webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Andere
Zu wenig Bewertungen
63 Chs

UF2568KM || 57

Rein menutup laptopnya setelah ia merasa bosan dengan drama yang ia tonton. Diliriknya jam dinding itu yang telah menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Besok gak ada kelas, nih. Keknya enak aja gitu kalo misalnya malam ini gadang. Tapi, ngapain aja gitu? Gak seru anjir sendirian, gue juga bingung mau ngapain. Semuanya kek serba ngebosinin."

Gadis itu menelisik ke setiap penjuru kamarnya yang terlihat rapi. Rasanya malam ini begitu dingin, suasananya yang begitu sepi amat sangat terasa. Entahlah, mungkin keluarganya telah menikmati waktu istirahatnya.

"Gue kangen sama Haris, tapi gue juga kesel sama dia, mana sampe sekarang dia belum ada ngehubungin lagi. Susah ya pacaran sama dia. Kapan si gue ngerasain kenikmatan yang sesungguhnya selama berhubungan sama dia. Dulu pas dia masih ada di sini, kita sering berantem. Sekarang kita jauhan, kerjanya ngebabanin perasaan terus. Lama-lama gue capek juga kalo misalnya harus gini terus. Walau jauh, gue juga butuh perhatian dia, gue juga butuh waktu dia. Gak papa cuma ngobrol bentar, asal jangan ada orang lain yang bikin kita berhenti komunikasi."

Rein menarik selimutnya ketika ia mulai merasa kedinginan. Biarkan saat ini ia mengeluarkan keluh kesahnya untuk didengar oleh sang malam. Rein menyadari itu, Rein tahu dan ia merasa jika rasa cemburunya lebih tinggi di atas segalanya. Ia tak masalah jika misalnya Haris hanya bisa mengabarinya satu minggu sekali, ia akan mengerti tentang hal itu. Tapi, masalahnya, ada seseorang yang lain di sana yang sialnya selalu membuat Rein merasa tak tenang.

Percaya pada Haris memanglah keinginannya. Tapi, ketika ia melihat Haris selalu menuruti apa yang diinginkan oleh gadis itu, rasa percaya itu seketika luruh. Haris selalu meninggalkannya tanpa kata. Ia meninggalkan ponselnya yang padahal masih terhubung dengan Rein. Sengaja atau tidak, lupa atau bukan, Rein tidak mengetahui hal itu. Tapi yang jelas, Rein kecewa dengannya.

Ting!

Suara notifikasi ponselnya seketika membuyarkan lamunannya. Rein mengira jika itu adalah notifikasi dari Haris, namun kenyataannya bukan. Itu bukan dari Haris, melainkan dari Sheril.

Rein membuka sebuah pesan yang masuk padanya. Ia pun mulai berbalas chat dengan Sheril hingga pada akhirnya ia meletakkan benda pipih itu dan pergi untuk bersiap-siap. Sheril mengajaknya untuk bertemu malam ini.

Rein tidak terlalu memikirkan gayanya saat ini. Sederhana saja karena ini sudah malam, orang-orang sudah terlalu lelah untuk memerhatikan juga mengkritik orang lain.

Setelah selesai dengan kegiatannya itu, Rein pun meninggalkan rumahnya tanpa meminta izin maupun berpamitan pada siapapun. Ia tahu, mereka semua telah terlelap dan ia tidak tega untuk membangunkan.

Rein sedikit mengaitkan kembali kunci gerbang rumahnya. Tapi, saat ia berbalik, tiba-tiba saja ada Barra di belakangnya dengan sebuah kantong plastik di tangannya.

"Mau ke mana malam-malam gini? Sendiri?" Tanyanya.

"Gue mau ketemu sama Sheril."

"Gue anterin."

"Gak usah," cegahnya. Barra yang saat itu hendak melangkahkan kakinya pun seketika harus tertahan.

"Iya gak usah, Rein. Gak usah nolak. Lo tunggu sini, gue ambil motor dulu."

Pada akhirnya Barra pun tidak bisa ia tolak lagi. Ia pun membiarkan Barra pergi ke rumahnya untuk mengambil motor miliknya.

Tidak memakan waktu yang cukup lama, setelah tiga menit berlalu Barra pun kembali datang menghampirinya.

Rein pun segera naik dan mengatakan ke mana mereka harus pergi untuk bertemu dengan Sheril.

"Lo gimana sama Haris?"

"Biasa," jawab Rein seadanya. Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara mereka hingga mereka sampai di tempat tujuan.

"Lo mau ikut gabung?" Tanya Rein pada Barra.

"Gak, deh. Gue tunggu sini aja."

"Takutnya lama entar."

"Selama apapun lo, gue tungguin."

"Ya udah. Lo kalo mau masuk, masuk aja."

Rein pun segera memasuki sebuah kafe yang mana merupakan tempat yang telah disepakati oleh mereka—Rein dan Sheril—untuk bertemu.

"Rein!" Gadis itu menoleh tatkala namanya dipanggil. Ia melihat Sheril tengah terduduk di salah satu kursi pengunjung. Dengan segera ia pun menghampirinya.

"Sorry ya, gue lama."

"Santai aja, gue juga baru nyampe, kok. Pesen aja dulu, yu!"

Rein menyetujui itu. Sheril pun memanggil seorang pelayan.

"Lo mau apa?" Tanya Sheril sembari ia melihat pada daftar menu yang tersedia di kafe tersebut.

"Gue mau Strawberry Milkshake aja, deh."

"Itu doang?" Rein mengangguk mengiyakan. "Ya, udah. Mba, Strawberry Milkshake satu, Chocolate Milkshake satu."

