webnovel

Daftar (Yesha)

"Woah … gimana? Dia beneran selingkuh? Apa cuma kelewat cemburu?" cecar Karen. Dia memang selalu bersemangat jika menyangkut bahan gosip. Karen mengambil dompetnya, kemudian mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan. "Taruhan lima ratus ribu pasti selingkuh."

Fabian berdecak. "Gercep banget, Mbak, kalo perkara gosip," cibirnya. Dia mengeluarkan uang dari dompetnya dengan jumlah yang sama, kemudian meletakkannya di meja di depannya. "Gue yakin, perempuannya aja yang cemburuan setengah mampus. Andai dia ngeliat suaminya mandangin sapi betina kelamaan juga pasti bakal dibilang suaminya naksir sama itu sapi."

Karen hanya menjulurkan lidah ke arah sang rekan.

Yesha menggeleng-geleng tak percaya melihat tingkah kedua partnernya. Dia tak tahu, apakah di biro lain juga anggota timnya sering menggunakan kasus klien mereka sebagai bahan taruhan seperti ini.

"Gimana ya. Bisa dibilang selingkuhan, tapi juga bukan selingkuhan sepenuhnya. Udah naik kasta jadi istri mudanya si agen properti. Udah punya anak pula. Umur tiga tahun, cowok. Tampangnya persis banget bapaknya. Tadi gue baru beres nyusun laporannya. Besok mau ketemu sama klien," papar Yesha. Dia menceritakan secara ringkas pengintaiannya tadi malam pada Karen dan Fabian.

"Kasian," cetus Karen sambil tersenyum lebar. Yesha bertanya-tanya, Karen mengatakan itu untuk klien mereka atau Fabian yang baru saja kalah taruhan. Mungkin keduanya.

"Kita berarti udah bisa ngambil kasus baru. Siapa aja yang di daftar antre? Yang kasus pemerasan itu ada di daftar tunggu paling atas, 'kan?" Yesha menatap lurus Karen.

Karen memeriksa catatannya, kemudian mengangguk. Dia menyebutkan beberapa kasus yang masih ada di daftar tunggu.

Fabian masih memasang tampang merana setelah kehilangan lima ratus ribunya. Dia berkata, "Tapi saran gue mending kita jangan ambil kasus baru dulu, Yesh. Sekarang aja kita semua udah kesulitan ngebagi waktu. Hampir nggak punya waktu istirahat.

"Kasus Zola rumit. Belum lagi kasus si pejabat yang menyita tiga orang dari tim kita. Gue aja bentar lagi mau pergi buat giliran jaga sama Rayyan," ujar Fabian.

Yesha yang menempatkan ketiga anggota timnya di sana. Andre bertugas mengintai dari mobil, Zayn menjadi salah satu petugas kebersihan di kantor sang pejabat, serta Theo yang menyamar menjadi salah satu staf.

"Si penari ya?" Yesha mengingat-ingat. Akhir-akhir ini fokusnya sering terbagi. Dia meyakini itu mungkin karena kelelahan.

Fabian mengiakannya.

Yesha tampak mempertimbangkannya sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Oke," katanya.

Lima belas menit kemudian, Yesha sudah kembali ke ruangannya, sedangkan Fabian sudah pergi untuk menggantikan tugas Rayyan.

Jadwalnya malam ini menggantikan Andre—anggota timnya yang lain untuk berjaga di depan rumah si pejabat yang mendapatkan ancaman pembunuhan.

Mau tak mau, Yesha harus mengakui bahwa biro mereka memang kekurangan tenaga. Padahal mereka hanya menangani tiga kasus, tetapi sudah menyita perhatian dan tenaga seluruh tim. Yesha sempat terpikir untuk merekrut anggota tim yang baru.

Dia bahkan belum sempat memeriksa salinan berkas dari kepolisian soal kasus Zola yang sudah ia terima sejak tiga hari lalu dari salah seorang kontaknya di kepolisian. Yesha terlalu sibuk menambal kekosongan di sana-sini, serta urusan pernikahannya.

Terdapat setitik perasaan bersalah karena dia belum memaksimalkan upayanya mencari Zola, padahal Yesha sudah berjanji pada Hanasta—yang segera ia tepis dengan sengit.

Meski matanya terasa berat dan hal terakhir yang ia inginkan saat ini adalah membaca segunung berkas kepolisian, dia memaksakan diri untuk mengangkat kardus berisi berkas-berkas tersebut dan meletakkannya ke meja kerjanya.

Yesha membuka kardus tersebut dan mengeluarkan beberapa berkas berisi kesaksian dari orang-orang yang melihat Zola dalam keadaan hidup pada hari terakhir ia terlihat.

