Suara alarm dari telepon genggam di atas meja berbunyi nyaring. Dengan mata setengah terpejam, Annisa menggapai-gapaikan tangannya ke arah meja kecil yang terletak di sebelah tempat tidur, mencoba meraih telepon genggamnya.
Ia memicingkan mata, masih dalam keadaan mengantuk, mencari tahu jam berapa saat itu. Tiba-tiba ia melonjak bangun dari tempat tidur ketika ia menyadari bahwa sudah pukul tujuh pagi sekarang.
"Aduh, aku kesiangan bangun. Semoga saja aku tidak ketinggalan jadual tur hari ini."
Langsung dengan panik ia menyambar handuk dan bergegas masuk ke kamar mandi hotel yang minimalis namun cozy itu.
Suasana restoran di hotel La Luna pagi itu sudah penuh sesak. Terdengar suara riuh ramai para kelompok turis duduk di meja makan masing-masing. Suara sendok dan garpu berdenting-denting beradu dengan piring.
Annisa celingak-celinguk mencari teman-teman sekelompok turnya dari Indonesia. Ia melihat Ella teman yang baru saja dikenalnya dalam perjalanan tur ke Mexico sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahnya, menunjuk-nunjuk sisa kursi kosong satu di sebelahnya.
"Selamat pagi tuan putri tidur," sapa Ella tersenyum lebar, mukanya berseri-seri.
"Ayo, cepat sarapan, sebentar lagi tur kita akan segera berangkat."
Rombongan dari Venus Tur dan Travel berbendera merah putih terlihat turun dari bus dan memasuki sebuah situs pariwisata berlokasi di Semenanjung Yukatan.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, sebentar lagi kita akan memasuki kawasan bersejarah Piramida Chichen Itza, sebuah situs peradaban suku maya di Mexico, dibangun pada abad 800 SM, merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru," dengan suara lantang pemandu tur menjelaskan.
"Harap tetap berada pada barisan kelompok untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dan seperti biasa, jaga barang-barang berharga Anda dari pencopet ataupun orang-orang jahat lainnya."
Ella menarik tangan Annisa dan mengajaknya berfoto di depan El Castillo, bangunan istana yang terletak di tengah kompleks dan terlihat paling dominan. Di dekatnya terdapat lapangan dengan pilar-pilar dan dinding-dinding persegi.
Annisa memegang kamera dan mengambil foto Ella yang sedang asyik bergaya di depan istana, tanpa menyadari ada sepasang mata mengawasi mereka.
Tiba-tiba seorang anak kecil berkaos hitam dan bercelana pendek coklat telanjang kaki menyambar dompet berwarna merah muda yang menyembul dari tas ransel Annisa yang lupa ditutup kembali pada saat mengambil kamera tadi.
"Awas copet, Nisa !" Teriak Ella mengingatkan. Wajahnya kaget dan pucat pasi.
Namun anak kecil tersebut berhasil membawa lari dompet Annisa. Tanpa pikir panjang lagi Annisa pun berlari mengejar, namun anak kecil itu berlari terlalu cepat ke arah taman bunga dan Nisa pun kehilangan jejaknya dalam sekejap.
"Bagaimana, Nisa ?" Tanya Ella yang terengah-engah ikut berlari mengejar dari belakang.
Nisa menggeleng sambil terlihat lunglai namun geram.
"Aku tak bisa mengejarnya Ella. Copet itu berlari cepat sekali. Salahku sendiri mengapa aku tadi lalai menjaga tasku. Arrgggggghhhhh !"
Ella mengajak Annisa untuk duduk di sebuah bangku kayu di taman bunga yang terletak tidak jauh dari situ.
"Coba kamu periksa lagi Nisa, selain dompet kamu ada apa lagi yang hilang ? Kamu ingat-ingat kembali, kamu taruh apa saja di dompetmu itu ?"
Annisa pun segera memeriksa isi tasnya dengan seksama. Tangannya masih bergetar hebat antara menahan amarah dan letih karena berlari. Keringat mengucur deras dari dahinya.
