Anastasia bisa merasakan setidaknya sedikit kebahagiaan dari satu-satu orang yang mengerti dan peduli dengan hidupnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Suara teriakan seseorang tiba-tiba terdengar.
"Astaga! Itu suara siapa?" tanya Bianca dengan panik. "Suaranya terdengar dari lantai bawah. Kita sebaiknya turun dan memeriksanya."
"Iya, Bi." Anastasia menganggukkan kepala dan menyeka sisa air mata yang berada di pipinya.
Mereka berdua bergegas menuruni satu per satu anak tangga dengan langkah bergerumuh. Teriakan tersebut tenyata berasal dari salah satu anak panti. Wajahnya terlihat pucat dan sebuah luka kecil terlihat jelas di bibirnya. Pupil matanya terus membesar dan keringat dingin mengalir tiada henti. Noda darah juga terlukis jelas di baju anak itu.
"Hei Nak, ada apa?" Anastasia mengerutkan alisnya.
Anak itu perlahan memutar kepalanya kea rah Anastasia. "Dorothy… diculik sesuatu." Tangannya terus bergetar tiada henti. "Aku harusnya tidak meninggalkannya." Matanya terlihat kosong dan hampa.
"Nak ada …."
Tidak lama kemudian, terdengar langkah bergerumuh. Suara itu ternyata langkah kaki milik Madam Nigera dan anak-anak yang lainnya. Wajahnya seketika menegang diikuti dengan pupil mata yang membesar ketika melihat kondisi anak itu.
"Jaqline, tenanglah." Madam Nigera langsung merangkul anak itu dan memeluknya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" ucapnya dengan panik.
Bianca hanya menaikkan kedua bahunya ketika mendengar pertanyaan madam Nigera. "Kami juga barusan sampai di sini."
"Kita sebaiknya membawa anak ini ke ruanganku," ucapnya sambil menggendong anak itu. "Bianca, kamu bawa anak-anak yang lain ke kamar mereka."
"Iya, Madam." Bianca dengan cepat berjalan dengan membawa anak-anak yang lainnya.
"Anastasia, kamu ikut ke ruanganku. Aku merasa akan membutuhkan sedikit bantuan."
Anastasia membalas perkataan madam Nigera dengan anggukan. Mereka berdua mempercepat langkah kakinya menuju ke ruangan Nigera. Wajahnya terlihat begitu tegang. Dia sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun dan hanya terus membawa anak itu sampai di ruangannya.
Nigera lalu membaringkan anak itu di atas sofa dan berjalan entah ke mana. Anastasia dengan cepat memegang tangan anak itu dan berusaha untuk membuat anak itu berbicara.
"Gadis kecil, tenanglah. Kamu sudah aman sekarang," ucap Anastasia sambil mengelus rambut anak itu.
"Jaqline, ini minumlah." Madam Nigera muncul dari belakang Anastsia lalu memberikan Jaqline segelas air hangat.
Tangan Jaqline terus gemetar saat menerima gelas itu. Wajahnya masih pucat sama seperti sebelumnya. Dia lalu meneguk air itu beberapa kali hingga dirinya mulai tenang. Madam Nigera lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
"Madam, ketika aku dan Dorothy di perjalanan pulang setelah mengantarkan barang milik Madam Theresa, kami tiba-tiba diserang oleh sesuatu," ucapnya dengan suara terbata-bata.
"Hah? Apa maksud dari perkataanmu Jaq?" Madam Nigera mengerutkan alisnya.
"Apakah kamu mengingat sosok yang menyerang kalian?" tanya Anastasia penasaran.
Jaqline dengan cepat menggelengkan kepala. "Suasananya sangat gelap, aku sama sekali tidak mampu melihat apa pun." Jaqline hanya terus menundukkan kepalanya. "Aku… Aku salah meninggalkan Dorothy sendirian."