Setelah pelayan itu mendapatkan pesanan, ia pun segera pergi ke belakang untuk membawakannya.

"Gak bersemangat banget keknya. Kenapa si, Rein? Cerita dong ma gue. Masalah kuliah?"

Rein menggeleng pelan. Sejauh ini kuliahnya lancar-lancar saja, tidak ada permasalahan sama sekali. "Terus? Oh iya, Haris gimana?"

Mendengar Rein menghela napasnya. Sheril yakin hubungan mereka sedang tidak baik saat ini. "Kenapa lagi si, Rein? Dari dulu gue perhatiin, sering banget ya kalian kek gitu."

"Gak tau, Sher. Gue capek."

"Capek gimana? Coba lo ceritain masalahnya."

"Terserah kalo misalnya lo mau bilang gue childish atau apa, gue gak peduli. Sher, gue gak bisa lepas dari rasa cemburu gue, pikiran buruk gue, pokoknya semuanya yang mungkin seharusnya gak perlu gue masalahin. Gue ngerasa keadaan hubungan kita ini gak aman. Gue bisa memahami kalo misalnya Haris punya kesibukan sendiri di sana, gue udah gak mau lagi permasalahin soal itu.

Tapi, lo tau gak si sesuatu hal yang bikin gue muak sama semuanya? Selama dia tinggal di sana, keknya ada satu cewek yang selalu nemenin dia, bukan keknya lagi, tapi mungkin iya. Hampir setiap kali kita telponan, dia pasti ada aja ganggu kita. Dia manggil-manggil Haris buat apalah gue gak tau.

Haris pasti milih buat nyamperin dia daripada lanjutin obrolan sama gue. Udah gitu Haris perginya asal pergi aja gak ada pamit atau apa sama gue, HP-nya juga dia tinggal gitu aja. Gue bingung, ini tuh kenapa si sebenernya? Kenapa Haris kek gitu sama gue? Iya tau, mungkin gue di mata dia cuma sebatas cewek yang keras. Tapi, gue juga butuh dia, gue juga butuh perhatian dari dia.

Gak papa dia jarang ngasih kabar, asal jangan ada yang ganggu. Itu udah cukup buat gue. Udah tadinya jarang komunikasi, giliran ada waktu malah ada yang ganggu. Sumpah, gue gak suka. Jadi kek pengen aja gitu nyusul dia ke sana terus liat secantik apa si cewek itu sampe bisa-bisanya ngalihin Haris dari gue."

Sheril tersenyum. Ia memberikan satu lembar tisu pada Rein setelah ia melihat kedua bola mata sahabatnya itu mulai berkaca-kaca.

Selama Rein mengelap air matanya, Sheril mengusap-usap bahu Rein bermaksud untuk menenangkan.

"Lo capek, lo butuh istirahat. Jangan sampe emosi lo ngerusak hubungan kalian. Tetep ada pada kepala dingin ya, Rein. Lo masih sayang sama dia, lo gak mau kalian sampe pisah. Gue tau itu."

"Tapi baik gak si, gue bertahan cuma buat sekedar sayang? Padahal gue udah ngerasa capek ngejalaninnya. Gue bingung."

Perbincangan mereka terhenti ketika minuman pesanan mereka berdua telah siap. "Makasih, Mba," ucap Sheril berterima kasih.

"Turutin apa kata hati lo, Rein. Hati yang sebener-benernya hati. Hati lo yang nyuruh lo bertahan, tapi emosi lo yang hasut hati lo buat nyerah. Coba lo pikirin lagi, udah sejauh mana kalian jalanin hubungan ini? Gak bisa disebut sebentar, Rein, udah lama banget. Sayang kalo berakhir gitu aja. Gue yakin, Haris pasti setia, gue tau dia gimana orangnya."

"Tapi Sher, soal dia yang abai sama gue itu gimana? Yakin dia setia?"

Sheril mengambil napasnya. Ia lupa jika sahabatnya ini cukup keras kepala dan tak mudah percaya.

"Ini dari gue, ini yang gue tahu. Lo gak harus turutin apa yang gue omongin sama lo, lo pilih aja jalan terbaik menurut lo karena lo yang bakal jalanin. Tapi gue harap, lo pikirin lebih mateng lagi, Rein. Jangan sampe lo nyesel di akhir. Gue akui Haris emang salahnya di sebelah situ, jarang ngasih kabar, giliran ada waktu malah kek gitu.

Kalian sama-sama udah dewasa, coba kalian bicarain baik-baik dan saling tanya alasannya apa kalo misalnya kalian berdua atau salah satunya ngelakuin kesalahan. Dan kalo emang udah gak memungkinkan buat bersama, kalian bisa mutusin buat pisah tapi dengan cara yang baik-baik. Satu jalan perpisahan yang baik itu yang sama sekali gak nimbulin rasa benci setelahnya."

Gerimis yang melanda Rein itu semakin deras setelah ia mencerna apa yang dikatakan oleh Sheril padanya. Rein menangis karena ia sudah terlanjur kesal. Ia kesal pada dirinya, ia kesal pada Haris, ia kesal pada hubungan mereka.

Sheril mengusap-usap bahu Rein tatkala ia melihat sahabatnya itu kian merapuh. Entah kapan terakhir kali ia melihat Rein menangis seperti ini. Tapi, rasanya tidak pernah, seperti ini adalah kali pertama Sheril melihatnya.

"Gak papa, nangis aja. Gue harap kalian cepet pulih ya, gue gak tega liat sahabat gue sesakit ini."

•To be Continued•