"Tidak semua laki-laki bisa menjadi Ayah, dan tidak semua wanita bisa menjadi Ibu."
****
Sapaan dinginnya udara setelah senja, menerpa pori-pori gadis bernama Caca yang tengah berjalan kaki menyusuri gang kecil untuk mencapai rumahnya yang berada di paling ujung blok. Sembari memeluk erat tas kecil yang menjadi pegangan satu-satunya, Caca gunakan untuk menutupi sebagian kaki jenjangnya yang hanya berbalut rok span mini. Ya- seragam kantornya mewajibkan karyawan baru serempak menggunakan kemeja putih, rok pendek hitam dan high heels setinggi 3 cm.
Sejenak Caca ragu untuk lewat, karena di depannya ada beberapa anak-anak muda yang di dominasi laki-laki tengah nongkrong di pinggir jalan sembari merokok dan minum-minuman beralkohol. Tapi apa boleh buat, hanya ini jalan satu-satunya untuk menuju rumahnya yang tinggal 50 meter jaraknya dari sana.
"Ciuwit! Cewek! Godain kita dong," ledek salah seorang pria.
"Mampir dulu sini Ca," teriak pria lainnya ikut menimpali.
Caca hanya memilih diam tak menimpali ocehan-ocehan itu, ia justru mempercepat langkahnya untuk segera berlalu dari orang-orang itu.
"Dih sombong! Untuk aja lo cantik, kalo jelek udah aku ceburin ke got lo!"
"Hahahaha." Tawa renyah serempak masih bisa di dengar Caca yang sudah menjauh dari sana.
"Assalamualaikum," ucap Caca saat memasuki rumah dengan pintu terbuka.
"Waalaikumsalam."
Terlihat Ibu Caca tengah menerima tamu, satu pria berperawakan agak tua. Dan dua laki-laki lainnya bertubuh kekar dengan penampilan urakan seperti preman.
"Jadi ini anak kamu Suci?" tanya pria paruh baya itu, dengan sejurus kemudian Ibu Caca itu mengangguk pasrah. "Benar ... dia Caca anakku, tuan Malik," imbuhnya.
Tatapan mata yang penuh dengan binar gairah masa puber ke dua itu menatap tubuh Caca dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Malik segera berdiri dan mendekat ke arah Caca yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Mulus, cantik, bening lagi," ujar Malik sembari mengelus pipi Caca yang terlihat sangat menggiurkan.
Plak!
"Jangan sentuh-sentuh saya!" Caca langsung menampar Malik hingga pipi pria itu terasa sedikit kebas.
Dua pengawal Malik sontak langsung menjegal kedua tangan Caca dari belakang.
"Akh! Sakit! Lepaskan tanganku!" Caca memberontak.
"Hey gadis tengik! Ibu kamu itu punya hutang 500 juta kepadaku! Dia tidak bisa membayarnya, dan sebagai gantinya. Aku bisa sepuasnya tidur denganmu selama lima hari! Jadi tidak perlu banyak drama, atau anak buah ku akan menyakiti tubuhmu yang mulus ini." Seringai wajah Malik bak seekor serigala yang siap akan memakan mangsanya.
"Jangan seperti ini Bu, Caca ga mau! Tolong jangan jual Caca sama laki-laki setengah abad ini!" ujar Caca menolak keras, walau tak ada setetes air mata yang jatuh di pipinya. Tapi raut wajah Caca sudah menggambarkan betapa takut dan kecewa yang teramat dalam kepada Ibunya.
Suci hanya diam, beberapa detik kemudian ia berdiri. "Kalau kamu tidak mau aku jual, segera cari uang 500 juta untuk melunasi hutangku. Kalo kamu tidak bisa mendapatkannya, terpaksa aku harus menjual tubuhmu kepada tuan Malik!"
Pada detik ini, Caca baru meneteskan air mata. Hatinya terasa sangat perih, sosok Ibu yang belum lama bisa ia temui ini justru sangat tega menjual anaknya sendiri seperti sebuah barang. Harapan hidup bahagia dan memulai segalanya dari nol kini telah pupus dari harapan Caca.
"Aku mohon jangan jual Caca Bu. Beri Caca waktu satu minggu, Caca akan mencari uang itu untuk melunasi hutang-hutang Ibu." Caca melepaskan kedua tangannya dari preman itu dan bersimpuh di kedua kaki Suci.
Seringai senyum terlihat dari belahan bibir Ibu, begitu juga dengan tuan Malik.
"Baiklah, tidak ada waktu satu minggu. Jika besok malam kamu tidak membawa uang itu ke hadapanku, maka kamu harus bersiap tidur denganku! Ingat itu Caca!" ancam Malik sambil berlalu meninggalkan rumah sederhana yang berada di ujung gang itu.
Brak! Pintu rumah ditutup dengan keras oleh Suci.