Jaqline terus menundukkan kepala. Isak tangis terdengar tidak lama setelahnya. Badannya gemetar tiada henti. Madam Nigera langsung memeluk Jaqline dan berusaha untuk membuatnya tenang.
"Jaqline, tenanglah. Itu semua bukan salahmu." Suara Madam Nigera terdengar begitu lembut. "Ceritakan kepada kami, di mana kamu mengalami kejadian itu."
"Kejadiannya terjadi di sebuah lorong kecil yang tidak jauh dari sini," ucapnya dengan suara bergetar.
"Aku merasa sebaiknya kita ke sana dan memeriksa tempat itu," ucap Madam Nigera sambil menjentikkan jemarinya. "Kita mungkin saja bisa mendapatkan petunjuk terkait Dorothy yang menghilang."
"Iya, Madam aku setuju." Anastasia mengangguk dengan cepat. "Tapi, bagaimana dengan Jaqline?"
Pandangan Anastasia tidak bisa luput dari Jaqline. Anak itu terus saja mengenggam erat tangan madam Nigera. Dia sepertinya tidak ingin melepaskan genggaman tangan miliknya.
"Madam Nigera, aku merasa sebaiknya Anda menjaga Jaqline terlebih dahulu."
"Anastasia, apakah kamu yakin?" Madam Nigera kembali mengerutkan alisnya. "Kita sama sekali tidak tahu apa yang menyerang mereka, bukan?"
"Madam, tenanglah semuanya akan baik-baik saja," ucapnya sambil berjalan meninggalkan ruangan madam Nigera.
Anastasia lalu mengambil sebuah senter kecil yang berada di atas meja yang berdekatan dengan pintu ke luar. Dia perlahan memutar gagang pintu dan merasakan embusan angin yang langsung menyambutnya.
Sekujur tubuhnya mulai gemetar. Dia lalu mengambil sebuah mantel yang tergantung di dekat sana dan berjalan meninggalkan rumah menuju lokasi yang di sampaikan Jaqline kepadanya.
Lampu penerangan di tempat itu tidak berfungsi dengan baik hingga tidak terlihat apa pun di depan Anastasia. Dia mengambil senter dari dalam saku kemudian menjadikannya sebagai penerang. Suasana sangat sepi hingga suara langkah kaki Anastasia bisa terdengar jelas sepanjang dia berjalan. Beberapa tetesan hujan mulai berjatuhan dari langit.
"Jaqline mengatakan di sini dia diserang, tapi sepertinya tidak ada siapa siapa di sini."
Anastasia perlahan melangkah. Pandangannya melihat sekeliling dan sepertinya semuanya normal-normal saja. Namun, terlihat sebuah benda yang tergeletak di atas tanah. Jaraknya hanya beberapa meter dari posisinya. Dia berjalan mendekat dan berusaha melihatnya lebih dekat.
Hmm… sebuah jepit rambut berwarna pink. Aku merasa ini milik Dorothy.
Anastasia memutar jepit rambut itu. Sekilas terlihat bercak darah yang melekat di sana. Sehelai rambut panjang ikut melekat di sana. Dia mengambil jepit rambut itu dan menyimpannya di dalam saku celananya.
Aku merasa ini bisa menjadi ….
Tiba-tiba embusan angin dari belakangnya terasa agak berbeda. Anastasia dengan cepat menengok ke belakang, tetapi tidak terlihat siapa pun. Denyut jantungnya seketika berdetak dengan hebat. Dia merasa ada yang mengawasinya.
"Argh! Aku harus secepatnya mencari keberadaan Dorothy."
Badan Anastasia seketika mematung ketika pantulan cahaya senter menangkap sesuatu. Matanya tertuju pada noda merah yang terletak di lantai. Dia berjalan mendekati noda merah itu dan menyentuh permukaannya.
"Hmm …. ini terlihat seperti noda darah."
Anastasia mengarahkan senternya lebih jauh dan terlihat noda itu ternyata membentuk sebuah jalur. Dia lalu perlahan mengikuti noda itu dengan bantuan cahaya senter. Matanya terus bergerak hingga akhirnya jejak noda itu menghilang.