"Kurasa hanya dompet dan uang peso recehan sisa kembalian aku belanja minum tadi. Untung aku tidak meletakkan paspor dan uang sakuku di dompet itu. Tapi kartu identitasku dan foto keluargaku ada di sana Ella."
Ella menghela napas lega dan mencoba menenangkan hati Annisa.
"Sudahlah tidak apa-apa Nisa. Yang penting paspor dan uang kamu tidak hilang. Kartu identitas dan foto keluarga kamu nanti kamu bisa buat lagi sekembalinya kamu ke Denpasar."
Annisa tersenyum kecut, mencoba tertawa kecil, tertawa yang amat dipaksakan.
"Ya kamu benar Ella. Aku masih beruntung kali ini."
Ella berdiri dan mengulurkan tangannya ke Annisa.
"Yuk kita gabung lagi ke kelompok tur kita. Pasti mereka sudah menunggu kita di luar. Jangan sampai kita membuat mereka cemas atas kejadian ini."
Annisa pun menyambut uluran tangan Ella tanpa semangat. Mereka berdua terlihat letih berjalan setelah berlari mengejar pencopet itu sebelumnya.
Dave berjalan menyusuri sepanjang jalan Reforma sore itu ditemani oleh Nico yang setia menemani di sampingnya.
Pikiran Dave berkecamuk memikirkan sesuatu hal, sesuatu yang amat mengganggunya akhir-akhir ini. Keningnya berkerut keras, ia menghela napas berkali-kali, gelisah dan gundah. Berulang kali ia mengusap tangannya yang basah ke saku celana jeansnya.
Nico menyadari tingkah laku Dave saat itu namun ia sedang tidak ingin bertanya, tidak ingin menambah kalut dengan pertanyaannya ke sahabat karibnya itu, setidaknya tidak untuk saat itu.
Tiba-tiba Dave bertubrukan dengan seorang anak kecil yang seolah-olah muncul dari mulut gang tanpa diketahuinya. Brukkkk !
"Aduh !" Teriak anak itu sambil memegang kakinya lalu mengusap-usap lututnya yang lecet.
"Kamu tidak apa-apa, Dik ?" Ujar Dave cemas.
"Maaf ya saya berjalan tanpa memperhatikan jalan."
Ia lalu menyodorkan tangannya untuk membantu anak kecil itu berdiri.
Anak itu meringis kecut di wajahnya. Namun ia tetap bisa tersenyum dan berkata "Saya baik-baik saja Kak. Terima kasih."
Lalu seketika anak itu pun berlalu tanpa berkata apapun lagi.
Nico menertawakan Dave dengan sengaja.
"Makanya kalau jalan lihat-lihat dong, Dave."
Dave menjulurkan lidahnya ke Nico.
"Huh bukannya menolong, kamu malah menertawakan," sahut Dave.
Dave mendadak terdiam dan memperhatikan sesuatu berwarna merah muda yang amat menarik perhatiannya. Ia membungkuk dan mengambil barang yang ternyata dompet wanita.
"Ini pasti punya anak kecil itu yang terjatuh pada saat bertubrukan tadi." Gumam Dave.
Ia memandang ke arah anak kecil itu tadi berjalan. Tak tampak lagi sosok anak itu dilihatnya sepanjang jangkauan mata memandang.
"Apa itu, Dave ?" Tanya Nico.
Dave membuka dompet tersebut dan melihat isinya. Tak ada uang sepeserpun di situ. Hanya ada foto keluarga. Ayah, Ibu, anak perempuan dan anak laki-laki.
Ia kembali membongkar isi dompet tersebut berharap menemukan sesuatu yang lain. Tiba-tiba Dave merasa hatinya menjadi berdebar-debar, mulutnya terbuka lebar tanpa disadarinya. Ia mengenali sosok perempuan di foto yang berbeda.
