Selepas rapat, Ardhena bergegas menuju klinik. Ia ingin segera melihat kondisi Nattaya dan tak hirau dengan dokumen yang harus dibawanya. Dia bisa saja sebentar mampir ke ruangan untuk menyimpan dokumen lalu berlenggang ke tempat Nattaya mendapat perawatan tapi langkahnya lebih memilih sedikit repot demi mengetahui kondisi terkini Nattaya. Akan tetapi rencana Ardhena seketika berubah ketika satu suara sudah berada di dekatnya yang hendak menuju lift.
"Mau ke klinik? " tanya Mugayo tiba tiba mendekati Ardhena, membuat wanita periang itu sontak terkejut. Mugayo melepas senyum melihat reaksi Ardhena, seraya santai berseloroh, "Seperti lihat hantu saja."
"Maaf, Pak. Terlalu konsentrasi mungkin." Kilah Ardhena menutupi perasaan gugup
"Konsentrasi apa melamun? " Ledek Mugayo lagi
"Bisa dua duanya, Pak. Tapi kalau hantunya seganteng Bapak sih Alhamdulillah." Jawab Ardhena tak tanggung memuji dan mulai mengimbangi irama pembicaraan Mugayo yang santai dan mengalir. Ternyata asyik juga orangnya tidak sekaku awal perkenalan tadi. Batin Ardhena
"Saya ikut ya, " lanjut Mugayo sambil menekan tombol lantai 1 dengan memendam rasa tersanjung atas pujian Ardhena barusan meskipun bisa saja tidak serius. Sebagai manusia biasa, lumrah GR (Gede Rasa).
"Tapi tolong kamu simpan dulu dokumennya di tempat aman supaya nanti tidak tercecer atau ketinggalan." Sambung Mugayo tanpa maksud menggurui. "Ruangan kamu satu lantai dengan klinik? "
"Betul, Pak. Sebentar saya ke ruangan. " Sambut Ardhena tak berpikir panjang menuruti saran Mugayo, pria kharismatik yang sejak awal pertemuan membuat jiwa mak comblangnya menari riang. Itulah kenapa ia menjadi gugup bercampur gembira ketika Mugayo tanpa disangka sangka mendekatinya. Dalam harap, semoga ini jalan kemudahan dari Tuhan untuk mewujudkan rencana Ardhena mencarikan pengganti yang jauh lebih baik daripada sebelumnya serta membayar kepedihan Nattaya. Langkah Ardhena semangat menuju ruangannya dan segera menyimpan berkas lalu menghampiri Mugayo yang menunggu di luar. Merekapun beriringan melangkah menuju klinik yang tidak begitu jauh.
Di pembaringan single bed standar rumah sakit, beralaskan seprei warna putih polos, Nattaya tampak masih terbaring lemah ketika Ardhena dan Mugayo datang menemuinya. Ada rona keheranan di wajah Nattaya melihat sosok yang tak dikenal bersama sahabatnya. Tak berapa lama keheranan Nattaya di jawab dengan penjelasan Ardhena, "Nat, ini pak Mugayo. Orang yang menolong kamu ketika kamu pingsan tadi di tangga."
"Oh, ya. Terimakasih Pak, atas pertolongannya." Ungkap Nattaya pada Mugayo yang berdiri tenang di sebelah Ardhena. Tak ada kecanggungan yang nampak dari pria yang memang tak dapat dipungkiri tampan berkharisma.
"Iya, sama sama. Apa yang kamu rasakan sekarang?." Atensi Mugayo natural.
"Hanya lemas saja, " jawab Nattaya
"Apakah kamu mau makan sesuatu? Biar saya carikan di luar." Tawaran Mugayo malah disambut antusias oleh Ardhena, "Nattaya kebetulan suka sekali dengan dimsum yang ada di kantin perusahaan, jadi gak usah keluar, Pak."
"Oke, saya belikan, ya. Kamu pesan apa?" Tanggap cepat Mugayo pada Ardhena. Padahal maksud Ardhena bukanlah seperti itu.
