Lily meringkuk di atas jerami. Tubunya sangat sulit beregenerasi di sini. Tempat ini sudah diberikan mantra. Saat pangeran Dimitri menangkapnya hidup-hidup, ia sudah tahu akan mati di tangan para Demons ini. Lily menahan sakit disekujur tubuhnya.
Sosok Dimitri datang mendekat bersama Bastian.
"Di mana bangsamu bersembunyi?" Lily tersenyum sinis. Ia takakan memberitahu, saat mereka diutus untuk membunuh para Elf, mereka sudah bersumpah untuk tetap setia.
"Aku akan membebaskanmu!" Lily tertawa dengan sisa tenanganya. Ia menatap tajam Dimitri.
"Aku lebih memilih mati, dari pada menghianati bangsaku."
Wajah Dimitri mengeras. Matanya berubah merah darah. Sejenak memejam matanya, lalu pergi dari penjara. Jika tidak, ia akan mencekik lilih hingga tewas.
*
Heros dan Tulip berjalan dalam lorong bawah tanah yang gelap, hanya membawa lampu di tangan.
"Apa semua tulisan-tulisan ini?" Tulip bertanya pada Heros, tapi matanya masih menatap sekeliling, kaki mereka masih terus berjalan.
Heros berhenti pada satu titik. Tulip ikut berhenti dan menatap lukisan seorang perempuan cantik, sangat cantik. Tulip pikir perempuan ini seorang bidadari.
"Dia sangat cantik." Guman Tulip pelan. Ia yang seorang perempuan saja merasa kagum, apalagi para pria.
"Apa kau mengenalnya?" Tulip menatap wajah Heros yang masih terus menatap foto ini. Pertama kali masuk ia tak melihat foto ini, mungkin karena tidak memperhatikan.
"Aletta."
Tulip sontak menatap gambar itu. Nama perempuan ini adalah Aletta.
"Siapa dia?" Tulip menatap penasaran.
Heros tersenyum kecil menatap Tulip.
"Ayo kita keluar dari sini. Ini adalah tempat yang tak seharusnya kita masukki."
Tulip merasa aneh, tapi ikut Heros pergi. Heros juga tak bercerita siapa Alleta ini.
"Siapa Alleta?"
Heros membalikkan tubuhnya, menatap Tulip dengan serius.
"Ku harap kau berhenti menyebut nama itu. Tak boleh, nama itu sangat dilarang."
"Jangan pernah memberitahu siapapun tentang ruangan itu, jika kau masih ingin hidup."
Tulip merasakan aurah yang berbeda dari Heros.
Heros pergi begitu saja. Tulip merasa aneh, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Baru kali ini ia lihat Heros memberi tampang serius, seakan memperingati.
Tulip menatap buku di atas meja dengan pandangan sedih, ia bahkan belum mencari tau isi buku itu dari Heros. Ia juga harus berlatih membaca dan menulis.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Tulip menatap pangeran Drew yang baru saja datang dan duduk di hadapannya. Ia merasa tak punya harapan, pangeran Drew tak mungkin mau menerjemahkan buku ini.
"Aku sangat penasaran apa yang sedang kau pikirkan?" Tulip mengerutkan keningnya. Wajah tampan pangeran Drew menatapnya penuh selidik. Selama ini ia selalu tak mengerti, kalimat yang sama pernah ia dengar dari Draco.
"Kau membaca buku tentang Dracula?"
Tulip mengerutkan keningnya, ia rasa kepala ini seperti kelelawar.
"Apa isi buku ini?"
"Bangsa Drakula dan Demon adalah dua saudara yang lahir dari satu Rahim yang sama."
Pangeran Drew menatap serius ke arah Tulip.
"Alceena dulunya adalah satu. Beribu-ribu tahun yang lalu, dua saudara itu berperang untuk memperebutkan kekuasaan, setelah kematian raja dan ratu."
Tulip menatap serius wajah pangeran Drew. Bahkan tanpa membaca buku itu pangeran Drew bercerita.
"Pangeran dengan darah Demons hampir saja terbunuh, tapi ia ditolong oleh seorang manusia. Lukanya diobati."
"Apa kau tahu tentang manusia?" Tulip rasa pangeran Drew bisa membantunya. Pria dengan pakaian perang dan jubah merah ini memang berbeda. Ia tahu sejarah dunia ini.
"Tak ada yang tahu, selain raja pertama negeri ini. Kisah itupun aku baca di buku kuno yang ada padamu."
Tulip mengangguk paham. Artinya merekapun tak tahu jika ia hanya seorang manusia biasa.
"Lalu halaman terakhir buku itu?"
Pangeran Drew menatap Tulip sebentar lalu membuka buku yang ingin ia baca.
