Sarvati akhirnya bisa bernafas lega. Tekanan berat yang menaungi tempat ini akhirnya menghilang. Dia bisa beristirahat sebentar, sekadar menepis lelah atau menarik napas. Namun, ada hal lain yang sangat menganggu.
Si bedebah biru masih memandangi Sarvati dengan…
… entah, Sarvati tidak yakin tatapan macam apa itu. Vayyu tidak memandangi Sarvati dengan tatapan melecehkan. Dahi kadal biru itu mengkerut, matanya menatap tajam seperti sedang berusaha memecahkan kotak misteri, dan dagunya bertumpu pada tangan. Dia seperti sedang memelajari Sarvati.
Dugaan itu membuat Sarvati bergidik ngeri dan mulai melangkah lagi walau sebenarnya dia kelelahan.
"Jadi, kau ini manusia?"
"Diamkan saja, jangan acuhkan," gumam Sarvati pada dirinya sendiri. "Anggap saja cuma ilusi. Dia tidak nyata."
"Atau kau ini nagga pengubah bentuk?"
Sebisa mungkin Sarvati berpura-pura tidak mendengar pertanyaan yang Vayyu. Sial. Andai saja tekanan di tempat ini tidak begitu berat tadi, andai tempat aneh ini tidak seperti terus menyedot energinya, Sarvati tidak perlu sampai terdesak seperti dan terpaksa mengubah bentuk. Itupun dia mengubah bentuk bukan karena ingin mendapatkan tambahan tenaga, tetapi untuk melepaskan diri.
Siapa sangka ternyata sayapnya justru bisa menjadi sumber masalah di pertempuran. Padahal selama ini, menjadi nagga bersayap justru membantunya saat bertarung karena menguasai udara adalah salah satu keunggulan paling ampuh.
Benar, itulah sebab mengapa meteor merah dibentuk. Demi mendapatkan keunggulan di langit, demi mengalahkan ancaman apapun.
"Aku tahu!" Vayyu mendadak muncul di depan Sarvati, dia tampak senang bukan kepalang. Bebedah biru itu menunjuk Sarvati dan langsung menuduh dengan girang, "Kau siluman!"
Cukup. Sarvati tidak bisa menerima lagi ocehan tidak masuk akal. Dia menarik Zhurron yang langsung berkobar hebat, walau hanya untuk sesaat. Energi Sarvati sudah habis, dia malah terhuyung bersaman dengan nyala Zhurron yang langsung padam.
Bukannya membantu, si kadal kriminal malah menyeringai dan bertepuk tangan, "Kau keren!"
Ini pasti ilusi. Semacam halusinasi yang dibuat oleh sisa-sisa kekuatan Rahnuc. Atau mungkin karena Sarvati terlalu lelah. Mustahil rasanya jika Vayyu benar-benar mengucapkan pujian macam tadi.
"Minggir," geram Sarvati.
Di luar dugaan, Vayyu bergeser sambil terus bertepuk tangan. Makin lama itu terdengar seperti ledekan. Sarvati mendengus dan mulai berjalan lagi walau terhuyung.
"Hei, peri membara, tidak ada salahnya beristirahat sejenak, tempat ini sudah aman," kata Vayyu sembari duduk bersila.
Sarvati menghentikan langkah, menoleh ke arah Vayyu, dan melihat nagga biru itu tampak menatap langit dengan damai. Jujur, Sarvati baru menyadari bagaimana langit berangsur cerah. Sinar benderang matahari mulai menembus awan hitam yang berpencar, memberikan berkahnya ke tanah tempat rerumputan kecil mulai tampak hidup di tanah kering ini.
Untuk saat itu, Sarvati merasa Vayyu mungkin ada benarnya. Sama seperti tanah kering yang mendambakan ketenangan walau hanya sesaat setelah tertekan begitu lama, mungkin begitu juga dengan Sarvati.
Dia menghela napas dan berselonjor kaki, menikmati cahaya mentari yang menyentuh lembut wajahnya. Sarvati lupa kapan terakhir kalinya dia memakai bentuk manusia yang lemah ini.
Mereka berdua diam untuk waktu yang cukup lama. Sarvati mulai merasakan bagaimana sinar mentari membantu memulihkan energinya yang hilang. Lucunya, dia merasa begitu damai di saat itu.
Mungkin karena dia sudah lama mendambakan saat-saat seperti ini. Saat dia bisa berhasil menumpas mendung tanpa akhir seperti ini. Tidak hanya dengan memandang putus asa dari jauh tentang kedatangan bencana. Melanjutkan mimpi Rignil, sepertinya kini bukan hanya angan semata.
"Jadi," Vayyu akhirnya bersuara. "Kau benar siluman."
Sarvati tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. Kali ini bukan karena enggan menjawab, tetapi meragukan sebuah pilihan. Kenyataan tentang dirinya selalu mengundang tanda tanya dan hinaan, bahkan di kekaisaran naga. Hanya sedikit yang mau menerimanya. Kalaupun ada, mereka biasnya agak berbeda dengan kebanyakan orang seperti Rignil atau Jendral Kaisser.
