Sore itu, sepulang dari kantor Arya pergi menjemput Tania di rumahnya. Tak perlu menunggu waktu lama, sosok gadis yang dinanti akhirnya keluar dengan setelan casual dan simple. Membuat wanita itu tampak manis ditambah make up tipis yang memikat nan natural.
"Ayo," ajak Tania seraya menyunggingkan senyuman terbaiknya. Di sebelah gadis itu berdiri sosok wanita paruh baya, yang tak lain adalah Tante Devi, mama kandungnya.
"Tante titip Tania ya, Arya. Hati-hati bawa mobilnya, dan selamat bersenang-senang." Selarik senyum merekah sempurna di bibir wanita yang tak lain adalah sahabat Naumi tersebut. Ia tampak bahagia melihat anaknya dan anak sahabatnya dekat seperti ini.
Arya tersenyum tipis sambil mengangguk pelan, "Iya, Tante."
"Mama, ih! Emangnya, Tania apaan dititip-titip." Gadis itu protes dengan bibir maju beberapa senti, terlihat lucu nan menggemaskan, tetapi biasa-biasa saja di mata Arya.
Tante Devi hanya tersenyum menanggapi celoteh sang putri, "Udah sana buruan berangkat, kasian Arya nungguin kamu dari tadi. Lagian udah sore juga, ntar pulangnya kemaleman lagi."
"Iya, iya, Ma. Tenang aja," sahut Tania kemudian seraya mencium punggung tangan sang ibu, hal yang sama juga dilakukan oleh Arya. Keduanya berpamitan.
"Pergi dulu, Tante," ucap Arya, sesaat sebelum ia mengayunkan kaki menuju mobilnya yang terparkir, lalu menyusul sosok Tania di belakangnya.
"Hati-hati, ya. Jangan terlalu larut pulangnya," pesan wanita berambut separuh putih itu.
"Iya, Maa!" Tania menjawab dengan suara sedikit berteriak.
Sejurus kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Arya itu berlalu keluar dari halaman rumah besar tersebut. Kendaraan roda empat berwarna hitam mengilap itu bergerak membelah jalanan beraspal yang ada di hadapannya.
Tania duduk dengan tatapan lurus ke depan, sama halnya dengan Arya yang tampak sangat fokus dengan kemudinya.
"Makasih ya, udah mau nurutin permintaan aku." Suara Tania yang terdengar begitu bahagia itu, memecah sunyi di dalam mobil tersebut. Membuat Arya lantas tersenyum samar dan menjawab sekadarnya.
"Bukan masalah," lirih pria itu dengan tatapan yang tak berpindah sedikit pun dari jalan lalu lintas di hadapan.
Tania tak henti menyunggingkan senyum, kentara sekali ia begitu menikmati momen ini. Pergi bersama dengan sosok lelaki yang sebenarnya sudah ia sukai sejak kali pertama berjumpa.
Namun, sebagai seorang wanita, tentu Tania mengerti bahwa tugasnya adalah menunggu, bukan menyatakan langsung. Meski ia sangat ingin, tetapi ia tak mau melakukannya. Apa yang dipikirkan Arya nanti jika melihat Tania yang terlalu menggebu akan dirinya?
Gadis itu hanya bisa menunggu dan bersabar, semuanya butuh proses. Jadi, nikmati saja.
"Itu tadi, kamu dari kantor langsung ke rumah jemput aku?" tanya Tania berbasa-basi, seolah tak ingin membiarkan jeda menghentikan obrolan mereka berdua.
Arya mengangguk, tetap merespon untuk bersikap profesional layaknya sosok manusia yang baik, agar tak meninggalkan kesan jelek bahwa dirinya pernah mengabaikan gadis ini di awal-awal perkenalan mereka.
"Iya, langsung ke rumah kamu."
Tania mengangguk-angguk, "Kalau aku emang nggak terlalu banyak kerjaan sih di kantor tadi, jadi bisa pulang cepat. Sekalian harus siap-siap juga untuk ketemu kamu, biar kamunya nggak terlalu lama nunggu. Tapi, tahunya lama juga." Wanita berambut sebahu itu tertawa kecil.
Arya ikut tertawa hambar, "Ya … namanya juga wanita," celetuknya, sekaligus mencoba berbaur dengan obrolan dan pembahasan kali ini.
Di sisi yang berbeda, dua orang wanita paruh baya sedang mengobrol dengan asyiknya melalui sebuah panggilan video. Tante Devi dan Naumi, keduanya tengah asik membicarakan tentang anak-anak mereka. Raut penuh keceriaan pun terpampang jelas di muka mereka, seolah sebuah misi tengah berjalan dengan lancar.