Sebuah foto close up sang bidadari, sang penyelamat jiwanya, wajah cantik nan anggun yang selama ini menghias mimpi-mimpinya, seolah-olah sedang tersenyum teramat manis kepadanya saat itu.
Dadanya membuncah, penuh dengan kegembiraan meluap-luap, seakan-akan ia ingin lompat setinggi-tingginya, terbang ke atas sejauh-jauhnya, karena dapat mengingat kembali wajah gadis impian yang sangat didamba-dambakannya selama ini.
Nico yang sibuk mengguncang-guncang tangan Dave, mencoba menanyakan apa gerangan yang terjadi pun, tidak dihiraukannya.
Senyuman Dave teramat lebar, menjadikan wajah yang ganteng nan rupawan yang dimilikinya menjadi lebih menawan dan bersinar-sinar.
Dave menunjukkan foto close up itu kepada Nico.
"Lihat ini Nico, ini gadis cantik yang telah menolongku saat itu. Akhirnya aku menemukan juga yang aku cari."
Nico terperangah tidak percaya. Matanya melotot dan mulutnya melongo, seolah-olah tidak mempercayai kata-kata Dave.
"Apa kamu yakin, Dave ? Kamu tidak sedang bermimpi kan ?" tanya Nico memastikan.
"Aku yakin sekali, Nico. Seratus persen yakin ini gadis yang telah menyelamatkanku dan membawaku ke rumah sakit saat itu."
Lalu Nico merebut dompet merah muda itu dari tangan Dave.
"Tunggu apa lagi Dave. Ayo kita cari alamat gadis tersebut."
Nico menemukan kartu identitas gadis tersebut.
"Hmm... Namanya Annisa. Tapi... kabar tidak begitu bagus untukmu, Dave..." Nico mendadak menghentikan pembicaraannya.
"Apa... Kenapa... Ada apa, Nico ?" Dave merebut kartu identitas itu dari tangan Nico.
Raut muka Dave mendadak terlihat sedih.
"Oh... Ternyata dia seorang turis dari negara Indonesia. Pantas saja jaringan keluarga kita tidak ada yang bisa menemukan gadis itu selama ini."
Nico menepuk pundak Dave. "Walaupun begitu, kita harus tetap mengucapkan terima kasih kepada gadis itu, bukan ?" Nico mengingatkan.
"Kamu benar, Nico," angguk Dave.
"Di sini ada secarik kertas bertuliskan Hotel La Luna, Jalan Florencia. Hmm... Tulisan gadis itu bagus juga, secantik orangnya."
"Hey... Hotel itu kan tak jauh dari sini. Hanya berjarak beberapa blok saja. Ayo kita ke sana sekarang, Nico."
Dave bersiul-siul gembira, menyenandungkan suasana hatinya yang saat ini sedang berbunga-bunga.
Hotel La Luna, Jalan Florencia, Mexico City.
Bagian penerimaan tamu hotel yang terletak di lobi terlihat ramai oleh orang-orang yang sedang mengantri.
Dave nampak tak sabaran ikut dalam antrian tersebut. Akhirnya gilirannya pun tiba.
"Ada yang bisa kami bantu, Tuan... Maaf dengan siapa saya berbicara ?" Resepsionis laki-laki muda kira-kira berusia dua puluhan tahun itu menyapanya dengan ramah.
Dave pun tersenyum dan menunjukkan kartu identitas dan foto Annisa kepada resepsionis hotel tersebut.
"Saya Dave. Dapatkah Anda memberi tahu kami dimana kami bisa menemukan gadis ini ? Kami menemukan dompet serta segala isinya dan kami bermaksud untuk mengembalikannya kepada gadis tersebut."
Resepsionis itu mengambil kartu identitas yang disodorkan oleh Dave dan mengetikkan sesuatu di komputer.
"Baiklah, Tuan Dave. Nona Annisa memang sebelumnya menginap di hotel ini untuk beberapa waktu. Namun sayang... Nona cantik tersebut sudah check out pagi ini dan kembali ke negaranya melalui penerbangan siang ini pukul 12.00, Tuan."
