webnovel

First Touch

Jantung Tony semakin berdegup kencang ketika seseorang menyatakan bahwa mobil itu menabrak seorang gadis kecil. Tony terus berusaha menembus kerumunan orang-orang disekitar tempat kejadian itu. Ia juga menyuruh salah seorang untuk menghubungi mobil ambulan.

Lalu, Tony melihat gadis kecil itu tengkurap di depan mobil itu dengan kepalanya yang berlumuran darah. Ia mulai panik, hembusan nafasnya tidak beraturan. Perlahan ia mendekati gadis kecil yang sudah tak berdaya itu untuk memastikan.

Seiring Tony melangkah mendekat pada gadis itu, ia melihat Anastasia yang sedang melihat peristiwa itu dibalik pagar rumahnya.

Tony menghembuskan nafas lega. Sebelumnya ia memang berharap bukan Anastasia yang mengalami kecelakaan itu.

Beberapa saat kemudian, mobil ambulan serta polisi pun datang untuk memeriksa tempat kejadian perkara.

"Aku kira gadis kecil itu dirimu. Aku sempat khawatir." ujar Tony yang sedang bersandar di pagar rumah Anastasia.

"Aku ingat apa yang Tony katakan padaku," balas Anastasia yang juga bersandar di pagar rumahnya.

"Apa?"

"Hati-hati,"

"Dan kau menurutinya, gadis cerdas. Christine salah menilaimu hingga menyebutmu autis." Tony sedikit kesal karena mengingat ucapan ibunda Anastasia.

"Memangnya autis itu apa?" tanya Anastasia polos.

"Cacat mental, seperti anak itu memiliki dunianya sendiri, berbuat semaunya, tanpa memikirkan akibatnya. Aku sengaja memberitahumu karena aku tidak terima dia menyebutmu seperti itu." jawab Tony.

"Kalau aku sudah terbiasa dengan kata-katanya," perkataan dari Anastasia ini membuat Tony menghela nafas.

"Apa dia pernah berbuat kekerasan padamu?" tanya Tony kemudian.

"Sering, ketika aku masih berusia 5 tahun, tapi aku mencoba menahan rasa sakit itu, karena aku tahu, mungkin ibuku hanya terpukul atas kematian ayah,"

"Tapi bukan seperti itu caranya!" balas Tony dengan nada keras.

Anastasia terkejut dan terdiam.

"Maaf, Ana, aku terbawa emosi." ucap Tony menyesal.

"Tidak masalah, aku tahu Tony tidak suka dengan ibuku, bukan denganku." Ungkapan Anastasia sedikit menenangkannya.

"Tapi, mengapa Tony peduli padaku? Sampai sekarang? Padahal orang lain kebanyakan tidak peduli dengan anak kecil sepertiku, termasuk ibuku,"

"Dulu aku punya seorang adik perempuan seusiamu, dia memiliki rambut yang sama sepertimu, coklat dan panjang sepinggang," jelas Tony.

"Benarkah? Mungkin suatu saat Tony bisa mengajaknya kemari dan bermain bersamaku," kata Anastasia dengan senyum sumringah.

"Ya, andai saja," Air mata Tony menetes saat mengatakannya.

"Tony? Ada apa?" tanya Anastasia saat tony tak mampu lagi membendung air matanya.

"Dia sudah meninggal 2 tahun yang lalu, karena penyakit tifus." jawab Tony sambil menangis.

Anastasia tidak bisa berkata apa-apa setelah itu, selain mencoba menenangkan Tony di balik pagar rumah yang membatasi mereka berdua. Ia membelai pundaknya dengan perlahan dan lembut.

"Namanya Cassie," sambil mengusap air matanya.

"Nama yang bagus," balas Anastasia.

"Dia juga tidak mudah tersenyum, sama sepertimu," ucap Tony tersenyum meski air matanya masih terus mengalir.

"Benarkah? Sebenarnya aku selalu tersenyum,"

"Oh ya?"

"Ya, saat ibuku pergi, saat ada Tony disini,"

Tony hanya membalasnya dengan senyuman. Anastasia pun demikian. Kemudian Tony melihat seorang penjual hotdog keliling yang lewat.

"Ana? Apa kau sudah sarapan?"

"Sudah, aku memasak sendiri tadi,"

Tony memanggil penjual hot dog itu, lalu membelinya 2 buah.

"Ini untukmu." Tony memberikannya satu.

"Aku sudah sarapan, Tony,"

"Anggap saja ini hadiah untukmu, karena kau bisa memasak sendiri," ujar Tony dengan senyum.