"Sini kamu Caca!" Suci segera menyeret tubuh Caca menuju kamar mandi.
Di bawah sinar bulan purnama, bulatan bayang-bayang bulan dengan pancaran sejuta keindahan yang memesona. Kesunyian bahkan beradu dengan agungnya langit tajam yang memanjakan netra yang memandangnya. Berbeda dengan bulan yang terlihat begitu menarik dengan sejuta pesonanya. Seorang gadis bertubuh mungil ini justru sedang meringkuk kesakitan sembari bibirnya terus bergetar mengucapkan beribu-ribu kali kata maaf.
"Maafkan Caca Bu, aaakh! Sakit Bu. Ibu boleh pukul Caca di manapun, asalkan jangan di kepala. Sakit bu! Hari ini Caca ulang tahun Bu, apa Ibu tidak bisa siksa Caca hanya hari ini saja?" Gadis itu terus saja mengerang kesakitan dan berkata maaf. Namun, sang Ibu seolah tak memperdulikannya. Biasanya Caca tidak pernah berbicara sepatah katapun ketika disiksa, tapi kali ini sudah masuk pukul 00.00 WITA yang berarti hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 19 tahun. Tak bolehkah ia memberontak hari ini saja?
"Sudah pintar banyak bicara sekarang kamu ya Caca!" Suci terus saja memukuli bagian lengan, kaki dan kepala Caca. Bahkan karena Caca berani berbicara demikian, Suci tak segan-segan menyemprot tubuh Caca dengan air dingin dari shower dan membiarkan Caca kedinginan dalam pekatnya malam.
Sekitar pukul 04.00 pagi, Caca mengendap-endap dari kamar mandi menuju kamarnya. Ia segera berganti pakaian hangat dan memasukan seragam kerjanya yang baru ke dalam tas. Dengan sangat berhati-hati, akhirnya Caca berhasil pergi dari rumah itu. Sang Ibu tertidur begitu nyenyak, sehingga saat Caca menutup pintu depan. Suci tak terbangun sama sekali di kamarnya.
Caca segera memesan ojek online menuju kos-kosan Raka, gadis itu berharap bisa tidur dengan nyenyak di kos kekasihnya itu walau hanya selama 4 jam. Jarak dari kos Raka ke kantor juga hanya 1km, jadi Caca bisa ikut naik motor bersama Raka untuk berangkat ke kantor bersama.
Lagi-lagi, rencana hanya tinggal rencana. Saat Caca mengetuk pintu kos, betapa terkejutnya ia ketika Raka membuka pintu dengan bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek tipis. Caca sedikit menengok ke dalam, ternyata Raka tengah tidur bersama wanita lain. Caca ingin berteriak dan menghujani pasangan mesum itu dengan beberapa bogem mentah. Tapi niat itu ia urungkan, mengingat saat ini masih terlalu pagi untuk membuat keributan di kos-kosan orang.
Raka masih memegang dan menarik lengan kanan Aeri setelah menuruni puluhan anak tangga dengan celana pendek yang nyaris hanya menutupi bagian aset berharganya saat Caca hendak pergi meninggalkannya begitu saja.
"Lepas!" ujar Caca yang masih diliputi amarah dan kecewa.
"Dengarkan dulu penjelasan aku Ca, aku bisa menjelaskan semuanya kepadamu." Wajah memelas dan terlihat sangat menyedihkan adalah akting yang paling tepat yang harus Raka lakukan kali ini. Berusaha sebisa mungkin meraih simpati Caca untuk memberikannya kesempatan kedua.
"Lepaskan aku, atau aku akan berteriak bahwa kamu akan memperkosa ku!" ancam Caca dengan sorot mata yang tajam mengarah kepada lengannya yang masih digenggam erat oleh Raka.
Raka menghela napas berat dan melepaskan genggaman tangannya. Bagaimanapun upaya yang telah ia lakukan, ia tak mampu memadamkan api kemarahan di hati Caca. Raka menyadari, posisi saat ini sangat tidak menguntungkan baginya. Warga sekitar yang tengah melintas bahkan memandangnya dengan tatapan tajam bak Elang yang siap memangsa targetnya, terlebih saat ini Raka hanya mengenakan celana yang sangat pendek dan ketat. Raka terpaksa membiarkan Caca pergi begitu saja.
Perlahan Caca mengusap tetesan air mata yang membasahi pipinya. Hati dan pikirannya sibuk meratapi pilu dan perihnya diselingkuhi oleh orang yang ia cintai. Jika memang cinta itu salah dan selalu saja menyakitkan, kenapa harus jatuh kepadanya? Sudah jatuh, tertimpa tangga pula!" Batin Caca meronta-ronta, mengutuk nasibnya yang malang.
"Sedang apa kamu di sini?" Pertanyaan seorang pria dengan keringat yang bercucuran di keningnya menyita perhatian Caca seketika.
Bersambung ...