Dave membelalakkan matanya dan berteriak kencang, "Apa... ! Apa Anda tidak salah lihat infonya ! Coba Anda cek lagi di komputer, barangkali ada kesalahan ketik atau apapun lah itu !"
Hampir seluruh tamu hotel yang terletak di Hotel La Luna melihat ke arah Dave dan memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Sssttt Dave, pelan-pelan bicaranya, jangan teriak-teriak begitu. Lihat semua orang memandang ke arah kita sekarang," ujar Nico mencoba menenangkan sahabatnya.
"Betul Tuan Dave, sudah saya cek ulang di komputer kami. Nona Annisa telah check out pagi ini, kamarnya pun telah diisi oleh tamu kami yang lain."
"Dan ia telah berangkat bersama-sama rombongan Venus Tur dan Travel kembali ke negaranya menggunakan penerbangan berjadual siang ini," sang resepsionis pun menegaskan kembali.
Dave mendadak merasakan dengkulnya lemas, matanya mendadak berkunang-kunang, merasakan seolah-seolah seluruh semangatnya hilang ditelan bumi, tak bersisa. Hampa.
"Apa sudah kamu pikirkan masak-masak mengenai keputusanmu itu, Nak ?" Tanya Tuan Edward kepada anaknya.
Ia meneliti raut wajah Dave yang pada saat itu menatapnya dengan penuh pengharapan kepadanya.
"Tekadku sudah bulat, Yah. Ayah sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa kita sebagai garis keturunan Moreno wajib memenuhi janji yang telah kita ikrarkan sebelumnya. Aku telah berjanji pada diriku sendiri sejak aku diselamatkan oleh gadis itu, bahwa aku akan mengungkapkan rasa terima kasihku yang tak terhingga kepadanya karena telah menyelamatkan jiwaku. Aku sungguh berhutang budi padanya, Yah."
Edward menggeser duduknya mendekati anaknya, mencoba membujuk Dave untuk mengurungkan niatnya. Ruangan ber-AC di ruangan kerja Tuan Edward yang biasanya dingin namun saat itu tidak terasakan sejuknya bagi kedua belah pihak. Sofa kulit berwarna hitam yang sesungguhnya empuk dan mahal menjadi terasa tidak nyaman mereka duduki.
"Coba kamu pikir ulang kembali keinginanmu untuk mencari gadis itu ke negaranya, Dave. Indonesia sangat jauh dari Mexico. Kamu sendiri pun belum pernah pergi ke sana. Apalagi keluarga kita juga belum memiliki jaringan koneksi apapun dan dengan siapapun di sana. Ayah tidak ingin ada hal-hal yang tidak kita inginkan yang akan menimpamu selama kamu di sana, Nak."
Dave tersenyum dan menatap bola mata coklat Tuan Edward dengan sungguh-sungguh.
"Ayah tidak perlu kuatir. Nico akan menemaniku selama pencarianku di sana. Ayah tahu sendiri bagaimana Nico telah menjagaku dengan baik selama ini."
Edward berdiri dan berjalan menjauhi Dave ke arah jendela. Ia menyibak korden sedikit dengan tangan kanannya. Berpura-pura mengamati keindahan taman yang terlihat di depannya.
"Baiklah jika kamu masih tetap bersikeras akan pergi ke Indonesia untuk mencari gadis tersebut. Namun sebelum kamu melakukannya, ada sesuatu hal yang Ayah ingin beritahukan kepadamu, rahasia tentang keluarga kita."
Dave terperanjat. "Rahasia ? Rahasia apa, Yah ?"
Edward menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya.
"Sebelum kamu lahir, keluarga Moreno sangat dekat sekali dan berhubungan baik dengan keluarga Romero, yang terkenal dengan nama Le Coyote."
Dave nyaris terlonjak dari tempat duduknya.
"Le Coyote keluarga mafia terkenal itu, Yah?"
