webnovel

Which One Should I Choose

Hanya gara-gara mimpi digigit ular, aku sekarang dijodohkan dengan seseorang. Perjodohan itu merupakan perjanjian atau surat wasiat antara mendiang Ayahku dan sahabatnya. Jika aku menolak perjodohan itu, maka aku harus membayar uang dalam jumlah banyak. Dari mana coba aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Dan atas dasar apa pula Ayahku menjodohkan aku dengan anak sahabatnya itu? Aku juga sudah menaruh perasaan kepada teman dekatku, kenapa harus pakai acara perjodohan lagi! Benar-benar frustasi aku sekarang, entah apa yang akan terjadi ke depannya. Yang mana harus aku pilih sekarang? Menolak perjodohan, menerimanya dengan pasrah, menyatakan perasaan kepada teman dekatku itu? Atau terjerat ke dalam perasaan cinta antara teman dekat dengan orang yang dijodohkan denganku? Tetap ikuti terus ceritanya!

LaveniaLie · Teenager
Zu wenig Bewertungen
316 Chs

Eh, Ada Apa Ini?

Tidak ada jawaban sama sekali, aku pun mulai meraba kesana kemari. "Kok ada ototnya yak?" ujarku pelan. Tiba-tiba muncul suara guntur menggelegar dengan keras yang bersamaan dengan kilat.

Aku pun sontak langsung memeluk orang itu erat. "Oh pintar juga aktingnya, aku pikir kamu polos lho, ternyata modus juga jadi orang."

"Eh kok s-suara D-dirga?" Aku pun menoleh ke samping dan langsung mendorongnya hingga aku terjatuh ke lantai saking malunya. "M-maafkan aku," ucapku lirih.

"Tidak usah minta maaf, dasar lemah!" ujar Dirga terdengar seperti mengejek. Aku pun tidak menghiraukan ejekannya itu dan berusaha bangkit berdiri.

"A-apa kamu punya lilin?" tanyaku.

"Untuk apa?" tanyanya balik.

"Buat ngepet, biar cepat kaya, ya gak mungkin juga kan buat ngepet. Buat penerangan lah, gelap soalnya. Handphoneku belum sempat isi daya, makanya aku tidak menggunakan handphoneku sebagai penerangan," jawabku.

***

Aku menghela nafas kasar, saat tahu cewek yang dijodohkan denganku ini takut gelap. Kalau mau turun menuju lantai bawah juga beresiko, masalah tadi juga aku mengerjakan tugas di ruang keluarga. Diatas meja juga terdapat handphonenya dan beberapa buku-buku.

Aku ke kamar karena mengambil kabel cas laptopku, saat ini berjalan menuju ruang keluarga. Tahu-tahu listrik mati, jika pun aku mau turun mengambil handphone dan laptopku, bisa jadi aku jatuh dari tangga karena tidak bisa melihat dengan jelas.

"Rumah ini tidak punya lilin. Sana kembali saja ke kamarmu dan tidur dengan tenang," jawabku.

"T-tapi gelap ... Ayolah, pasti ada benda yang bisa dijadikan penerangan," ujar Carissa sedikit merengek.

"Jangan manja, sana kembali ke kamarmu, aku mau tidur ini," ujarku.

"T-tapi Dirga, gelap lho. Aku takut, bagaimana nanti ada hantu atau makhluk halus, kan serem."

"Bukannya hantu dan makhluk halus itu sama saja?" tanyaku.

"Beda kayaknya," jawab Carissa.

Baru saja aku ingin masuk ke dalam kamar, datang lagi suara guntur dan membuat Carissa memeluk lagi untuk kedua kali. "Ih serem tuh gledeknya, lebih serem gledek daripada omongan ibu-ibu tetangga," ujarnya lirih.

"Banyak alasan, sana tidur!"

Reaksinya sama seperti tadi langsung menjauh dan tidak memeluk lagi. Tapi karena jiwa kasihanku yang tinggi ini memintaku untuk menemaninya tidur. Aku pun menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam kamarku. "Eh, ada apa ini?" tanyanya bingung.

Aku menutup pintu kamar dan berjalan menuju kamar mandi. Ku dudukan dia diatas tempat tidurku dan menyelimuti tubuhnya dengan selimutku. "Tidur!" ujarku.

"Lah? Gelap! Aku tidak suka gelap!" rengeknya.

"Rengekmu itu semakin lama semakin menjadi-jadi ya. Tidurlah, ada aku disini," sahutku.

Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut Carissa, waktunya bagi diriku untuk tidur dengan damai. Aku mengambil satu bantalku dan meletakkannya di lantai lalu merebahkan tubuhku diatas lantai. Biarkan hawa dingin ini melatih fisikku.

***

"Huh, ketus sekali dia. Ikhlas tidak nih biarin aku tidur di atas tempat tidurnya," gumamku.

Tidak terdengar lagi suaranya, hanya ada suara dengkuran halus dari bawah. Saat tahu Dirga sudah tidur, aku pun mencoba menutup mata dan tidur. Tapi aku sama sekali tidak bisa tidur tanpa lampu dan akhirnya listrik menyala. Dan itu sungguh membuatku lega.

