webnovel

First School

Pagi ini, tepatnya di hari senin, Jonathan mengantar Anastasia ke sekolah dengan mobilnya. Selama di perjalanan Anastasia hanya terdiam, mengarahkan pandangan ke luar jendela mobil.

"Ana?" sapa lembut Jonathan.

Anastasia menoleh.

"Apa kau gugup?"

Anastasia menggelengkan kepalanya.

"Aku juga pernah merasakannya, Ana. Saat-saat pertama ke sekolah memang menakutkan. Tapi aku yakin, kau bisa melewatinya."

Anastasia tidak menghiraukannya dan mengembalikan pandangannya ke jendela mobil.

Beberapa menit kemudian, sampailah mereka berdua di sekolah. Jonathan menuntun Anastasia ke ruang guru. Ia juga memperkenalkannya dengan salah satu guru perempuan yang juga teman sekolah Jonathan dahulu.

"Tidak perlu sungkan disini, Ana. Jika kau membutuhkan sesuatu di sekolah, kau bisa temui ibu Morgan disini, ya?" Anastasia mengangguk pelan.

"Ya sudah, kalau begitu aku pamit dulu ya, baik-baik disini ya, nanti aku menjemputmu pukul 10,"

Setelah Jonathan meninggalkannya di ruang guru, Morgan mengajaknya masuk ke ruang kelas.

Situasi ruang kelas 1 SD yang cukup ramai akan celotehan anak-anak seusianya membuat Morgan hampir kesulitan menenangkan suasana disana.

"Anak-anak! Mohon tenang sebentar," sahut Morgan yang seketika membuat semua muridnya diam.

"Disini ibu akan memperkenalkan kalian seorang teman baru,"

"Ana, perkenalkan dirimu," bisik Morgan pada Anastasia.

Anastasia mengambil selangkah ke depan dari Morgan berdiri.

"Halo, teman-teman, namaku Anastasia Amber," ujarnya lembut.

"Halo, Anastasia!" sambut seluruh murid di kelasnya.

Kemudian Morgan menyuruhnya untuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Beberapa bangku sekolah sudah terpenuhi dua anak, ada satu tempat duduk yang masih kosong di sebelah anak laki-laki gemuk, namun ia menghalanginya, seolah tak ingin duduk sebangku dengannya.

"Anastasia? Duduklah disini bersamaku," sahut gadis seusianya tersenyum.

Anastasia membalas senyumannya lalu menempati tempat duduk yang gadis itu persembahkan.

"Namaku Freya," ucap gadis yang murah senyum itu yang kini duduk sebangku dengannya.

"Ana, senang berkenalan denganmu, Freya," turut membalas senyumannya.

Saat waktu istirahat tiba, mereka berdua duduk bersama di tepi lapangan bola sembari menikmati bekal masing-masing. Mereka saling bertukar cerita, canda tawa, semua hal itu membuat mereka semakin akrab satu sama lain.

Sampai anak laki-laki gemuk beserta 4 temannya itu datang menghampiri mereka.

"Hei Freya! Kau berteman dengan anak baru itu?!"

"Ya, kenapa?" tanya Freya heran.

"Bahkan tersenyum saja dia tidak bisa," anak itu pun menertawakannya, diikuti oleh teman-temannya.

"Jangan dengarkan mereka, Ana," ujar Freya setelah anak-anak itu pergi.

"Tenang lah, aku sudah pernah mengalami yang lebih parah dari itu," balas Anastasia.

"Maksudmu?"

"Ibuku seringkali berkata kasar padaku, dan aku baik-baik saja,"

"Apa kau pernah melakukan hal yang mengganggunya?" tanya Freya.

"Tidak pernah, aku hanya bermain dengan kupu-kupu di halaman rumahku, apa menurutmu itu menganggunya?"

"Aku rasa tidak, bagaimana kalau kita ke taman sekolah? Disana banyak sekali kupu-kupu, pasti kau suka," Freya pun mengajaknya ke taman sekolah.

Freya sangat senang melihat Anastasia tersenyum sumringah saat bermain bersamanya disana. Mereka berdua berlari kesana kemari mengitari taman itu.

"Mengapa kau suka kupu-kupu, Ana?" tanya Freya ketika mereka berdua istirahat sejenak di bawah pohon jambu.

"Mereka mahkluk yang paling indah, selain itu, aku juga ingin sepertinya, terbang tinggi, bebas," jawab Anastasia sambil memandangi kupu-kupu yang berterbangan di sekitaran taman.

Saat pulang sekolah, Freya menghampiri Anastasia yang sedang menunggu jemputan Jonathan di ruang guru.