Edward menggangguk perlahan nyaris tidak kentara.
"Benar, Anakku. Le Coyote merupakan keluarga mafia terkenal di daratan Mexico terutama di Mexico City ini. Keluarga kita dulu terkenal dengan sebutan El Lobo, Sang Serigala. Keluarga Le Coyote dan El Lobo dahulu kala pernah menggalang kekuatan sesama keluarga mafia dan kita secara bersama-sama menguasai seluruh aspek bisnis dan kehidupan sosial di Mexico City ini. Penggabungan kekuatan tersebut sudah terjadi turun temurun sejak kakek buyutmu terdahulu, Dave."
Dave matanya terbelalak, tidak bisa mempercayai pendengarannya saat itu.
"Jadi Ayah mengatakan bahwa keluarga kita selama ini adalah keluarga mafia ?"
Edward tidak menggubris pertanyaan anaknya dan kemudian melanjutkan ceritanya.
"Namun sejak Ayah bertemu dengan ibumu dan dengan lahirnya kamu, putra Ayah yang sangat Ayah sayangi, Ayah berusaha sedikit demi sedikit membawa keluarga kita keluar dari dunia hitam itu, Dave. Ayah terlalu amat mencintaimu dan ibumu, sehingga pada saat itu Ayah bertekad akan meninggalkan itu semua demi kalian dan secara perlahan-lahan membangun bisnis secara legal, seperti yang kamu ketahui saat ini, tentang bisnis jaringan hotel yang kita jalankan selama ini, Nak."
Edward berusaha meyakinkan Dave yang pada saat itu menatapnya dengan penuh keraguan. "Bisnis yang kita jalankan sekarang murni usaha legal keluarga kita tanpa ada campur tangan sedikit pun dari urusan keluarga mafia kita yang terdahulu. Ayah mencoba merahasiakan hal ini darimu karena Ayah sangat menguatirkan keselamatanmu dan langsung mengirimkanmu sekolah ke Amerika Serikat semenjak kamu kecil. Supaya mereka tidak bisa berbuat sesuatu hal yang bisa melukaimu."
Dave berpikir keras, ada hal yang cukup mengganggu di pikirannya.
"Jadi apakah orang-orang yang saat itu memukuliku adalah orang-orang suruhan El Coyote, Yah ?"
Edward memalingkan mukanya dari Dave. Raut wajahnya terlihat cemas.
"Semua yang Ayah lakukan di masa lampau meninggalkan dunia hitam mafia ternyata berbuntut panjang, bahkan sampai saat ini. Tepat pada hari ulang tahunmu beberapa waktu yang lalu, mereka mencoba untuk menculikmu dengan tujuan agar Ayah mau kembali bergabung dengan mereka. Mereka melihat jaringan bisnis hotel kita berkembang dengan sangat pesat. Dan akan sangat menguntungkan bagi mereka jika Ayah kembali menggabungkan kekuatan keluarga El Lobo dengan Le Coyote. Jaringan bisnis hotel mereka akan bertambah kuat dan maju jika digabungan dengan apa yang keluarga kita punyai saat ini Dave."
Dave terdiam. Ia membayangkan kembali ke masa suram saat ia merasakan ada sesuatu yang sangat keras menghantam kepalanya dari belakang.
Kemudian samar-samar teringat kembali wajah gadis cantik Annisa pada saat menolongnya.
Lalu sekilas ia teringat pada waktu ia menghabiskan seluruh waktunya terbaring lemah di rumah sakit akibat pemukulan tersebut.
"Darimana Ayah tahu bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas hal itu, Yah ?" tanya Dave dengan muka penasaran.
"Keluarga kita sudah lama berkecimpung di dunia mafia, Dave. Tidak sulit bagi kami untuk menemukan siapa pelakunya di balik itu semua. Namun kami tidak ingin melibatkan pihak berwenang, dalam hal ini polisi, karena kami lebih mengutamakan keselamatanmu. Lagi pula keluarga Moreno telah membereskan hal itu dengan baik."
