webnovel

Deep Inside

Xavier mengelus luka di bibir bagian kanan perlahan, kemudian dia menggerekkannya sedikit, keningnya mengerut sedikit, lalu kembali seperti semula. Pukulan keras itu dia dapatkan dari salah satu bawahan Brayden Weston. Lelaki itu memiliki tenaga kuda, tetapi sangat temperamen sehingga setelah berhasil mendaratkan kepalan tangan sekeras batu kepadanya, dia tidak memiliki kesempatan kedua untuk menyerangnya lagi.

Cermin di depannya memantulkan bayangan sempurna dari pria itu. hidung mancung dan ramping, rahang yang kokoh juga mata indah warisan darah Asia Timur dari sang ibu tubuhnya tinggi dan berotot hasil bentukan alam tempaan gang yang dia ikuti. Dia bisa membuat wanita mana pun jatuh hati, tetapi dia bukan orang yang peduli. Kata pun irit keluar dari mulutnya kecuali jika benar-benar perlu dan menghina Meggan.

Xavier melepaskan jaket kulit hitam bergambar elang di bagian belakang, menyisakan baju kaos hitam yang melekat mengikuti bentuk tubuhnya karena berkeringat. Dia membasuh wajahnya sebentar lalu kembali ke kamar tempat tawanan mereka berada.

Aurora tertidur lelap di atas kasur milik Megan. Dorongan kuat tiba-tiba saja menyentak hatinya untuk mendekat ke arah tempat tidur berseprai biru dan selimut ungu yang sangat norak.

Xavier menjelajahi wajah Aurora dengan matanya. Gadis itu memiliki wajah sempurna dengan bibir menggoda, sayang diganggu oleh bekas pukulan keras dari Lucien tadi. Tangannya tiba-tiba saja terulur tanpa bisa dia kendalikan menyingkirkan helaian rambut yang jatuh menimpa wajah gadis itu.

"Apa yang kau lakukan? Ada ratusan gadis yang jauh lebih cantik di luar sana!" teriakan nyaring dari kepalanya sendiri membuatnya bergidik dan keluar dari kamar. Di pintu, dia menoleh kembali ke dalam kamar mengamati kondisi kamar bercahaya suram, bercat hitam penuh dengan ornamen barang aneh milik sang pemilik kamar.

Megan tengah berbaring di sofa masih lengkap dengan pakaian tempur serba hitam. Matanya terpejam, mulutnya sibuk mengunyah permen karet sedangkan kedua kakinya terangkat ke udara, masih lengkap dengan sepatu boat hitam.

"Gadis gila!" desis Xavier melihat posisi senapan yang Meggan letakan di belakang kepalanya sendiri. "Kau ingin mati hari ini?" tanya Xavier sembari menyambar senapan laras panjang nan berat itu dari meja, meletakkannya sebagaimana seharusnya.

Bukan hal aneh di tempat ini melihat orang-orang lalu lalang dengan senapan dan peluru yang melilit bak ular, beberapa bahkan menjadikannya aksesoris.

"Tidak," gumam Meggan tanpa membuka mata. "Aku hanya bingung mengapa kamarku yang dipakai untuk si Sleeping Beauty itu."

Xavier mengambil tempat di ruangan kosong di sofa, lalu mendorong kaki Meggan hingga gadis itu bangun dan duduk dengan tampang kesal.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Meggan, dia membentuk balon dari permen karet yang ada dimulutnya. "Aku butuh rokok sekarang."

Xavier mendesis. Tanganya terangkat memukul kepala Meggan. "Kau baru bersumpah tidak menyentuhnya selama satu minggu."

"Ternyata jauh lebih sulit dari dugaanku. Berapa lama Aurora bersama kita?"

"Entah." Bahu Xavier terangkat. "Rayden tidak mengatakan apa-apa."

"Tetapi, aku rasa dia tidak akan bertahan lama bukan? Dia sudah terlalu banyak tahu."

"Entah."

"Hey, apa kepalamu hanya bisa mengatakan 'entah?'" mata Meggan terbuka lebar seakan ingin melompat dari bingkainya.

Lagi-lagi Xavier mengangkat bahu. Bibirnya menyunggingkan senyuman melihat tampang Meggan, meski tubuhnya mungil dengan tinggi seratus enam puluh lima senti, dia salah penembak jitu yang dimiliki komplotan mereka. Dia adalah gadis kesayangan Rayden yang tidak lain adalah ayah kandung Xavier.

"Hey, Jace!" Lucien adik tiri Xavier menghampiri mereka. "Kau memiliki orderan!"

"Aku bebas tugas hari ini." Meggan memiringkan kepalanya, melingkari pergelangan tangan Xavier, kepalnya miring perlahan lalu berbisik, "selamatkan aku dari penjaga neraka itu."

"Kata siapa?" Mata biru gelap Lucien menyala, bibirnya mengerut dan bahu terangkat. Dia tidak suka dibantah.

"Ok!" Meggan mengalah. "Apa yang harus aku antar kali ini?"

"Obat-obatan seperti biasa."

"Seberapa jauh?"

"Kau bisa bertanya langsung pada Ahmier. Merepotkan seperti anak kecil yang baru belajar bicara saja."

Xavier menoleh pada Meggan dia tidak bergerak sama sekali hanya tertawa mengejek saudara tirinya yang berambut panjang sebahu itu.

Meggan selalu begitu, tidak pernah meninggalkan Xavier dan Lucien bersama. Mereka berdua jarang berbicara, sekali berbicara perang akan pecah. Xavier yang tidak suka berargumen dan Lucien yang terlalu banyak bicara.

Lucien memiringkan bibir yang sedikit membuka menampilkan sedikit deretan gigi putih hasil vinnernya. Matanya tajam menatap Xavier sebelum pergi.

"Jika kau butuh tenaga untuk melenyapkannya, aku bersedia dengan biaya satu truk es krim!" Meggan menepuk bahu Xavier lalu berdiri. "Aku pergi. Dan hati-hati, Sleeping Beauty mengundang para pangeran."

Xavier hanya tersenyum kecil. Dia dan Lucien memang sedang bersaing keras sekarang, siapa yang kelak menjadi pengganti Rayden. Dia memang anak sulung. tetapi hanya satu jam lebih tua dari Lucien. Ya, mereka lahir dari Ibu yang berbeda di hari yang sama. Xavier memilih persaingan secara jantan saja, bukanya saling melenyapkan.

Suara kaca bola kaca jatuh terdengar dari kamar Meggan tempat Aurora berada. Xavier berdiri dan dalam berapa langkah, kaki panjangnya membawanya ke kamar.

Aurora benar sudah bangun, kini berdiri di depan pintu memegang sepucuk pistol.

"Meggan sialan, dia ceroboh seperti biasa!" desis Xavier.

Than's for coming

Snow_Ball09creators' thoughts