"Apa tidak sebaiknya saya yang beli, Pak?" sungkan Ardhena terhadap kebaikan Mugayo.
"Lalu, saya yang di sini? Apa kamu nyaman dengan orang yang baru dikenal?" Mugayo melemparkan tanya pada Nattaya. Namun belum sempat Nattaya menjawab, Ardhena terlebih dahulu berucap, "Nyaman kok, ya kan Nat? Pak Mugayo itu orang baik."
Rasanya Nattaya ingin meninju sahabatnya sekeras mungkin, sebaik apapun Mugayo, pria itu baru dikenal hari ini. Apa arti satu hari untuk menilai kebaikan seseorang? Namun apa daya kondisinya yang lemah membiarkan sahabatnya itu berbuat sesuka hati. Mungkin dia terhipnotis. Geram Nattaya dalam hati.
"Sebentar! " tahan Mugayo pada Ardhena yang hendak keluar. "Saya kebetulan belum sholat. Jadi biar sekalian saja ke kantin. Kamu di sini temani..." Mugayo berhenti berucap sambil mengingat ingat nama wanita di pembaringan.
"Nattaya!" sambung Ardhena semangat. "Kalau butuh nomer wa, akun media sosial, dan lain lain, nanti saya kirim kartu nama sahabat saya ke ruangan bapak."
"Kita kan nanti sering ketemu. Tinggal ketuk pintu," sahut Mugayo atas tawaran Ardhena.
"Betul,Pak. Dengan senang hati." Lalu Ardhena melanjutkan ungkapan hatinya atas kebaikan Mugayo dengan tetap menyimpan harapan besar akan keberlanjutan hubungan yang lebih spesial lagi antara Mugayo dan Nattaya.
"Terimakasih atas kebaikan Pak Mugayo kepada kami. Semoga kebaikan Bapak mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan hubungan baik kita bisa berlanjut."
"Aamiin," timpal Mugayo tersenyum manis lalu pria kharismatik itu beranjak pergi meninggalkan dua wanita yang baru dikenalnya. Untung lah sudah masuk waktu Dzuhur. Ada alasan Mugayo untuk tidak berduaan dengan wanita yang baru dikenalnya. Terlebih ia melihat gelagat tak nyaman pada raut wajah Nattaya ketika sahabatnya hendak keluar tadi.
" Bagaimana, Nat? Langsung sehat kenal orang ganteng dan sholeh?" canda Ardhena sepeninggal Mugayo.
"Jangan memulai! " sungut Nattaya
"Dia yang mulai duluan, " elak Ardhena. "Coba bayangkan! Dari kamu pingsan, dia sendiri yang mengangkat tubuh kamu ke klinik. Undakan demi undakan anak tangga, ia lalui dengan hati hati sekali seperti seorang Pangeran yang tidak ingin membangunkan Sang Puteri dari tidurnya. "
"Sudahlah, Dhena!" potong Nattaya atas cerita sahabatnya yang terkesan berlebihan.
"Aku mengenal lama calon suamiku sebagai orang baik, tapi nyatanya apa? Jangan tertipu dengan kebaikan sesaat, " mata Nattaya berkaca kaca memendam kesedihan. Teringat lagi akan luka yang kembali menyeruak.
"Tapi jangan menyamakan semua pria tidak baik. Kamu harus secepat mungkin bangkit dan membuka hati, " Ardhena menyemangati Nattaya namun yang dirasakan Nattaya adalah keputusasaan dan trauma.
"Bicara memang lebih mudah daripada merasakan dan mengalami patah sepatah patahnya."
"Maaf,Nat. Aku tidak berniat membuatmu sedih, tapi entah kenapa lelaki satu ini baiknya minta ampun. Aku bisa merasakan kebaikan dia meski mungkin bisa saja salah. Tanya dokter kalau kamu kurang yakin." Ardhena tak menyurutkan semangatnya meyakinkan Nattaya meskipun mungkin terkesan terburu buru.