Dave tidak mengerti arah pembicaraan ayahnya.
"Maksud Ayah bagaimana ?"
Edward menepis pertanyaan Dave dengan segera.
"Sudahlah Nak, kamu tidak perlu tahu tentang hal itu. Lebih baik kita kembali lagi fokus ke pembicaraan kita sebelumnya."
Dave berjalan menghampiri ayahnya. "Aku tetap pada pendirianku semula, Ayah. Aku akan tetap pergi ke Indonesia dan mencari Annisa. Aku harap Ayah mendukung keputusanku ini."
"Baiklah Dave, jika kamu tetap bersikukuh dengan keinginanmu itu. Ayah akan kabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat."
Dave mendengarkan perkataan Tuan Edward dengan seksama.
"Apa itu, Yah ?" sahut Dave.
"Apapun hasil yang kamu dapatkan di sana, kamu sudah harus kembali ke sini sebelum ulang tahun perkawinan emas kami. Ayah dan ibumu berencana untuk membuat perayaan besar-besaran pada saat itu. Sekaligus mengumumkan rencana pertunangan kamu dengan Adella, putri pewaris bisnis keluarga Tuan Hierra, jika semua berjalan sesuai dengan rencana," papar Tuan Edward kepada anaknya.
Dave terlihat ingin mengutarakan sesuatu kepada ayahnya. Ada hal yang kurang ia setujui nampaknya. Namun setelah berpikir ulang, ia sebaiknya menuruti perkataan Ayahnya.
Aku sebenarnya tidak begitu suka dengan rencana pertunangan ini, tapi daripada nanti ayah tidak memberikanku ijin untuk pergi ke Indonesia mencari Annisa, lebih baik aku berpura-pura saja untuk mengikuti rencananya sementara waktu ini. Untuk langkah-langkah selanjutnya akan kupikirkan nanti pada saat di Indonesia, pikir Dave dalam hati, menenangkan diri.
"Baik Yah, aku usahakan akan datang sebelum pesta ulang tahun perkawinan emas ayah dan ibu. Berarti aku memiliki waktu 6 bulan dari sekarang untuk mencari Annisa ke Indonesia. Dan akan kembali kemari sebelum malam tahun baru."
Ayahnya tersenyum lega.
"Bagus kalau begitu Nak. Kita sama-sama setuju dengan hal itu berarti. Oh ya, satu lagi yang perlu kamu ingat selama kamu di Indonesia. Kamu harus selalu berhati-hati di sana, walaupun Nico akan selalu berada di dekatmu untuk menjagamu, namun kamu harus tetap menjaga identitas dirimu dengan sangat rahasia. Jangan sampai ada orang yang tahu mengenai keberadaan dirimu di sana, siapa kamu sebenarnya, dan hal-hal penting lainnya."
"Meskipun kamu nun jauh di sana, kami tetap kuatir kelompok Le Coyote akan mendapatkan kesempatan yang cukup besar untuk mencelakaimu dan kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu dari sini. Camkan baik-baik perkataan Ayah ini Nak."
Dave menganggukkan kepalanya. Menatap mata coklat ayahnya dengan mantap, mencoba meyakinkan ayahnya dengan kesungguhan ucapannya.
"Baik Yah. Akan selalu kuingat hal tersebut dan aku akan tetap waspada di mana pun aku berada. Ayah tak perlu kuatir. Aku bisa menjaga diriku dengan baik karena aku adalah seorang Moreno. Keturunan El Lobo yang sangat terkenal keteguhan dan kepiawaiannya. Bukan begitu, Yah ?"
Edward tersenyum mengiyakan.
"Ayah senang mendengarnya Dave. Jangan lupa kembali sebelum pesta perayaan nanti. Ada banyak hal-hal yang perlu kita persiapkan pada saat kamu kembali. Semoga berhasil dengan misi pencarianmu Nak."
Edward mengusap kepala anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia merasa beruntung memiliki anak seperti Dave.