Aku pun menoleh ke samping dan melihat Dirga yang meringkuk kedinginan di lantai. "Astaga, apa yang sudah aku lakukan." Cepat-cepat aku turun dari tempat tidur dan menepuk-nepuk pipinya pelan. "Dirga ... Dir ... Dirga ...."

"Eumm ...."

"Bangun, tidurlah diatas tempat tidurmu, lampunya sudah menyala," kataku pelan.

Tidak ada respon apapun, aku terpaksa harus mengangkutnya keatas tempat tidur. Dengan hati-hati dan mengumpulkan banyak tenaga. Dan akhirnya berhasil juga. "Tidurlah dengan nyenyak, terima kasih sudah mau menemaniku."

Baru saja aku ingin pergi, tiba-tiba tanganku ditarik olehnya, sampai-sampai aku terjatuh di dalam pelukannya. "Dirga, apa yang kamu lakukan sekarang! Lepaskan aku!"

Ku lihat kearah jam yang menunjukkan pukul 3 pagi dan semakin kuatlah diriku untuk melepaskan diri darinya. "Berarti aku tidak tidur semalaman, astaga Rissa!" gumamku.

Tiba-tiba kebetulan juga pintu kamar Dirga terbuka dan aku pun pura-pura tidur. Aku merasakan ada seseorang yang mendekat dan meletakkan sesuatu diatas meja belajar Dirga. "Matilah aku," gumamku lagi.

"Astaga anak ini, tampangnya dingin tapi romantis, kirain dia kemana. Ternyata sudah tidur, tapi kenapa handphone dan laptopnya tidak dibawa masuk ke kamar juga ya. Sudahlah, biarkan mereka berdua bermesraan," ujar Santoso lalu kembali menutup pintu.

"Ah astaga, Dirga lepasin gak!" ujarku berusaha membangunkannya.

"Apa sih! Jangan berisik, sana tidur di kamarmu!" sahut Dirga dengan mata tertutup.

"Iye bilangnya sana tidur di kamarmu, tapi apa ini miskah? Tanganku masih dipegang begini," ucapki lirih.

Diriku berusaha menenangkan diri dan ikut memejamkan mata. Biarkan saja yang terjadi ini, asalkan Dirga tidak melakukan hal yang macam-macam. Pastilah itu Ayahnya Dirga senang melihat pemandangan seperti ini. Padahal ini terjadi tidak sesuai dengan apa yang dia lihat.

***

Pagi pun tiba, aku membuka mataku. Tapi aneh, terdengar dengkuran halus yang suaranya dekat sekali denganku. Aku melirik ke samping dan melihat Carissa yang tertidur dengan pulas. Ingin sekali aku menamparnya hingga terbangun. Tapi melihat pintu kamarku terbuka, aku urungkan saja niat itu.

"Selamat pagi Den Dirga, ini sarapan Den Dirga dengan Non Carissa," ujar Bibi Siti, pembantu meletakkan sarapan di atas meja belajar.

"Iya Bibi, terima kasih banyak," ucapku.

Bibi Siti mengangguk lalu berjalan keluar kamar. "Carissa, eiy bangun ... Mau tidur sampai jam berapa nih!" ucapku setengah berteriak.

Sontak Carissa menampar pipiku. "Apa-apaan hei! Bangun!" teriakku. Tidak ada suara sama sekali, atau jangan-jangan dia tidak tidur semalaman. Tapi bukannya dia mengangkut aku ke tempat tidur dan aku kan menyuruh dia untuk pergi tidur ke kamarnya. Nah, kenapa dia sekarang tidur di kamarku.

Aku yang tidak peduli pun turun dari tempat tidur dan memakan sarapanku. "Biarkan saja dia," gumamku.

***

Aku membuka matanya melirik ke kanan dan ke kiri. "Sudah bangun ya kucing besar!" ucap Dirga dengan tatapan dingin yang tidak pernah hilang.

"Hah?"

"Ayo sini sarapan." Kesadaranku mungkin masih setengah. Aku hanya menurut dan sarapan. Ku lihat Dirga terus menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku yang muak dengan tatapan itu menatapnya balik. "Apa?" tanyaku.

"Kamu kenapa bisa tidur di kamarku? Bukannya aku sudah suruh kamu tidur ke kamarmu?" tanya Dirga heran.

"Aaa ... Soal itu, semalam habis aku pindahin kamu ke tempat tidur. Aku tuh mau kembali ke kamar, eh tahu-tahunya kamu megang tanganku dan kamu narik aku sampai jatuh di atas tempat tidurmu itu. Aku sudah bilang begini ke kamu, Dirga lepasin. Tapi kamu bilang, sudah jangan berisik dan tidur di kamarku. Lalu Ayahmu masuk ke dalam kamarmu, buat letakkin laptop sama handphonemu itu," jelasku.

"Astaga? Gawat! Bakal heboh nih nanti!" ujar Dirga setengah kaget.