webnovel

7. When Two People Fight.

Aku memang serakah.

Tak ingin kamu dengan dia kembali bahagia.

Tapi, Adinda, pikirlah.

Pemuda ini merindukanmu bertahun-tahun,

Dan kamu telah dimiliki orang lain?

Mungkin ini kesempatan yang diberi semesta.

Untukmu dan aku, supaya kembali bersama.

-Jeon Juno.

***

"Ini sungguhan?!" Yena memekik tidak percaya setelah Arin menceritakan semua ceritanya. "T-Theo beneran menikah dengan sekretarisnya?"

Arin mengangguk lemah.

"Wah, ini gak bisa dibiarin. Theo harus dikasih pelajaran!" Yena siap-siap bangkit dengan kepalan tangannya yang mengetat, tetapi buru-buru Arin menahannya.

"Aku kan sudah bilang kamu gak boleh marah. Kamu juga tau kalau aku pernah menyarankan untuk Theo agar mau menikah lagi. Ini demi kebaikan Theo, Yen. Demi kebaikan perusahaan juga."

Yena mendengus gusar. Jika saja Jimin bertingkah seperti Theo, Yena menjamin suaminya itu akan menjadi gelandangan keesokannya.

Tapi ini Arin, Yena mengerti beban yang berkarat di hati Arin. Tidak bisa melahirkan seorang anak adalah kegagalan bagi seorang wanita. Jelas itu merupakan pukulan terberat.

Yena mengusap punggung Arin. "Jika suatu hari kamu memang gak kuat menghadapi semuanya, kamu boleh mundur. Dan ingatlah, di belakangmu aku akan selalu ada."

Isak tangis Arin pecah setelahnya. Ia segera memeluk Yena.

Siapa sih istri yang bersedia dimadu? Walau bibirnya berkata ia merelakan, namun jauh dalam lubuk hatinya luka goresan itu akan semakin menganga lebar.

Arin berharap dia tidak akan pernah menyerah.

***

Hanna sedang makan malam bersama dengan tiga temannya di sebuah restoran yang menyajikan Gogigui—barbeque ala Korea.

"Gimana rasanya jadi istri Pak Theo?" tanya salah satu dari mereka.

"Ah? Aku...." Hanna tersenyum malu-malu sembari menggigit bibir bawahnya. "...molla," jawabnya menahan semburat merah di pipi.

"Kamu jahat sekali, Na. Kamu merahasiakan hubunganmu dengan Pak Theo selama ini. Padahal kami selalu curhat tentang segala hal padamu," rengut yang lain.

"Maaf, aku malu menceritakannya pada kalian. Lagipula kalian pasti gak akan percaya dengan omonganku, kan?"

"Iya, sih. Aku masih gak percaya kamu menikah dengan Pak Theo. Bagaimana kabar Ibu Arin?"

Hanna menjawab setelah meneguk minumannya. "Kami tinggal serumah. Nasibnya sangat mengenaskan. Pak Theo selalu memarahinya hanya karena wanita itu membuat kulitku tergores. Aku cukup kasihan dengannya," dustanya.

"Kenapa Pak Theo gak ceraikan dia aja?"

"Wanita itu selalu memohon pada suamiku untuk gak diceraikan." Hanna tersenyum sinis. "Wanita yang malang," desisnya.

Sedetik setelah itu, pintu restoran itu terbuka. Hanna merasa sangat senang melihat Juno datang dengan sekretarisnya.

"Itu mantanmu," bisik temannya pada Hanna.

"Aku permisi sebentar," izin Hanna setelahnya. Hanna berjalan dan duduk —tanpa diminta—di sisi Juno. "Jadi kamu masih sering datang kemari, ya. Jangan bilang kamu masih mengingat kenangan kita selama makan berdua di tempat favoritku ini?"

Juno berdecih sinis. "Aku ke sini untuk makan bukan untuk mengingatmu. Kalau aku mengingatmu, yang ada selera makanku langsung hilang."

Hanna memperbaiki posisi duduknya. "Kamu memang pengecut, ya. Kamu bilang ingin kasih tau ke Theo tentang rencana jahatku. Kenapa batal? Kamu dirasuki oleh perkataanku di kafe kemarin, ya? Atau... karena kamu mengenal Arin?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Kamu menyukai Arin?"

Raut Juno sekilas berubah. Sempat menjadi tegang, tetapi setelahnya Juno memperbaiki ekspresinya lagi.

"Jangan bercanda. Aku bukan pelakor sepertimu."

"Oh iya? Ckckck, Direktur Jeon, aku mengenalmu bukan seminggu dua minggu. Aku adalah mantanmu. Aku tau banyak tentang dirimu, termasuk ekspresi yang tadi kamu tunjukkan. Jelas sekali kelihatan kalau kamu menyukai Arin. Ayolah, aku memberimu kesempatan untuk bekerja sama denganku. Kita bisa bersama-sama membuat pernikahan mereka berakhir. Theo untukku dan Arin untukmu, bagaimana?"

