webnovel

My daily

Seperti biasa aku selalu bangun di pagi hari dan itu membuat aku cukup merasa segar. Semenjak kedua orang tuaku meninggal setiap malam aku selalu membuat novel hingga empat sampai lima jam aku duduk di depan laptopku. Meskipun laptop ini hanya windows sembilan tapi aku sangat bersyukur karena ini hadiah dari ayahku ketika aku berumur tujuh belas tahun. Tak jarang aku ketiduran Ketika sedang membuat novel. Ketika aku membuka novel maka aku merasa remaja yang sedang di landa Bahagia, bukan karena aku jatuh cinta dengan lelaki tapi aku ahagia karena di sana aku mempunya satu juta teman yang mereka tidak tahu kehidupan asliku yang sederhana.

"Jika aku memilki wajah yang cantik mungkin akan menampakan diri tapi aku hanya memiliki wajah yang jelek. Lebih baik mereka tidak mengetahui wajahku dan kehidupan asliku."lirihku dengan suara pelan.

"Hai pakcoy, kamu sudah tumbuh dengan baik dan juga sangat segar. Bolehkah aku memasakmu untuk sarapan pagi ini?" tanyaku kepada tanaman yang tak bernyawa. Udara yang segar membuat aku sangat menikmati udara pagi apalagi ada orang yang mulai sibuk menjalankan rutinitas di pagi hari.

Rumahku berada di sisi bukit dan para tetangga saling berjejaran.Dan banyak orang dari kota setiap jumat sampai minggu pasti selalu bermain ke daerahku yang terbilang masih cukup segar udaranya. Di depan rumahku ada jalan yang cukup luas dan ada di sisi kanan ada tangga yang menghubungkan aku ke bawah dan seterusnya saling menghubungkan tapi rumahku yang terbilang kecil ini memiliki pagar jadi tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam rumah ini. Di belakang rumahku terdapat juga tanaman buah mangga yang memang cukup besar bahkan entah berapa kali aku sudah menebangnya tapi selalu cepat membuat dahan baru. Pohon mangga ini menjadi saksi tumbuh kembang aku karena dia menjadi alasan aku untuk selalu bertengkar karena mangga muda bersama Ayah.

FLASHBACK

"Bunda…," teriakku dari luar karena baru pulang dari taman kanak-kanak sehingga membuat akupun hendak pergi ke dapur dan menemukan Ayah dan Bunda sedsng memakan manga yang cukup segar.

"Bunda sedang manga?" tanyaku dengan menduduki pahanya sedangkan ayah tetap memakan tanpa menawariku.

"Mau sayang?" tanya Bunda sambal menyodorkan manga tersebut ke arahku tapi aku menggelengkan kepala tidak mau.

"Kenapa tidak mau. Ini sangat segar sayang," aku langsung menutup mulut dengan kedua tanganku tapi Bunda tetap memaksa aku untuk mencoba makan manga tersebut.

"Tidak enak Bunda. Aldo kemarin memberikan mangga untuk Nata tapi asam." aku langsung membayangkan rasa kecut yang Aldo berikan kepadaku sedangkan Bunda dan Ayah langsung mengeryitkan dahi dengan bingung.

"Kapan Aldo meberikan ini kepadamu?" tanya Ayah dengan menatap ke arahku tapi aku langsung menjawab, " kemarin waktu Ayah dan Bunda pergi ke acara nikahan tante Laras," jawabku dan mereka pun langsung terkekeh dengan kecil.

"Itu bukan kemarin tapi satu bulan yang lalu. Ya pantas kamu memakan mangganya kecut itu soalnya mangganya masih muda!" jawab Bunda sedangkan Ayah sudah tertawa dengan terbahak-bahak.

"Ya sudah ayo makan. Ayah jamin ini sangat nikmati sehingga membuat kamu akan ketagihan dengan manga ini dan kamu juga akan menyukai mangga ini." Ayah langsung emnyerahkan manga itu kepadaku dan dengan ragu akupun langsung memakan mangga tersebut dengan sedikit demi sedikit dan waw rasanya sangat nikmat sekali. Antara manis dan segar.

"Mangga yan kau makan itu mungkin manga muda yang memiliki rasa asam." Jelas ayah sedangkan aku hanya mengabaikan perkataan darinya dan melanjutkan aku menyantap makanan lagi.

"Aiyo… putri Ayah menghabiskan semuanya," ujar Ayah dengan suara tertawa sehingga membuat aku hanya menampakan gigi kelinciku saja.

