webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

YACHT PASIFIK

MOBIL boks laundry merapat ke salah satu dermaga modern dekat pelabuhan tua Jakarta, Sunda Kelapa. Gerimis membungkus kota. Bulir hujan sejauh mata memandang bagai kristal

di muramnya senja. Julia berbaik hati turun lebih dulu, memberikan payung untuk Opa. Belasan kapal pesiar mewah ukuran kecil mengangguk-angguk perlahan bersama gerakan permukaan laut. Tiang-tiangnya terlihat gagah. Kami berempat berjalan beriringan menuju ujung dermaga, tempat kapal terbesar ditambatkan.

Dermaga sepi, di pos jaga gerbang depan tadi hanya ada dua petugas yang menguap, mengenaliku, tidak memeriksa mobil boks, hanya melambaikan tangan padaku. Meski akhir pekan, ini bukan jadwal berlayar yang baik. Ombak di perairan utara Jakarta relatif besar. Kapal-kapal pesiar tertambat bisu, tidak ada bedanya de-

ngan vila atau rumah peristirahatan yang kosong. Setelah me­mikirkan berbagai alternatif sepanjang perjalanan dari Waduk Jatiluhur, inilah tempat paling aman menyembunyikan Om Liem.

Setelah berjalan lima puluh meter, kami tiba di kapal pesiar dengan panjang dua puluh meter, berwana putih, gagah sekali dengan dinding geladak depan bertuliskan Pasifik. Aku membantu Opa menaiki tangga kapal, Julia di belakang Om Liem. Kami melintasi palka tengah, menuju bagian buritan, langsung menemukan seseorang yang sedang asyik memasak sesuatu di dapur kapal.

"Sore, Kadek," aku menyapa.

"Eh, sore, Pak Thom. Kejutan, kenapa tidak bilang lebih dulu pada saya?" Pemuda berusia tiga puluhan, yang bekerja di kapal merangkap lima jabatan sekaligus: kapten, awak kapal, juru

masak, tukang bersih-bersih, sekaligus penjaga kapal, menyapaku tertawa, sedikit terkejut.

"Darurat, Kadek. Aku baru setengah jam lalu memutuskan ke sini."

"Untung saja saya tidak sedang melepas sauh, Pak Thom." Kadek menggosokkan tangannya ke celemek, menyalamiku."Opa juga kemari?" Kadek menyeringai riang, menilik rombongan. "Kebetulan sekali. Saya sedang masak sup kaki sapi, Opa.

Hujan terus dari siang, bosan saya. Mengantuk. Jadilah masak saja."

Opa sudah terkekeh, beranjak mendekat.

Kadek adalah peselancar tangguh, autodidak sejak kecil dari menonton turis. Dia juga pandai mengemudikan speedboat, jago me­masak, dan telaten. Aku menemukannya saat menjadi konsultan salah satu hotel bintang lima di Nusa Dua, Bali.

Kami lantas berteman baik. Aku menawarkannya pekerjaan yang tidak mung­kin dia tolak. Mengurus kapal pesiar milik Opa. "Kau bebas membawanya ke mana saja. Terserah. Mau mengelilingi dunia dengan kapal itu, boleh. Sepanjang setiap kali

Opa atau aku memerlukannya, Pasifik sudah merapat rapi di dermaga." Sudah hampir tiga tahun Kadek mengurus kapal itu, kadang ber­minggu-minggu tertambat di dermaga, kadang berbulan-bulan melepas sauh. Dia pernah sendirian membawanya ke Bangkok, ikut pertandingan selancar. Kadek juga pernah mem­bawa Pasifik mengikuti race Australia-Maluku, juga racememutari Amerika hingga New York.

"Saya belum merapikan kamar-kamar, Pak Thom. Semua masih berantakan. Harusnya Pak Thom kasih kadar dulu ke saya. Bagaimana, saya izin sejenak, boleh?"

"Tidak perlu, Kadek. Kau akan segera melepas sauh. Aku hanya sebentar saja di sini." Aku menggeleng sekaligus melirik jam di pergelangan tangan.

