webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · realistisch
Zu wenig Bewertungen
223 Chs

Panas

Seorang gadis sepantaran dengan si pemuda juga sedang berbaring dan mendonorkan darahnya. Terpisah satu ranjang di kiri pemuda tersebut.

Sang gadis mendengar percakapan pemuda itu dengan sang perawat. Satu garis lengkung merebak di wajahnya yang indah, plus, dua lesung pipit, memandangi Rezqi secara diam-diam.

Rezqi telah menyelesaikan prosesi pemindahan 'sebagian kecil' darah berharganya, ia kini sedang melangkah menuruni undakan anak tangga, membelakangi para pendonor lainnya yang masih menunggu giliran untuk mereka.

Sang pemuda terus melangkah meninggalkan rumah sakit tempat di mana orang-orang masih berkumpul dengan segala kepedulian mereka.

Seorang pria tua berpakaian ala Pesilat Betawi mengawasi langkah pemuda tersebut, hingga pemuda itu menjauh.

"Rezqi?" bisik pria tua seorang diri.

***

"Ppuahh…" Babeh Djaja – lima puluh lima tahun, Betawi asli – meludah, sepasang mata melotot, kopi yang ia seruput ternyata sangat panas. Ia meletakkan gelas yang masih mengepulkan uap ke atas tatakan di atas meja. "Ehh, Rez, lu mo bunuh gue, hah?"

Rezqi mengulum senyum menyembunyikan tawanya. "Laah, kok mau ngebunuh si Beh?"

"Kebangetan lu, kualat ngerjain orang tua, tauk?" sungut Babeh Djaja sambil mendudukkan diri di bangku kayu panjang, mengangkat satu kaki. "Elu, elu pada ngetawain gue, hah?" kembali ia menghardik, pada tamu-tamu warung kopi yang melihat kelucuan barusan.

"Gak gitu juga kali, Beh," ujar Rezqi coba membela para tamu warung kopi.

Rezqi melangkah ke arah meja di mana Babeh Djaja duduk, dan membersihkan tumpahan kopi di atas meja dengan kain lap kusam di tangannya.

"Mangkanya, Beh," dan si pemuda tersebut berusaha menyembunyikan tawanya. "Jangan main seruput gitu aja, ademin dulu napa? Tiup-tiup gitu," Rezqi tersenyum demi si orang tua tidak naik darah lebih jauh lagi.

"Iye, gue juga tau!" dengus Babeh Djaja sambil meraba bibirnya yang kelihatan memerah.

Rezqi menatap dalam pada Babeh Djaja sembari bertolak pinggang, seolah berkata; Nah, kalau sudah tahu, kenapa langsung diminum tadi, hayo?

"Gue keliwat haus."

Babeh Djaja kembali meraih gelas kopinya. Gelas ia taruh lagi di atas meja, meraih tatakan yang berupa piring kecil bundar itu, dan membersihkannya. Dan lantas menuangkan cairan kopi panas ke atas tatakan. Mengangkat hati-hati tatakan tersebut. Sepintas, ia menghirup aroma kopi yang menyegarkan di pagi hari itu.

"Hemm—aahh…" Babeh Djaja terkekeh sendiri. "Begini lebih baek."

Rezqi tertawa halus menanggapi ulah Babeh Djaja, dan kemudian meninggalkan pria tua tersebut dengan kopinya. Seorang pengunjung baru saja datang, dan Rezqi tentu saja harus melayani pengunjung tersebut. Pengunjung itu memesan segelas teh manis hangat.

Rezqi menyerahkan gelas plastik berisi teh manis hangat yang telah ia seduh kepada si pemesan.

"Ada kantongnya gak, Mas," pinta si pembeli.

"Sebentar," ujar Rezqi, lalu meraih sehelai kantong plastik putih transparan. Memasukkan gelas plastik dengan tutupnya sekalian, tak lupa Rezqi pun menyelipkan sedotan ke dalam kantong. "Nih."

"Udeh dapet gawean lu, Rez?" tanya Babeh Djaja sesaat kemudian di tengah keasyikannya menyantap sepotong pisang goreng.

Si pemesan menyerahkan selembar uang lima ribuan pada Rezqi.

"Makasih, Pak," senyum Rezki sembari menyodorkan kembalian uang pada si pengunjung tadi.

"Makasih," ujar pria itu sembari mengangguk, dan berlalu dari warung tersebut.