"Kamu pikir aku akan tertarik? Kalau pun aku menyukai Arin, aku bisa bekerja sendiri tanpa bantuan tangan kotormu itu. Sekarang menjauhlah dari mejaku sebelum aku memaksamu."

Rasanya kesal sekali mendengar hinaan pria ini mengarah padanya. Hanna tidak suka itu. Hanna ingin selalu menang dari Juno. Jika memang Juno tidak mau bekerja sama dengan Hanna, dengan kata lain Juno sedang menantang Hanna. Kalau sudah seperti ini, Hanna tidak akan membiarkan Juno mendapatkan Arin dengan mudah.

***

Hanna menghampiri Arin. Arin sedang membuatkan secangkir kopi di dapur.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" izin Hanna.

"Kenapa kamu selalu minta izin dulu? Tanyakan aja."

"Emm, begini. Kamu bilang Direktur Jeon adalah teman sepanti kamu dulu. Apa belakangan ini beliau ada menghubungimu?"

Arin mendongak, menatap Hanna dengan raut penuh tanya. Untuk apa wanita ini menanyakan hal tersebut?

"Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Aku mengenal Direktur Jeon dengan cukup baik. Dia teman sekolahku saat SMA. Maaf jika kamu gak suka, tapi aku pikir kamu jangan dekat-dekat dia."

"Kenapa?"

"Dia gak sebaik kelihatannya. Dia pernah berselingkuh dari pacarnya sampai pacarnya itu hampir bunuh diri. Setelah itu Direktur Jeon meninggalkan pacarnya begitu saja. Maaf Arin, aku jadi memberitahu hal ini padamu. Aku hanya gak mau kamu berteman dengan orang berwatak sepertinya."

Arin terlihat memikirkan dengan keras perkataan tersebut. Jelas saja ia ragu dengan yang dikatakan Hanna. Sejak pertemuannya kemarin, Juno kelihatan baik pada Arin. Sangat malah.

"Aku mengerti," jawab Arin dengan akal yang belum percaya sepenuhnya. "Aku pergi ya, mau ngasih ini sama Theo." Arin mengangkat secangkir kopi yang barusan selesai ia buat.

Setelahnya Arin mengantarkan kopi tersebut ke ruang kerja Theo. Di ruangan tersebut suaminya sedang sibuk dengan berkas-berkas pentingnya.

"Sayaaang, minum kopi dulu hayuu!!" Arin datang dengan meriah.

Theo menoleh pada istrinya itu lalu tersenyum cerah. "Makasih," ucapnya.

Arin meletak kopinya di atas meja kemudian diambil Theo untuk diteguk sampai sisa separuh gelas.

"Kamu jangan capek-capek kerjanya."

"Kalau capek kan bisa dipijitin sama kamu."

Arin memajukan bibirnya—merajuk.

Tiba-tiba Bibi Emely datang mengetuk pintu "Permisi, Tuan."

"Ada apa, Bi?" saut Theo.

"Direktur Jeon datang bertamu, Tuan."

"Dia lagi? Apa maksudnya sih?" sungut Theo dengan menahan amarahnya yang seketika bergejolak. "Iya, Bi. Lima menit lagi saya ke sana."

"Baik, Tuan." Bibi Emely permisi.

Theo menarik tangan Arin hingga Arin menoleh lagi pada Theo. "Kamu ke kamar aja, ya. Jangan jumpa sama Juno," saran Theo.

"Loh, kenapa?"

"Aku gak suka kamu ketemu sama dia."

Arin hanya diam tak menanggapi ucapan Theo bahkan hingga Theo meninggalkannya sendirian di ruangan ini.

Tidak suka? Tapi Arin suka berteman dengan Juno.

***

"Ada keperluan apa, Direktur Jeon?" tanya Theo ketika ia masih menuruni anak tangga terakhir.

Juno melebarkan senyumnya—lebih ke sinis mungkin. "Sesungguhnya saya ada keperluan dengan istri Anda bukan dengan Anda, Tuan."

Tatapan Theo menginterogasi. Meskipun ia membenci pria di depannya, tetapi ia harus duduk untuk berbincang, bukan?

"Keperluan apa dengan Arin?"

"Kenapa Anda langsung mengenakan ke Arin. Istri Anda sekarang bukan hanya dia, bukan?"

Sungguh Theo ingin mengusir Juno sekarang juga. Pun kalau bermitra dengan bisnis lawan bicaranya ini tidak memberi untung besar, Theo pasti sudah merobek kontrak kerja mereka.

