Raflina tampak cantik dengan balutan gaun merah yang dia kenakan. Dia mengandeng tangan Tama yang masih menggunakan kemeja kantornya. Mereka sudah seperti pasangan pengantin saja.
"Kalian sudah datang, ayo silakan duduk." Ujar Bu Cindy lembut.
"Ma, Aku ke belakang. Mau mandi dulu." Kata Tama yang sambil membau ketiaknya. Bu Cindy hanya mengeleng-gelengkan kepala pelan sambil melihat punggung anaknya yang tengah berjalan ke belakang. Jika ditarik beberapa hari yang lalu, Bu Cindy sempat berselisih paham dengan anaknya tentang garis keturunannya. Sudah puluhan kali atau bahkan sampai ratusan kali mereka berselisih faham. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sikap anaknya yang kadang mudah Panas, dan begitupun sebaliknya. Jadi malam itu, Tama datang ke kamar Bu Cindy untuk meminta maaf. Bu Cindy pun memaafkan Tama dan hubungan mereka kembali membaik seperti semula.
"Raflina, bagaimana keadaan ibu kamu?" tanya Bu Cindy membuka percakapan diantara mereka.
"Baik Bu."
"Haduh, kamu jangan panggil aku Ibu. Panggil saja Mama biar sama seperti Tama. 'kan kamu sebentar lagi akan menjadi menantu Mama." Tukasnya dengan senyum simpul penuh akan pengharapan. Sementara Raflina hanya menanggapi dengan senyum kecil. Sepertinya dia menangkap maksud dari Bu Cindy mengajaknya untuk makan malam.
Tidak berselang lama, Tama muncul dari belakang. Dia tampak segar setelah selesai mandi. wajah putihnya bercahaya. Plus rambut hitam klimisnya semakin menambah ketampanannya.
"Nah, gini 'kan ganteng anak Mama. Sekarang ayo kita mulai makan malamnya."
Mereka bertiga pun mulai mengambil makanan yang sudah Bu Cindy sediakan di atas Meja. Sebenernya, ada pembantu di rumah itu. Tapi hari itu Bu Cindy ingin memasak special untuk calon menantunya. Meja yang semula sunyi sekarang terdengar berisik oleh piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
Di sela makan, mereka terlibat perbincangan yang hangat. Tama menceritakan pengalaman kocaknya ketika menghadapi Komplain klien. Bu Cindy juga mengajak berbicara Raflina sehingga gadis dingin yang tidak banyak berbicara itu pun buka suara tentang pengalamannya bekerja sebagai turis guide.
Di mata Raflina, Bu Cindy adalah tipe ibu yang sangat baik dan lembut. Hal itu yang membuat rasa iri membuncah di hatinya. Dia yakin Bu Cindy membesarkan Tama dengan penuh kasih sayang. Beda dengan dirinya yang sedari kecil sudah dicekoki dendam kesumat oleh Bu Lastri. Makanya dia sangat iri ketika melihat kedekatan Bu Cindy dan Tama.
"Kalian kapan nikah? Ibu tidak sabar untuk menimang cucu." Celetuk Bu Cindy yang membuat Tama tersedak dan batuk-batuk. Cepat-cepat dia meraih gelas dan meminumnya. Dia merusaha menelan makanan yang tersangkut di tenggorokannya.
"Haduh Tama. Kok sampai keselek sih?" ujar wanita setengah baya itu cemas.
"Enggak apa-apa Ma, Tama tadi Cuma kaget aja."
"Emang pertanyaan Mama tadi ngagetin ya?" tanya Bu Cindy tanpa merasa bersalah.
Sekilas Tama melirik ke arah Raflina. Gadis itu hanya menggelangkan kepala. Dia kebingungan untuk menjawab pertanyaan ibunya sendiri. sebuah pertanyaan sederhana tapi perlu mental yang sangat kuat dan komitmen untuk menjawabnya.
"Secepatnya Ma." Sahut Tama pada akhirnya. Tapi jawaban itu sama sekali tidak memuaskan hati ibunya.
"Secepetnya kapan?" Bu Cindy beralih memandang Raflina. "Kapan Raflina?"
Mereka berdua membisu. Bu Cindy hanya tersenyum tingkah polah pasangan muda-mudi itu yang saling pandang, seolah kebingungan untuk menjawab.