Namun, Vayyu…
Sulit rasanya untuk tidak mencurigainya, tetapi di saat bersamaan Sarvati juga merasa kesulitan untuk tidak memercayainya. Bagaimanapun juga Sarvati melihatnya, nyaris tidak ada tindakan Vayyu yang terlihat seperti berniat mencelakai. Selain itu keakraban dia dengan Kaisar Drakko dan Jendral Kaisser membuat Sarvati terheran.
Terlebih lagi Sarvati teringat pernyataan Vayyu sebelum mereka masuk Hutan Talaari mengenai masa lalu Vayyu. Apa mungkin dia juga bisa mengerti?
"Kenapa? Kau merasa dikhianati?"
Vayyu menaikkan bahu sembari menjawab, "Kau ini berbicara dengan makhluk yang menyegel 27 tahun, kalau cuma segitu mana mungkin membuatku merasa terkejut apalagi sampai dikihanati. Menurutku kau menarik saja, kalau kau siluman berarti kau jauh lebih kuat dari dugaanku. Kesempatan kita menghancurkan sisa-sisa kekuatan Rahnuc jadi lebih besar. Kalau begini, sih, kalian tidak memerlukanku."
Sarvati menggeleng. Dia merasa jawaban Vayyu entah mengapa di luar dugaannya walau membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Dia memandang jemarinya sendiri dan menjawab, "Kau berharap terlalu banyak, aku bukan siluman, tetapi bukan juga nagga ataupun manusia."
"Buset! Kau ini separuh manusia separuh nagga?" tanya Vayyu dengan cukup girang. "Ini, sih lebih hebat daripada siluman. Orang tuamu nekat juga ya."
Rasa dongkol langsung merasuki hati Sarvati, dia mendengus bengis pada Vayyu. Seenaknya saja dia mengata-ngatai orang tua Sarvati. Mana dia tahu bagaimana orang tuanya harus bersembunyi dan berpura-pura di hadapan orang-orang lain hanya karena para nagga dan manusia benci satu sama lain. Apa yang Vayyu tahu soal bagaimana mereka berusaha melindungi Sarvati saat dia… terlahir tidak sempurna.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kata Vayyu tanpa menunggu Sarvati menjawab. "Isu terbesar pasangan macam itu adalah pada anak-anak mereka. Kalian memiliki karakteristik dari kedua bangsa. Baik bentuk nagga mu ataupun bentukmu sekarang bukanlah bentuk aslimu, bukan? Dan kurasa itu ada hubungannya dengan senjatamu itu, kalau bukan indukmu yang mengajarimu, ya."
Sial. Baru saja mau marah, Sarvati justru dibuat tertegun dengan tebakan Vayyu. Memang benar, Sarvati tidak sepenuhnya menguasai ilmu merubah bentuk seperti yang dimiliki ibunya, dan memang benar dia bisa merubah bentuknya menjadi manusia atau nagga sepenuhnya setelah menemukan Aggni dan Zhuron. Dari mana dia tahu? Apa ilmu segel membuatnya bisa menjadi jagoan teka-teki dan menebak?
Vayyu mengibas-kibaskan tangannya sembari melanjutkan, "Sudahlah, aku merasa tidak nyaman membicarakan asal usulmu, kau sendiri tidak kelihatan nyaman. Setiap orang memiliki rahasia masing-masing, memiliki keinginan masing-masing. Yang penting aku tidak merasakan niatan buruk, jadi tidak masalah."
"Lagipunya," Vayyu bersedekap dan menyeringai, "Jati dirimu adalah jati dirimu. Ada yang akan suka, ada yang akan membencimu. Tapi bagiku yang paling penting adalah apa kau bertujuan baik dan benar, itu saja. Aku yakin si bedebah Vaardict itu tidak akan sembarangan memilih orang. Tapi..."
Sarvati menatap Vayyu heran, "Tapi?"
".... ada hal yang sangat menggangguku." kata Vayyu. Dia terlihat begitu bimbang, seolah kepalanya sedang berpikir keras, "Kau ini terlahir atau menetas?"
Pertanyaan itu mengguncang benak Sarvati, dia tidak pernah memikirkan hal macam itu. Dia bahkan tidak pernah menanyakannya pada kedua orang tuanya ketika mereka masih ada.
"Tidak tahu?" tanya Vayyu lagi.
"Y-yaaa… m-mana mungkin aku menanyakan hal itu pada orang tuaku?!"
"Dasar bodoh! Itu pertanyaan paling penting, tahu!"
"Kau memanggilku apa, kriminal?"
"Bodoh, kau bodoh, apa kau tidak bisa jadi lebih pintar setelah berlatih di bawah arahan si muka licik Vaardict itu?"
Sarvati berdiri dengan berang, Aggi dan Zhurron menyala hebat, "Lancat mulumut, atas nama Kaisar Drakko kupancung kau sekarang!"
Namun, sebelum dia sempat menerjang, terdengar raungan petir menggelegar memenuhi langit terang. Daratan berguncang hebat bersama gemuruh keras. Dari arah kanan terlihat deburan debu. Sesuatu datang ke arah mereka dengan sangat cepat.
Vayyu tidak terlihat siaga sama sekali, dia justru menyeringai senang. "Hooo…," desisnya sinis. "Di situ kau rupanya!" raungnya sambil melesat cepat ke asal gemuruh dan guntur.