"Pokoknya, aku akan telusuri sampai seratus persen dia bukan milik siapa-siapa. Kamu harus ikuti promakcom aku ya?! Program mak comblang." Jelas Ardhena
"Aku pusing! " heran Nattaya tak mampu mencerna dengan baik rencana sahabatnya yang terbilang mendadak. Ditambah dengan istilah buatan Ardhena yang terdengar aneh. Nattaya kemudian memilih menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya yang masih terasa tak karuan.
"Nat, kamu harus percaya sama aku. Ayo berjuang sama-sama. Kamu harus bahagia dan tidak boleh larut dalam kesedihan. Jangan biarkan waktumu habis meratapi keadaan. "
"Aku pusing, ingin istirahat, " pelan Nattaya dari balik selimut. Memohon pengertian Ardhena untuk tidak membahas hal yang membuatnya terbawa perasaan melankolis.
"Tatap saja wajah tampan Mugayo, pasti cepat hilang pusingnya," goda Ardhena tak bergeming seraya mengamati tubuh di hadapannya yang tampak tak ada pergerakan di balik selimut.
"Nat. Nat?!" curiga Ardhena sambil menepuk pelan bagian kaki Nattaya. "Nat, kamu tidur? " selidik Ardhena lalu perlahan membuka selimut bagian kepala sahabatnya. Benar saja, Nattaya sudah memejamkan mata.
"Kamu pasti pura-pura tidur tapi telinga masih berharap ada cerita tentang pria tampan bernama Mugayo, " pancing Ardhena yang menduga Nattaya sengaja tak mau menanggapi promakcomnya. Jarak obrolan dengan waktu tidur Nattaya terlalu cepat di logika Ardhena. Akan tetapi detik demi detik dan menit demi menit berlalu, ternyata Nattaya tak juga memberikan reaksi. Hanya sesekali terdengar nafas tipis dari balik selimut putih. Ardhena pun termenung di sisi Nattaya. Tak berani mengusik. Pandangannya lalu menuju ruangan dokter jaga yang sepi karena memang waktu istirahat. Tak ada pilihan bagi Ardhena selain menunggui sahabatnya dan menanti kedatangan seseorang yang menjadi target promakcomnya. Mugayo jangan sampai lepas!
"Assalamualaikum, " sosok yang dinanti Ardhena akhirnya datang juga bersamaan dengan dokter jaga dan seorang perawat. Di kantin tadi mereka bertemu dan menghabiskan makan siang bersama. Di kesempatan itu, Mugayo coba meluruskan bahwa Nattaya bukanlah istrinya seperti dugaan dokter di awal kedatangannya ke klinik. Mugayo memberi pertolongan karena panggilan kemanusiaan. Sama halnya ketika ia kembali datang untuk mengantarkan makanan.
"Ini makanan untuk kalian. Saya pamit, ya? Semoga teman kamu lekas sembuh." Mugayo menyerahkan bungkusan plastik pada Ardhena dan hendak berbalik langkah keluar namun Ardhena menahan dengan tanya, "Pak Mugayo sudah makan? "
"Sudah tadi di kantin. "
"Saya boleh minta tolong? "
"Apa? "
"Pak Mugayo tidak keberatan?"
"Apa dulu? Kalau susah, saya mundur."
"Saya mau minta tolong, apa nanti Pak Mugayo bersedia mengantarkan Nattaya pulang? "
"Sekarang masih jam kerja. "
"Maksud saya nanti pas jam pulang kantor. " Tekan Ardhena berharap tidak ada penolakan dari Mugayo.
"Kita lihat nanti, ya? Saya sepertinya lembur. Permisi." Mugayo bergegas pergi tak memberi kepastian. Meninggalkan Ardhena yang sebenarnya masih ingin mendapat kepastian dari Mugayo. Otaknya pun berpikir keras mencari cara menaklukkan target promakcomnya.