"Arya memang mengabari aku dari telepon tadi, katanya akan pulang terlambat karena ingin menemani Tania pergi. Aku tidak bertanya lebih banyak, cukup aku iyakan saja, padahal hati ini senang luar biasa." Naumi, dengan wajah bahagia bercerita dengan sahabatnya.
Tante Devi yang sedang bersandar di sofa empuk miliknya lantas tertawa pelan, "Sama, aku juga merasakan seperti itu. Rasanya bahagia sekali saat tahu mereka akan pergi bersama," balas Tante Devi pada sahabatnya.
"Semoga saja mereka berjodoh, dan kita bisa jadi besan," harap Naumi dengan kedua mata berkaca-kaca.
Tante Devi mengangguk cepat, "Ya, aku harap seperti itu. Supaya nanti, kita bisa sama-sama menggendong cucu dan bergantian mengurusnya."
Ibu kandung Arya tampak tersenyum penuh haru, "Aku rasa, kelak kita tidak akan memberikan kesempatan pada ibunya untuk menimang anaknya sendiri. Karena kita berdua pasti akan berebutan."
Kelakar tawa terdengar, meski hanya melalui panggilan video, tapi itu sudah cukup untuk menghadirkan sebuah euphoria di tengah-tengah kedua wanita paruh baya itu.
Harapan-harapan, yang keduanya sudah rangkai dan rapalkan. Untuk kemudian dipinta melalui doa kepada Sang Maha Kuasa, pemilik langit dan bumi. Maha Membolak-balikkan hati.
Mobil berbelok ke sebuah kawasan elite gedung mall yang cukup besar.
Arya memarkirkan kendaraan roda empatnya di basement, setelahnya ia pergi bersama Tania untuk memasuki gedung bertingkat nan luas tersebut.
Sepasang anak manusia itu berjalan beriringan, keduanya tampak menikmati perjalanan, tapi yang terlihat begitu semangat, adalah Tania. Wanita itu tak henti menyunggingkan senyum di bibir kemerahan miliknya. Sedangkan Arya, lelaki itu lebih banyak diam dan sesekali menanggapi celotehan gadis di sampingnya, senyumnya juga terlihat sedikit memaksa.
Mungkin Arya memang belum terbiasa.
"Nonton yuk?" ajak Tania tiba-tiba ketika mereka melewati bioskop. Keduanya menghentikan langkah.
"Nonton film apa?" tanya Arya yang sedikit tertarik, pria itu mengamati beberapa orang yang datang untuk memesan tiket.
Tania tampak berpikir sejenak dengan dahi berkerut halus, "Emm … horror gimana?"
Arya menoleh, ia menatap ekspresi di wajah Tania yang sama sekali tak menunjukkan rasa ragu.
"Horror?" ulang Arya meyakinkan.
Tania mengangguk mengiyakan.
"Kamu yakin?
Tania mengangguk lagi, "Iya, yakin."
Pria berkemeja abu-abu itu mendesah pelan, "Kamu nggak takut nonton film horror?"
Tania memasang wajah bingung, kalau dia takut, mana mungkin berani mengajak orang lain menonton film bergenre mengerikan ini?
Sejurus kemudian, raut bingung itu berganti dengan senyuman lebar. Tania mengulum bibir menahan tawa dengan sebuah dugaan di dalam kepala.
"Jangan-jangan, kamu yang takut ya?" terka gadis itu seraya tertawa pelan.
Arya tersentak dengan mata melebar, ia tersenyum sungkan seraya tertawa hambar. Pria itu menggelengkan kepala dengan salah tingkah.
"E-enggaklah!" elak Arya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
Tania masih terkekeh melihat ekspresi lucu di wajah pria itu, "Yakin?"
"Iya, siapa yang takut? Ayo, buruan pesan tiketnya!" Dengan penuh keberanian Arya bahkan menantang dan menunjukkan bahwa ia tak seperti yang ada di pikiran Tania.
Meskipun masih merasa geli, Tania pun mengikuti langkah lebar pria yang bersamanya tersebut.
"Terima kasih, Mbak." Gadis berambut lurus itu berbalik dan mengajak Arya untuk masuk ke dalam bioskop, setelah dua tiket berhasil dipesannya.
Arya pun mengangguk, meski jauh di dalam sana ada debar yang tiba-tiba menyentak kuat padahal langkah kakinya belum juga masuk ke dalam bioskop, pun film juga belum diputar.
Arya memang takut, setakut itu.