FLASHBACK OFF

Tanpa aku sadari bahwa aku sudah dewesa dan kenangan itu tetap akan berjalan di memoriku meskipun aku sudah beranjak dewasa tapi aku masih mengingat denga jelas.

"Ayah sekarang Nata yang menikmatinya."

"Menikmati seorang diri tanpa kalian berdua."

Seperti biasaya aku selalu mengantar susu dan koran. "Ini gaji bulan kamu Nat," bos langsung menyerahkan amplop putih kepadaku.

"Terima kasih paman!" ujarku sambal menundukkan kepala kepadanya sedangkan dia langsung tersenyum kepadaku.

"Iya sama-sama. Yang semangat ya," ujar pamanku dengan menepuk pundak dengan pelan.

"Besok pagi, tidak usah datang terlalu pagi. Besok weekend dan pasti orang bangun mungkin sedikit siangan kakmu juga jangan memporsir diri untuk mencari uang terus. Sesekali kamu juga mencari jodoh atau mencari angin yang enak di pandang." Ledek paman ke arahku sedangkan aku hanya tersenyum dengan tipis.

"Ah ya paman… Nata juga Bahagia ko. Lagipula zaman sekarang sudah hal yang biasa perempuan memperjuangkan karier unutk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa lelaki," ujarku dengan berpamit kepadanya sedangkan paman hanya berdecak dengan kesal terhadapku.

"Aish memang berbicara sama kamu memang harus banyak extra sabar." Teriak paman meskipun samar-samar aku mendengar suaranya.

"Umurku sudah bertambah tua tapi impian aku belum terwujud sama sekali." Monologku dengan sendiri dan sesekali melemparkan koran ke rumah yang biasa sudah memesan koran.

Jam Sembilan pagi, aku sudah berada di rumah bu Yani dan aku sedikit terkejut rupanya ada sepuluh orang sudah membantu bu Yani.

"Permisi… ada bu Yani nya?" tanyaku kepada ibu-ibu yang sedang memotong beberapa macam sayuran.

"Eh Nata. Sudah datang ya?" aku terlonjak kaget saat mendengar suara bu Yani yang ada di belakangku saat ini, sehingga membuat akupun langsung menoleh ke arahnya.

"Eh bu Yani. Iya bu sudah datang. Maafnya Nata telat datangnya tadi masih ada urusan sebentar," ujarku dengan tak enak kepadanya sedangkan dia langsung tersenyum dengan tipis.

"Kan ibu sudah mengetahui bahwa kamu memang habis mengantar susu dan koran tidak apa-apa." Jawab bu Yani sehingga membuat aku pun langsung mengekorinya.

"Ya sudah ayo ikut ibu." Ajak bu Yani dan aku pun langsung mengiyakan ajakan darinya.

Aku melihat beberapa ibu-ibu yang sudah menggoreng ayam dan ada juga yang sedang membuat sambal.

"Nat kamu bisa mengupas kentang tidak?" tanya bu Yani dan aku pun langsung menganggukan kepala seraya menerima alat untuk mengupas kentang.

"Ya sudah kalau kamu sudah kupas nanti langsung potong aja. Jangan terlalu kecil dan jangan juga terlalu besar. Ibu mau ke sana dulu ya." aku langsung mengiyakan dari perkataan bu Yani dan bergegas untuk mengupas kentang.

Cukup lama aku berkutat Bersama ibu-ibu yang lainnya dan tanpa aku sadari bahwa matahari sudah berganti menjadi malam.

"Akhirnya sudah selesai juga," ujarku dengan merenggangkan badan .

"Sudah beres Nat?" tanya bu Dika kepadaku yang sudah selesai mengepal lantai.

"Sudah bu Dika," ujarku dengan meletakan alat pel tersebut.

"Akhirnya selesai juga. Ayo ibu-ibu mari kita kumpul dulu," tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah sehingga membuat aku bersama bu Dika langsung segera masuk ke dalam rumah.

"Hari ini cukup lelah mengingat pesanan kita sampai tembus di seribu box nasi. Ini dari saya selaku ibu-ibu yang sudah membantu usaha catering saya." ujar bu Yani sembari membagikan satu persatu amplop dan satu bingkisan makanan kepada ibu-ibu yang sudah membantunya.

Ketika sudah mendaptkan masing-masing, dia juga menyuruh meminum es buah dan beberapa kue basah yang masih tersisa.

"Terima kasih bu Yani sudah membagikan ini," ujar bu Dika dan semua ibu-ibu pun tersenyum dengan lebar.