Juno merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah jepit rambut lalu meletaknya di atas meja. "Ini milik Sekretaris Jung. Kami kebetulan bertemu di restoran tadi. Saya pikir ini sering dipakainya makanya saya susah payah mengembalikannya kemari."

Dari lantai dua Arin mengintip diam-diam pembicaraan antara Theo dengan Juno. Suara mereka tidak terdengar tapi Arin penasaran saja.

"Oh, baiklah. Saya yang akan memberikan padanya. Jika tidak ada hal lain Anda boleh pulang."

"Kenapa saya selalu diusir ya setiap kemari? Apa setiap tamu mendapat perlakuan yang sama? Selalu terkesan diusir seperti ini?"

"Maaf, Direktur. Saya sedang sibuk." Theo mengambil jepit rambut tersebut lalu beranjak dari sana.

"Apa saya bisa bertemu dengan istri kesayangan Anda?!" Juno berteriak agar Theo yang sudah berjalan menjauh mendengarnya. Pula dengan Arin di lantai dua turut mendengarnya juga.

"Tidak ada waktu mempertemukan kalian berdua!"

"Tapi ini penting! Saya butuh bantuan dia untuk mengadopsi satu anak dari panti!"

"MENGADOPSI?!"

Lantas dua orang itu menoleh ke lantai dua dimana suara melengking itu terdengar. Theo menghela napas gusar sementara Arin memasang wajah berbinarnya. Segera Arin berlari turun mendekati Juno. Theo ingin menahan istrinya itu tetapi Arin terlalu cepat melintas.

"Jadi kamu mau mengadopsi anak?" tanya Arin dengan raut senang saat sudah di hadapan Juno.

Juno menggaruk tengkuk belakangnya. Ia tertawa kecil melihat Arin yang tiba-tiba muncul dengan reaksi berlebihan ini. "Bukan aku, tetapi temanku. Apa kamu bisa membantuku menemukan anak yang pas untuk diadopsi?"

Arin mengangguk antusias.

"Arin!" Theo memanggil dengan dibarengi peringatan.

Ah, Arin sampai lupa dengan larangan Theo.

"Yah, tapi Theo gak izinin aku, Jun." Arin menjawab dengan lesu.

"Kenapa harus butuh izinnya? Dia saja bisa bebas bermain dengan sekretarisnya sendiri. Kalau dia bisa, harusnya kamu bisa."

Saat itu juga Theo naik pitam. Urat-urat di pergelangannya langsung kelihatan begitu Theo mengepalkan tangan.

"Kau bilang apa?!!" Dengan cepat Theo mendekati Juno dan melayangkan satu tinjuan di pipi kirinya.

"Theo!" Arin berteriak panik.

Theo mengabaikan cegahan istrinya agar tidak berkelahi. Pria itu menarik kerah kemeja Juno. "Apa maksud Anda berkata seperti itu pada istri saya? Anda tidak berhak mencampuri masalah keluarga saya, Direktur Jeon!"

Juno berdecih. "Maksud saya mengatakan seperti itu hanya untuk menyadarkan Arin kalau ternyata dia memiliki suami yang buruk, Direktur Kim. Maaf, tapi saya tidak bermaksud mencampuri. Anda yang lebih dulu mencampuri hubungan saya dengan Arin. Bukan sekarang, tapi saat kami masih kecil dulu. Bukankah Anda yang sengaja memberi keluarga baru pada saya agar saya tersisihkan dari Arin?"

Theo terdiam masih dengan napas yang menggebu. Darimana Juno mengetahui hal tersebut?

"Direktur Kim, hak Anda tidak lagi sebesar itu kepada Arin. Hak Anda semakin menciut sehari setelah Anda menikahi Sekretaris Jung." Juno melepaskan kepalan tangan Theo dari kerah kemejanya dengan sekali hentakan. "Anda sungguh egois, Direktur. Anda memaksa Arin untuk masuk ke dunia Anda. Serta merta memaksanya menerima Anda apa adanya."

"Sialan!" Theo mendesis sebelum ia melemparkan satu tinjuan tambahan pada Juno.

"Jangan terlalu sombong. Jika tidak karena perbuatan kekanakan Anda sebelas tahun yang lalu, yang berada di posisi Anda sekarang adalah saya."

"Diam!!" Secara bertubi-tubi Theo menghabisi Juno. Juno tidak membalas, dia cukup puas membabi buta Theo dengan ucapannya.

"BERHENTI!"

Arin seterusnya tetap memisahkan dua insan yang saling beradu argumen dengan kekerasan itu. Hingga akhirnya Arin pun berhasil berdiri di tengah-tengah mereka berdua.

"Jangan bertengkar! Jangan bertengar sebelum kalian menceritakan semuanya padaku! Ceritakan kejadian sebelas tahun yang lalu. Aku mau tau semuanya."

Theo tidak suka ini.

Sementara Juno, pria itu justru tertawa sinis.