"Entahlah, bagian itu hilang, akupun tak tahu. Buku itu di dapat ratu Elisa dari raja demons terdahulu. Sebelum Ratu sekarang."
Tulip paham, hanya ibu Draco yang tahu.Tapi wanita itu telah meninggal lama. Ia tak bisa mendapat informasi apapun.
"Lalu maksudmu, bangsa demons dan drakula adalah musuh?"
Pangeran Drew mengangguk pelan. "500 tahun yang lalu kami berperang lagi, raja mereka telah mati, dan para Traitor bersembunyi."
….
Tulip menelusuri jalan menuju kastil Draco. Pangeran Drew menceritakan semuanya. Ia tak tahu, jika masalah istana ini sangat pelik.
"Kaki kecilmu sangat lambat, dan kau memang keras kepala."
Tulip mendongak menatap Draco yang sedang bersandar di tiang gapura.
"Apa kau sedang menungguku?" Tulip menatap Draco dengan wajah polos tak berdosa. Draco melangkah mendekat. Tulip tersenyum lebar. Ia benar-benar melupakan amanat pria itu, agar ia tak pergi lagi ke perpustakaan. Tulip memaksakan tawanya.
Draco menggunakan sihirnya, agar Tulip tak bergerak.
"Agacia, kau benar-benar ingin dikurung seperti binatang."
Tulip mendesah malas. Ia tidak bisa hanya berdiam diri di kastil Draco. Sangat membosankan.
"Aku sangat bosan, kau pikir aku binatang? Aku juga ingin kemana aku suka."
Tulip memaki Draco dalam hatinya. Wajah pria itu begitu dekat dengan wajahnya. Jika ia mengangkat wajahnya mungkin mereka akan berciuman.
"Jika kau mau aku kurung seperti itu, maka baiklah."
"Tidak." Tulip dengan cepat mengelak. Pria ini selalu menepati janjinya.
"Apa kau bisa membuatkan ku makanan?"
Tulip merasa kesal ketika tubuhnya sudah bisa bergerak, dan mereka berada di dalam kastil. Ia pernah membuat makanan, dan pria itu tak menyentuh sama sekali. Tapi demi keselamatannya, Tulip tetap ke dapur dan masak. Ia juga sangat lapar.
Tulip memanggang daging ayam dengan bumbu-bumbu rempah-rempah yang ada.
Draco menatap punggung Tulip yang sedang memasak. Sesekali Tulip terbatuk karena asap.
Tulip berbalik menatap Draco yang juga menatapnya datar.
"Apakah kau senang melihat aku berteman dengan asap?" Tulip menyatuhkan rahangnya. Ia benar-benar kesal, tak ada pelayan sama sekali. Draco benar-benar menjadikannya pembantu. Sedangkan para puteri lainnya sudah pulang. Hanya Vilia yang tak pulang. Mengingat Vilia, Tulip makin kesal, Draco dan perempuan itu pernah berciuman panas, sedangkan sekarang ia menjadi istri pria bajingan ini.
"Bajingan." Tulip mengertakan giginya kesal.
"Siapa yang bajingan?"
"Anjing peliharaanku dulu." Tulip masa bodoh. Ia kembali masak nasi dengan tunggu. Ayam bakar di tungku sebelah terlihat hampir matang.
Tulip menatap sekeliling. Ia tak menemukan cabai.
"Apa kau suka makanan pedas?"
Draco mengerutkan keningnya bingung. Ia hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.Tulip masak dengan wajah kesal. Draco benar-benar menyebalkan.
Tulip menatap tomat dan cabai. Ternyata dunia ini juga memiliki tanaman-tanaman ini. Tapi ia tak pernah melihat makanan itu di atas meja hidangan waktu makan malam. Semuanya adalah daging, hingga membuatnya mual.
Tulip menyediakan semua masakannya. Draco mengerutkan keningnya dalam.
"Makanan apa ini?"
"Nasi, ayam bakar dan sambal."
"Aku tak pernah memakan ini." Tulip makin mengerutkan keningnya.
"Jika tak makan lalu, untuk apa kau sediakan semua bahan-bahan itu?"
"Aku yang menyuruh para pelayan menyediakan semuanya. Tapi aku tak pernah melihat ada yang masak makanan seperti ini."
Tulip memanyunkan bibirnya. Jika ia menjelaskan lebih lanjut, maka Draco akan curiga padanya.
"Makanlah, ku yakin kau pasti suka."
Draco mengikuti cara makan Tulip. Saat Tulip mencolek daging pada sambal lalu memakannya.
Tulip tersenyum kecil saat Draco makan dengan lahap.
"Bagaimana enakkan?" Tulip mencoba bisa akrab dengan Draco.
"Sangat buruk."
Draco pergi begitu saja. Tulip melempar sendoknya. Ia benar-benar merasa kesal. Pria itu tak pernah berbicara baik padanya.