webnovel

First Feeling

Suasana di rumah Anastasia semakin membuat Tony gugup saat Anastasia tiba-tiba datang menyapa lalu memeluknya di hadapan sang ibu. Seolah mereka berdua sudah dekat sejak lama.

"Sejak kapan kau kenal dekat dengan Ana?" tanya Christine yang mulai curiga.

"Ehm..."

"Semalam aku memintanya untuk menemaniku, di depan rumah," potong Anastasia ketika Tony akan menjawab.

"Oh, begitu ya?" balas Christine dengan tatapan yang tidak mengenakan.

"Dan kebetulan, saya juga ingin mampir kesini, tapi kata Ana, nyonya Christine sedang pergi," Tony membantu meyakinkannya, meski memang benar kenyataannya.

"Untuk apa kau ingin mampir kesini?" tanya Christine dingin.

"Saya ingin membicarakan sesuatu pada nyonya, tentang pendidikan Ana,"

Christine dan Jonathan mulai heran dengan perkataanya.

"Saya akan membiayai sekolah Ana, jika nyonya Christine mengijinkannya," lanjut Tony.

Bukannya merasa senang setelah mendengar itu semua, Christine justru merasa geram dengan Tony.

"Ana, masuk ke kamarmu." sahut Christine.

Namun Anastasia malah menggenggam erat tangan Tony.

"Ana? Kau dengar ibu, kan? Masuk ke kamar dan biarkan ibu bicara dengannya!" bentak Christine membuat Anastasia takut dan menurutinya.

"Dengar Tony, apa benar itu namamu?" tanya Christine sembari perlahan mendekatinya.

"Antonio, sebenarnya," jawabnya gugup.

"Kita bukanlah keluarga yang miskin dan juga tidak membutuhkan pertolongan dari siapapun. Apalagi sebentar lagi aku akan menikahi saudagar terkaya di kota ini, dengar itu, Antonio?" jelas Christine berbisik sekiranya tidak terdengar oleh Jonathan.

Darisana lah Tony memahami sikapnya. Wanita dengan sikapnya yang jahat, sombong serta penjilat. Sehingga Tony pun dapat mengambil kesimpulan dari Christine.

"Kau sama sekali tidak menyayangi Ana, nyonya Christine," balas Tony berbisik pula.

Christine sangat terkejut mendengar kalimatnya, sekaligus membuat emosinya meledak-ledak.

"Apa kau bilang?!"

"Kau mendengar perkataanku dengan seksama. Permisi." lalu Tony keluar dari rumahnya.

Sementara Anastasia melihatnya pergi dari balik jendela kamarnya. Ia pun tak segan-segan membuka jendela itu dan berteriak.

"Tony!"

Tony menghentikan langkah kakinya lalu menoleh ke arahnya.

"Tony mau kemana?!" tanya Anastasia.

"Maafkan aku, Ana."

Sayangnya ucapan itu tidak terdengar oleh Anastasia karena mereka berdua saling berjauhan. Setelah itu, Tony keluar dari rumahnya.

***

Lewat tengah malam, Anastasia masih belum tidur. Suara berisik dan desahan di balik dinding kamar tengah berhasil mengganggunya. Ia benar-benar tidak tahu suara berisik apa itu.

Namun suara desahan itu tidak asing di telinganya, seperti suara ibunya. Entah apa yang ibunya lakukan dengan pria gemuk itu di kamar, menjadi sebuah pertanyaan besar yang tak terelakan baginya.

Anastasia menutup kepalanya dengan bantal. Kini yang mengganggunya adalah raut wajah Tony sebelum ia pergi. Raut wajah kosong nan dingin yang ia persembahkan saat menatapnya itu juga menjadi pertanyaan besar baginya.

Dilema besar yang ia rasakan malam ini seolah tidak akan berhenti bergelimang di kepalanya.

Tak terasa menjelang pukul 3 pagi. Suara aneh dibalik dinding kamar itu memang berhenti mengganggunya. Namun Tony, selalu Tony yang kini mengganggu pikirannya. Anastasia duduk menepi di ranjang sembari memeluk kedua kakinya.

Entah perasaan macam apa yang gadis kecil ini rasakan pada Tony, pria yang usianya terpaut jauh darinya.

Hingga mentari pagi menjelang, Anastasia masih terjaga dengan posisi yang sama. Beberapa saat kemudian, Christine mengetuk pintu kamarnya.

"Ana? Apa kau sudah bangun?"

