membuang muka kepada Barra, lalu segera memasuki lift menuju lantai 1. Setibanya di lantai 1, Abrial menuju ruang staff cleaning servis dan mencari keberadaan Dara. Namun tidak ada, rekan kerjanya berkata Dara sedang ditugaskan membersihkan toilet wanita.
Abrial paham, ia segera menyusul. Langkahnya sangat cepat, sampai dimana manik matanya melihat target yang sedari tadi ia cari. Dara yang sedang membersihkan kaca toilet, tiba-tiba ia tarik tangannya dan ia bawa masuk ke dalam toilet. Tak lupa, Abrial juga mengunci pintunya.
"Ada apa ini?" tanya Dara panik.
"Lo habis darimana dan ngapain aja dengan Barra?" jawab Abrial menatap tajam manik mata Dara.
Sebelum Dara menjawab, ia teringat akan pinta Barra kepadanya.
"Ah, saya cuma diajak jalan-jalan kok. Tetapi itu pun juga kena omel, pak Barra meminta agar kerjaku lebih cekatan lagi." sahut Dara berbohong.
Abrial yang sudah muak dengan sikap pura-pura tidak taunya, ia segera memojokkan Dara.
"Gua tau lo habis dari rumah mewah yang entah milik siapa. Bukan apa-apa, gua cuma mau mastiin apa yang lakuin dan Barra lakuin. Apa susahnya Ra, lo jawab jujur?!" sahut Abrial yang mulai memanas.
Dara mati kutu, dirinya tak berani menatap Abrial.
"Baiklah, kami hanya tertidur saja. Tidak ada macam-macam, jika kamu tidak percaya tanya lah kepada pak Barra. Ia begitu lelah seperti sedang ada masalah berat." jawab Dara.
Mendengar akan hal itu, Abrial lega. Setidaknya Dara sudah jujur kepadanya.
"Gua harap lo jujur dengan ucapan lo tadi. Gua cuma merasa ada tanggung jawab, lo sudah gua anggap seperti adik sendiri Ra." balas Abrial dengan nada bicara serius.
Dara tak menjawab, ia masih menunduk. Tetapi ia dengar jelas apa yang Abrial katakan. Tak berselang lama, Abrial menyelonong pergi dari hadapan Dara. Ia kembali menuju lantai 3 untuk menemui sahabatnya, Barra.