"Ana, aku pulang ya, sampai bertemu besok," melambaikan tangannya dengan senyuman yang tak pernah terlepas darinya.

"Hati-hati, Freya," membalas senyumannya.

Freya mengangguk lalu pergi.

"Wah, sepertinya Ana menemukan teman baru hari ini," ujar Morgan menghampirinya.

Anastasia hanya tersenyum.

Saat perjalanan pulang, Jonathan menanyakan sesuatu pada Anastasia.

"Bagaimana sekolahmu, Ana?"

"Baik," singkat Anastasia.

"Apa kau lapar?" tanya Jonathan yang tak mau terima dengan jawaban singkat darinya.

Anastasia menggelengkan kepalanya.

"Baiklah," Jonathan menepikan mobilnya di depan restoran.

Ia mengajaknya ke restoran yang menyediakan menu khusus anak-anak yang berhadiah mainan di setiap pembelian paketnya.

"Bagaimana? Kau suka?" tanya Jonathan sembari menyantap burger kejunya.

Anastasia hanya mengangguk sambil mengutak-atik boneka kecil yang ia peroleh dari pesanan menunya. Jonathan mendengus kecil.

"Ana?"

"Hm?" balas Anastasia.

"Apa yang membuatmu seperti ini sebenarnya?" tanya Jonathan heran ketika Anastasia bersikap dingin padanya.

Lalu Anastasia menatapnya.

"Aku tidak lapar," ujarnya kemudian.

"Makanlah sedikit saja, atau kau tidak suka mainannya? Jika kau tidak suka, aku bisa membelikan mainan yang kau mau di mall sebentar lagi, ya?"

"Aku suka mainannya, tapi aku tidak lapar," jawab Anastasia yang masih bersikap dingin.

"Baiklah, aku bungkuskan untuk makan di rumah ya,"

Anastasia mengangguk.

***

Malam hari pukul 9, saat Jonathan dan Christine menonton televisi di ruanh keluarga

"Christine? Apa yang pernah kau lakukan pada Ana?" tanya Jonathan.

"Maksudmu?" Christine mulai heran.

"Kau tahu, Ana seperti anak yang ketakutan dan minder, Christine. Berbeda dengan teman-temannya di sekolah yang selalu ceria,"

"Dan menurutmu itu salahku? Hah?!" Christine meninggikan nada bicaranya.

"Bukan begitu, bagaimana pun dia adalah anakku setelah aku menikah denganmu,"

"Lalu bagaimana jika kita tidak jadi menikah? Apa kau tetap menganggapnya sebagai anakmu?"

Jonathan mendaratkan tamparan yang begitu keras pada pipi Christine. Perkataannya sungguh membuat Jonathan naik darah.

"Bagaimana bisa aku memiliki seorang istri yang kasar sepertimu?"

Jonathan pun pergi keluar dari rumahnya. Sementara Christine masih menahan rasa sakit di pipinya akibat tamparan keras Jonathan.

Christine pun tak tinggal diam, ia segera menuju ke kamar Anstasia. Menggedor keras pintu kamarnya, membentak namanya berkali-kali.

Setelah Anastasia membuka pintu kamarnya, Christine mendorong tubuh kecil putrinya hingga terjatuh. Lalu memukul punggungnya berkali-kali dengan ujung sapu yang terbuat dari kayu itu.

Anastasia mencoba menahan rasa sakit itu, ia menangis tak bersuara, bahkan tak bicara apapun selain menerima pukulan bertubi-tubi dari ibu kandungnya. Kedua tangan kecilnya menggenggam erat, seolah menahan rasa sakit yang luar biasa di punggungnya.

"Sudah puas kah kau menghancurkan hidupku?! Hah?! Sudah puas kah!?" gerutu Christine yang masih memukulnya.

Pukulan itu akhirnya terhenti ketika isakan Anastasia terdengar olehnya. Lalu ia melempar sapu yang di gunakan sebagai senjatanya itu keluar dari kamarnya. Ia berteriak dengan lantang saat melemparnya.

Anastasia semakin ketakutan terhadap ibunya sendiri. Bukan takut karena pukulan darinya, bukan takut karena gertakan darinya, bukan takut karena siksaan batin darinya. Melainkan takut jika suatu saat nanti sang ibu bisa membunuhnya dengan cara yang sadis.

Gadis kecil yang kini tersungkur lemah itu sangat memahami sikap ibunya yang begitu tempramental dan kasar terhadap siapapun, termasuk dirinya, anak kandungnya sendiri.