Yesha juga melihat ada sebuah flashdrive di dasar kardus. Kontaknya mengatakan bahwa flashdrive tersebut berisi rekaman kamera pengawas di tempat-tempat yang diyakini Zola sempat terlihat. Yesha berniat akan memeriksanya nanti, kalau masih ada waktu.

Yang pertama adalah Hanasta,24. Pernyataan Hanasta tak jauh berbeda seperti yang dikatakannya pada Yesha, kecuali bagian Zola yang menyelundupkan sebuah ponsel untuk Hanasta. Hal itu tidak tercatat pada berkasnya.

Yesha mengambil buku catatannya, kemudian menulis:

Hanasta,24

Tanyakan mengapa dia tidak memberitahu penyidik soal ponsel yang diselundupkan Zola.

Dari mana Zola mendapatkan uang untuk membeli ponsel tersebut?

Di mana Zola tinggal selama menunggu hari keberangkatan ke luar negeri? (catatan: Zola sudah tidak tinggal di asrama dan tidak memiliki sanak saudara selain Hanasta)

Menanyakan lebih jauh tentang kemungkinan sikap dan gerak-gerik Zola, serta perkataannya yang tak biasa atau terkesan mencurigakan.

Selanjutnya, ada kesaksian mulai dari Jihan,19 (sahabat sekaligus teman sekamar Zola saat di asrama dulu). Dia berkata bahwa Zola menelepon dan memberitahu bahwa sore itu dia akan mengunjungi kakaknya di penjara (dua jam sebelum Zola pergi ke penjara). Zola tidak memberitahu dia apa pun soal beasiswa kuliah ke luar negeri. Jihan tidak tahu di mana Zola tinggal. Dia sudah menawarkan agar Zola tinggal bersamanya di rumah orang tuanya, tetapi menolak.

Kemudian ada kesaksian beberapa petugas di rumah tahanan yang melihat saat Zola datang berkunjung. Penyidik juga menanyakan frekuensi kunjungan Zola selama Hanasta ditahan. Di berkas tertulis bahwa Zola berkunjung sekitar dua minggu sampai satu bulan sekali. Tetapi dalam satu bulan terakhir, Zola bisa berkunjung setiap pekannya.

Ada juga kesaksian dari kepala sekolah, ketua yayasan, serta orang-orang yang mengaku melihat Zola setelah membaca iklan yang dipasang Hanasta di media sosial.

Yesha menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada setiap saksi—atau, garis besar hal-hal yang akan dia tanyakan. Daftar pertanyaan tidak bersifat tetap. Biasanya dia juga membuat pertanyaan mengikuti arah pembicaraan si narasumber.

Dia sempat tertidur beberapa saat sebelum kemudian terbangun dengan terkejut.

Yesha membawa daftar saksi yang sudah selesai tersebut, kemudian memberikannya pada Karen yang sedang sibuk mengetik di mejanya.

"Mbak, tolong hubungi orang-orang yang ada di daftar ini. Buat jadwal wawancara dengan mereka," ujarnya sembari menahan kuapan. Matanya berair. Dia benar-benar butuh tidur.

Karen mengangguk. "Ada lagi?" tanyanya.

Yesha tampak berpikir sejenak. "Tolong hubungi anak-anak juga. Minta mereka datang ke kantor besok pagi. Kita harus atur ulang pembagian tugas dan mendiskusikan perkembangan kasus Zola dan kasus di pejabat."

Karen tampak mencatat instruksi dari Yesha. Saat Yesha hendak kembali ke ruangannya, perempuan itu memanggilnya.

Dia bangkit dari kursinya dengan susah payah. Dia mengulurkan sebuah amplop pada Yesha. "Yesh, gue mau ngajuin cuti lahiran. Dengerin gue dulu, jangan keburu panik," ujar Karen ketika melihat raut wajah Yesha. "Masih sebulanan lagi, kok. Tapi menurut gue nggak ada salahnya bilang dari lo sejak awal supaya lo bisa nyari pengganti sementara gue. Hanasta kayaknya oke. Gue mungkin bisa ngelatih dia sebelum ngambil cuti."

"Nggak," tolak Yesha secara otomatis. Dia tak ingin Hanasta terlibat di dalam pekerjaannya. Namun, di dalam alam bawah sadarnya, Yesha mempertimbangkan perkataan Karen.

Karen mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Oke. Gue cuma ngasih saran, kok," ujarnya. "Lo tidur dulu, gih. Tampang lo udah kayak mayat hidup. Nanti malam mesti jaga lagi kan?"

Yesha mengangguk. "Thank's, Mbak," gumamnya sembari terhuyung-huyung masuk ke ruangannya. Butuh perjuangan untuk Yesha berjalan sampai ke kamarnya. Begitu kepalanya menyentuh bantal, dia langsung tertidur pulas.