Mereka berdua pun menikmati hotdog-nya masing-masing sambil melanjutkan perbincangan mereka.

"Ibumu kemana?" tanya Tony.

"Jalan-jalan,"

"Dengan pria itu? Mereka seenaknya jalan-jalan dan tidak mengajakmu?"

"Aku memang tidak mau ikut, aku pura-pura tidur saat mereka berangkat." jawab Anastasia sambil mencolek saus mayo di hotdognya.

"Mengapa begitu?" tanya Tony penasaran.

"Karena ibuku bersama dengan Jonathan,"

"Tampaknya kau tidak suka dengan Jonathan." menyantap habis hotdog-nya.

"Aku tidak tahu,"

Lalu Anastasia melihat sisa saus mayo di sekitaran bibir Tony.

"Tony?" menunjukkan bawah bibirnya.

"Apa?" Tony bingung.

Kemudian Anastasia mengusap perlahan saus mayo itu dengan jemari kecilnya.

"Oh, itu? Terima kasih, Ana." sahut Tony setelahnya.

"Andai saja aku bisa mengajak Tony masuk ke rumahku," ujar Anastasia murung.

"Jangan, aku tidak ingin ibumu marah, lebih baik seperti ini saja. Tapi jika ibumu atau Jonathan menyakitimu, aku akan melaporkannya ke polisi,"

"Apa ibuku pernah marah pada Tony?" tanya Anastasia cemas.

"Tidak, tidak pernah," jawab Tony.

Namun Anastasia tahu jika Tony menyembunyikan sesuatu darinya jika ia lihat dari raut wajah Tony yang penuh dengan keraguan saat menjawabnya.

"Baiklah, Ana, aku pamit dulu ya, sampai bertemu lagi."

"Da da, Tony, hati-hati di jalan."

Tony mengangguk, kemudian melanjutkan aktifitasnya.

***

Saat makan malam bersama, Jonathan membicarakan sesuatu tentang sekolah Anastasia. Jonathan telah mendaftarkannya ke sekolah yang berstandar internasional.

Namun Anastasia masih terlihat ragu karena tidak ada respon apapun darinya soal sekolah itu.

"Ana? Mulai besok kau sudah bisa masuk ke sekolah. Untuk perlengkapan sekolah sudah aku siapkan di kamarmu." jelas Jonathan.

"Termasuk seragam sekolahmu juga," Lanjut Christine.

"Jadi, aku harap kau sudah siap untuk sekolah besok." Jonathan tersenyum padanya, sementara Anastasia masih saja diam dalam keraguan.

"Ana? Bilang apa sama ayah?" sahut Christine.

Seketika Anastasia menatap ibunya.

"Dia bukan ayahku, bu."

"Apa kau bilang?!" bentak Christine.

"Christine!" Jonathan membalas gertakannya.

"Sudah lah, tidak apa-apa. Lagipula Ana masih belum mengenalku lebih dekat, dia juga masih anak-anak, jangan terlalu kaku padanya." lanjut Jonathan.

Lalu Anastasia pergi ke kamarnya, meninggalkan makan malamnya yang masih cukup banyak.

"Biar aku yang menanganinya, Christine." Jonathan pun pergi menghampiri Anastasia dengan membawa sepiring makan malamnya.

"Ana?" mengetuk pintu kamarnya.

"Aku membawa makan malammu, mungkin kau bisa menghabiskannya di dalam,"

Anastasia membuka pintu kamarnya, "Aku sudah kenyang."

"Baiklah, aku akan taruh di atas meja lacimu," Jonathan pun memasuki kamar dan melakukan yang ia katakan.

"Mau aku bawakan minum?" tanya Jonathan setelah itu.

"Aku akan mengambilnya sendiri." tegas Anastasia.

"Baiklah," jawab Jonathan pasrah.

Sampai di depan pintu kamarnya, ia berkata,

"Aku tahu, ini pasti sangat sulit bagimu, Ana. Aku disini hanya membantu kesulitan itu. Tidak masalah juga jika kau tidak ingin aku menjadi ayahmu, aku juga tidak punya hak untuk memaksakan kehendakmu itu. Selamat malam, Anastasia." Jonathan pun pergi dari kamarnya.

Anastasia kembali menutup pintu kamarnya. Dan masih memikirkan apa yang Jonathan katakan padanya. Jonathan memang pria yang baik.

Namun satu yang membuatnya sulit menerima kebaikannya. Ia sudah lama melihat Jonathan bersama ibunya dibalik jendela kamar, dan tiba-tiba saja ia datang dan menawarkan kebaikan padanya.

Itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Anastasia. Mengapa tidak sejak dulu? Mengapa baru sekarang?