Dia menengok ke atas dan terlihat sebuah kotak besar kayu tersusun rapi dengan jumlah yang cukup banyak. Anastasia memutuskan untuk berkeliling tempat itu. Namun, dia kembali merasakan embusan angin yang sama dengan sebelumnya.
Dia berusaha untuk tetap tenang dan berjalan seperti biasanya. Pikirannya mulai melayang dan membayangkan kembali novel yang dibacanya. Dia memukul kepalanya berulang kali untuk menenangkan dirinya.
"Anas, ayolah kamu pasti bisa."
Tiba-tiba terdengar bunyi asing dari belakangnya. Anastasia dengan cepat memutar kepalanya dan mengarahkan senter ke sumber itu. Akan tetapi, yang terlihat hanyalah dua pasang kucing hitam yang berjalan dengan santainya.
"Argh! Kucing sialan!"
Anastasia kembali memutar badannya dan berjalan ke depan. Namun, beberapa menit kemudian suara itu kembali terdengar. Dia kembali memutar badannya dan melihat kucing yang sama, tetapi sekarang jumlahnya berkurang dan hanya menyisakan seekor kucing.
"Ok, jika aku mendengar suara yang sama. Aku tidak akan memutar badanku."
Anastasia kembali berjalan dan untuk ketiga kalinya mendengar suara yang sama. Namun, dia menghiraukan suara itu dan terus saja berjalan. Beberapa menit kemudian, cahaya senter perlahan mulai redup. Dia beberapa kali menepuk senter miliknya hingga kembali mengeluarkan cahaya.
Beberapa detik kemudian, dia merasa ada sesuatu yang mengenai permukaan rambutnya. Tangannya berusaha meraba itu dan badannya seketika mematung melihat hal itu.
Astaga, ini kan noda darah!
Matanya perlahan menengok ke atas. Wajah Anastasia seketika pucat. Bibirnya bergetar. Dia berteriak cukup keras melihat bangkai kedua kucing itu tergantung di atas dengan isi perut yang telah hilang.
Anastasia berlari meninggalkan tempat itu. Napasnya terengah-engah. Denyut jantungnya berdetak begitu cepat. Dia sama sekali tidak memperhatikan apa yang di depannya. Matanya terus melirik ke belakang dan kakinya menyentuh permukaan tanah yang tidak rata. Badannya seketika jatuh di tanah dan wajahnya langsung menghantam permukaan tanah.
Auh!
Darah segar mengalir dari hidungnya. Tangannya dengan cepat menyekanya dan berusaha untuk bangkit. Akan tetapi, kakinya terkilir dan tampaknya memerlukan perawatan khusus. Dia tidak bisa berlari dan memutuskan untuk terus berjalan dan meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba dia melihat sepasang mata berwarna merah berada tidak jauh dari posisinya tepat di belakangnya.
Sial! Aku harus cepat ke luar dari sini.
Mata itu terlihat bergerak mendekati ke arahnya. Dia lalu menggerakkan kepalanya dengan cepat dan berusaha mencari tempat persembunyian. Sebuah lorong kecil dengan beberapa kotak berwarna cokelat dan sebuah drum tersusun secara acak di sana.
Ok, aku sebaiknya ke sana saja.
Anastasia memaksa kakinya untuk bergerak. Dia terus berjalan dan terus menahan rasa sakit yang semakin terasa setiap kali kakinya melangkah.
Argh! Anas kamu pasti bisa.
Anastasia terus berjalan hingga sampai di tumpukan kotak itu dan langsung bersembunyi di antaranya. Denyut jantungnya terus berdetak hebat. Keringat dingin perlahan mengalir mengikuti kontur wajahnya. Dia sesekali menelan air liur sambil melihat sosok itu dari celah-celah kotak tempatnya bersembunyi.