Anastasia sengaja tidak menjawabnya, karena pikirannya yang kalang kabut semalaman.

"Christine? Apa Ana sudah bangun?" tanya Jonathan dari belakangnya.

"Aku rasa dia masih tidur, biarkan saja, kita berdua saja yang berangkat," jawab Christine sedikit kesal.

"Apa yang kau bicarakan? Bukannya kita akan mengajaknya jalan-jalan pagi ini?"

"Tapi dia belum bangun, Jon, apa kau akan membatalkan acara kita?"

Akhirnya Jonathan lebih memilih untuk mengalah dengannya, sebab ia sudah tahu sikap keras yang dimiliki Christine selama ini.

"Ya sudah lah, ayo kita berangkat."

Anastasia mendengar semua perbincangan mereka dari balik pintu kamarnya. Dan ia merasa sangat bersyukur ketika mereka sudah pergi.

Seperti biasanya, ia memasak sesuatu untuk sarapan paginya. Perbedaannya, ia hanya membuat sarapan untuk dirinya sendiri.

Setelah sarapan selesai, ia mencoba melepaskan penat dan segalanya dengan bermain di taman yang terletak di halaman rumahnya. Mengejar kupu-kupu seperti yang selalu ia lakukan.

Kupu-kupu adalah salah satu binatang favoritnya, sebab ia selalu berandai-andai, suatu saat nanti ia akan menjadi seperti kupu-kupu itu. Bebas terbang tinggi dengan sayap indahnya, tanpa ada rasa terkekang, tanpa ada rasa sakit, hanya kebebasan.

Lalu ia menemukan satu kupu-kupu dengan corak warna yang berbeda dari lainnya. Perlahan ia mendekati kupu-kupu itu yang tampak sedang sibuk menghisap madu pada salah satu bunga di tamannya.

"Aku mohon, jangan pergi, jangan seperti yang lainnya, hanya datang dan pergi seperti angin." bisik Anastasia ketika telunjuk kecilnya akan mendekati kupu-kupu itu.

Beruntungnya, kupu-kupu itu perlahan hinggap pada telunjuk kecil Anastasia. Seolah mendengar perkataannya.

Ia tersenyum sumringah. Keyakinan dari dalam dirinya pun hadir kembali, bahwa masih ada yang bisa menemaninya di saat-saat sulit seperti ini.

***

Berbeda dengan pagi Tony. Begitu cerah, ditemani seorang wanita yang dicintainya saat ia terjaga. Wanita cantik dengan rambut coklat ikal yang tubuhnya masih tertutup selimut memeluk Tony dari belakang.

"Selamat pagi, calon suami," sapa lembut wanita itu.

Tony tersenyum geli mendengarnya, "Kita baru sebulan bertunangan, kau sudah memanggilku seperti itu?"

"Aku rasa cinta tidak ada aturannya, selama kita terikat," senyum manis dari bibir tipis wanita itu punia persembahkan.

"Kemarilah, Vanesha" satu kecupan manis di bibir pun Tony berikan padanya.

Setelah itu, Tony bersiap-siap untuk lari pagi seperti biasanya.

"Vanesha, ayo ikut aku, kita olah raga bersama," ajak Tony semangat.

"Tidak Tony, aku akan memasak saja untukmu," jawab Vanesha.

"Oh ayolah, sekali ini saja, mumpung kau sedang libur kuliah hari ini," Tony memaksa.

"Tidak, aku disini saja, aku tidak terbiasa olah raga, Tony," ujar Vanesha terkekeh.

Tiba-tiba terdengar suara decitan mobil dan hantaman yang begitu keras diluar.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Vanesha tampak cemas.

Tanpa basa-basi, Tony segera berlari keluar dari rumahnya lalu menghampiri asal muasal dari suara itu. Ia melihat sebuah kecelakaan di hadapannya. Larinya semakin kencang ketika terlihat jelas ternyata mobil itu menabrak seseorang.

Tempat kejadian pun sudah dikerumuni banyak orang. Tony berusaha menembus kerumunan itu dengan perasaan cemas. Ia pun sempat bertanya dengan salah satu orang diantara kerumunan itu.

"Apa yang mereka tabrak, pak?!"

"Gadis kecil, pak!" jawab orang itu.

"Ya Tuhan, hubungi ambulan!" teriak Tony.

Tony kembali menembus kerumunan yang semakin ramai karena kejadian itu, untuk memastikan siapa gadis kecil yang tertabrak mobil itu.