"Jangan menunda-nunda niat baik. Kalau memang finansial dan mental telah mencukupi. Kenapa tidak segera melangsungkan pernikahan saja? kalian akan bebas berdua menjadi pasangan resmi. Sekaligus Mama bisa menimang cucu." cerocos Bu Cindy . Tama melirik ke arah Raflina. Dia sangat tidak nyaman melihat kekasihnya itu hanya terdiam. Apalagi ibunya yang sekan mendesak untuk segera melangsungkan pernikahan. Kalau Tama bisa dikatakan lebih dari siap, hanya saja Raflina yang belum mau ke jenjang itu.
Raflina yang semula menunduk pun menegakkan kepalanya. Dia menatap Bu Cindy dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ketebak.
"Saya belum mau menikah Ma. Apalagi sampai sampai mempunyai anak." Tukasnya yang membuat Wanita setengah baya itu terhenyak. Begitupun dengan Tama yang tidak menyangka dengan apa yang dikatakan gadis itu. Sadar atau tidak perkataan Raflina tadi cukup menggores hati Bu Cindy.
"Ma! Mama kenapa?" situasi menjadi genting tatkala Bu Cindy memegang dadanya sambil mengejang-kejang. Tama yang panik segera menghampiri ibunya, berusaha menenangkannya.
"Sayang tolong ambilkan obat Mama di dalam nakas kamarnya!" titah Tama. Gadis itu lantas berdiri dan berjalan menuju kamar ibundanya. Dia membuka satu persatu laci di dalam nakas. Tiba-tiba pandangannya terhenti kepada sebuah kotak hitam di dalam laci itu. Penasaran dia mengambil kotak hitam yang bergembok itu. Sial kenapa harus di gembok sih? batinnya kesal. Dia yang lupa akan tujuan awalnya masuk ke kamar ini pun sibuk mencari kunci.
Senyumnya melebar tatkala menemukan kunci mungil yang terletak di laci paling bawah. Segera dia membuka gembok dengan kunci itu. Lantas membuka kotak itu secara perlahan-lahan. Matanya terbelalak. Dia mengambil beberapa foto itu dan melihatnya satu persatu. Terlihat foto jadul zaman dahulu. Hatinya mencelos sekaligus amarahnya yang mencuat kepermukaan.
***
Bu Cindy dibawa ke ruang ICU. Tampak beberapa tenaga medis langsung menangani pasien itu. sementara Tama dan Raflina menunggu di luar. Tama terlihat sangat kalut.
"Kenapa kamu berbicara seperti itu kepada Mama, hah? Lihat gara-gara kamu Mama kritis sekarang."
"Kok kamu nyalahin aku sih? Apa yang aku katakan itu kan memang benar kok. Kamu tahu sendiri 'kan kalau aku belum mau menikah apalagi sampai mempunyai anak? Daripada terus disudutkan lebih baik terus terang saja." ujarnya lugas.
"Kenapa kamu egois sekali hah? Mamaku itu sakit paru-paru. Hal sekecil apapun yang berpotensi membuatnya terkejut wajib untuk dihindari. Tapi apa yang kamu lakukan? kamu telah membuatnya Kritis gara-gara omonganmu yang enggak pake otak!" tandas Tama yang berhasil menghancurkan hatinya. Selama ini, Tama tidak pernah sekasar ini sampai mengata-ngatainya.
Raflina menatap tajam ke arah Tama. Matanya menghangat dan mulai berair. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk membuat Bu Cindy sampa koma. Tapi dia hanya ingin mengutarakan pendapatnya saja. apa itu salah?
Gadis itu berbalik arah. Dia melangkah menjahui Tama. Tapi teriakan lelaki itu membuatnya berhenti melangkah.
"Pergi sejauh mungkin! Kamu memang wanita pembawa sial!"
Setelah Raflina Pergi, Tama meremas rambutnya frustasi. Belum menjadi istrinya saja, Raflina sudah membuat kesalahan fatal yang tidak bisa termaafkan. Mamanya adalah satu-satunya harta yang dia miliki. Menyakitinya sama saja dengan membunuh perasaan Tama. Selama ini dia sudah cukup bersabar dengan sikap Raflina, tapi kali ini dia tidak bisa mentolerirnya lagi. Amarahnya begitu meluap-luap.