"Gawean mah banyak Beh, saban hari ada aje yang bisa dikerjain," Rezqi tersenyum memandang pada pria tua tersebut. "Yang belum nemu tuh, yang cocok aje, Beh."

Babeh Djaja terkekeh menanggapi, dan Rezqi bisa merasakan jika orang tua itu tengah menyindirnya, lagi. Kapan orang tua yang satu ini tidak menyindirku barang sehari? Gumam Rezqi di dalam hati. Dan mengigat-ngingat kembali, si pemuda menggeleng tersenyum. Belum pernah sama sekali, pikirnya lagi.

"Lu juga sih…" tunjuk Babeh Djaja pada Rezqi, "sengak!"

Nah, kan? Salah lagi gue, tawa Rezqi di dalam hati. Jadi, Rezqi menegakkan badan, melipat dua tangan ke dada, sepasang alis terangkat. Manatap tajam pada Babeh Djaja.

Babeh Djaja menyadari itu, kembali ia terkekeh. "Lhaa, bener, pan?" tunjuknya dengan tangan kanan yang masih memegang potongan goreng pisang. "Kapan hari gue tawarin lu ngelola empang gue, lu kagak mau. Inilah, itulah… beuuh," dan kembali menyantap pisang goreng di tangan.

Rezqi tertawa, menggelengkan kepala. "Syaratnya ntu yang kagak kuat ane, Beh," sahutnya. "Masak kudu nikahin anak Babeh dulu? Coba kalo kagak, udah ane jalani itu."

"Lhaa, terus?" Babeh Djaja menatap tajam ke dalam bola mata Rezqi, seakan menelisik isi hati pemuda tersebut.

"Yaa—ntu dia, Beh," jawab Rezqi sedikit gugup, mencoba tersenyum, takut menyinggung orang.

Dan lagi, ini untuk yang keseratus-sekian-kalinya ia dijodoh-jodohkan oleh orang tua tersebut dengan anak perempuan orang tua itu sendiri. Apa tidak bisa mencari calon menantu yang lain, atau bagaimana? Setidaknya, pertanyaan ini selalu menghantui Rezqi, terutama dalam dua tahun belakangan.

"Ntu die, apenye?" tanya Babeh Djaja lagi.

Pisang di tangan telah ludes ia makan, Babeh Djaja meraih gelas yang sekarang hanya menyisakan setengah saja cairan kopi di dalamnya.

"Kurang ape coba anak gue?" ia memutar pandangannya pada semua pengunjung warung. "Ye, kan?"

Ada sekitar tujuh orang dalam warung tersebut, termasuk dengan Babeh Djaja sendiri. Delapan bila dihitung dengan Rezqi. Enam pengunjung yang sama asyik menikmati kopi dan gorengan, sama menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Babeh Djaja. Namun sebagian dari mereka, mengangguk sebab takut dibentak.

Di kampung itu, Babeh Djaja termasuk yang disegani warga, dan ia juga terkenal karena suaranya yang keras dan suka membentak. Hanya saja, semua orang sudah memaklumi watak dan mengetahui bagaimana sifat asli dari Babeh Djaja. Hanya keras di mulut saja, dan sangat baik di dalam.

Anak bungsunya—yang sering ia jodoh-jodohkan pada Rezqi, satu-satunya anak perempuan dari tiga orang anak yang ia miliki. Zulaika Anshari namanya, lebih dikenal dengan nama Shari. Baru berusia dua puluh tiga tahun dan tengah menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jakarta.

"Gak ada, Beh," sahut Rezqi. Yaah, gadis itu memang cantik, puji Rezqi di dalam hati. "Gak ada yang kurang ama Shari mah."

Rezqi dan juga semua orang tahu itu. Selain cantik, Shari adalah tipikal gadis yang mudah bergaul, santun, dan rajin. Apalagi kalau mendengarkan gadis tersebut sedang mengaji di Musala, sudah dapat dipastikan semua pemuda bakal terpincut akan kemerduan suara dari anak bungsu Babeh Djaja tersebut. Ditambah lagi, Babeh Djaja termasuk orang kaya di kampung. Udah deh, para pemuda pasti akan tergila-gila jadinya. Dan Rezqi sangat menyadari itu semua.

"Nah-nah-nah, bener, kan?" ujar Babeh Djaja membusungkan dada. "Kenape lu kagak mau? Gue tanyak lu, kalo elu udeh tahu kek gitu, kenape masih nolak muluk tawaran gue?"