"Sebentar saja? Pak Thom tidak ikut berlayar?"

"Tidak. Opa dan Om Liem yang akan ikut. Kau tidak perlu berlayar jauh-jauh, hanya mengitari Kepulauan Seribu. Aktifkan telepon genggam satelitmu. Aku setiap saat akan menghubungi-

mu jika terjadi sesuatu. Hindari bertemu dengan patroli laut yang ada, minimalkan kontak dengan siapa pun, tetap mengapung di laut." Aku mulai memberikan instruksi.Kadek mengangguk, tangannya kembali mengaduk panci sup.

Aroma sup hangat menyebar ke seluruh dapur kapal. Inilah yang aku suka darinya sejak dulu. Dia tidak banyak tanya. Pengalamannya sebagai peselancar, guide, pengajar kursus mengemudi

speedboat, juru masak kafe, tukang suruh-suruh, dan pekerjaan serabutan lainnya di Nusa Dua Bali, membuat Kadek paham, setiap orang punya urusan masing-masing. Urus saja bagian sendiri, sisanya tutup mulut.

"Logistikmu cukup?"

"Cukup, Pak Thom. Untuk seminggu ke depan juga ada. Paling saya butuh mengisi tong air penuh-penuh. Apa saya harus menambah logistik lagi untuk perjalanan jauh, Pak Thom?"

"Tidak perlu. Kau hanya perlu mengapung di Kepulauan Seribu hingga Senin pagi. Itu lebih dari cukup." Aku menoleh. "Kita segera berangkat, Julia." "Eh?" Julia yang sedang asyik ikut mengerumuni panci sup Kadek menoleh.

"Ayolah, Tommi, setidaknya kau menghabis­kan semangkuk sup kaki sapi yang lezat ini dulu. Sudah lama kita tidak makan bersama." Opa tersenyum. "Sepanjang hari kau juga pasti belum makan."

Aku menggeleng. Ini bukan acara pesiar seperti biasanya."Bergegas, Julia. Ada banyak yang harus kita kerjakan."Julia mengangguk.

"Segera lepas sauh, tinggalkan dermaga. Jaga mereka berdua dengan hidupmu, Kadek," aku berkata pelan pada Kadek yang mengantar hingga tangga kapal.Kadek mengangguk.

"Tidak ada yang boleh membawa mereka pergi dari kapal ini kecuali aku. Siapa pun itu. Peduli setan jika ada pasukan katak angkatan laut yang mengepung kapal. Kau bahkan boleh menggunakan Kalashnikova di kamarku dalam situasi darurat. Mengerti?"

Kadek kali ini menelan ludah, lantas ragu-ragu meng­angguk. Aku dan Julia sudah berjalan cepat di pelataran dermaga, kem­bali menaiki mobil boks laundry.

Setidaknya hingga besok pagi, aku bisa menitipkan Opa dan Om Liem ke tangan Kadek.

* * * *

Mobil boks laundry meninggalkan Pelabuhan Sunda Kelapa, menuju jantung kota.

"Halo, Maggie."

"Halo, Thom. Kau baik-baik saja?" Suara Maggie terdengar kencang, bahkan sebelum kalimatku hilang di ujung speakertelepon genggam.

"Aku baik, Mag. Tidak ada yang perlu kaucemaskan."

"Oh, syukurlah." Suara gadis itu terdengar amat lega. "Dari tadi aku hendak meneleponmu, tapi urung, khawatir kau tidak dalam situasi baik mengangkat telepon, jangan-jangan kau masih

dikejar polisi. Jangan-jangan kau malah sedang di sel polisi."

"Kau baik, Mag?" aku memotong.

"Aku juga baik, Thom. Beberapa petugas sialan itu sempat berjaga di kantor selama satu jam, menginterogasi, bertanya banyak hal, tapi mereka akhirnya pergi, bosan melihat wajah begoku, menganggapku hanya sekretaris tidak berguna, tidak tahu banyak hal."

Aku tertawa sambil menginjak rem mendengar gurauan Maggie. Jalanan kota tidak terlalu ramai, tapi gerimis membuat pengendara sepeda motor kadang tidak terlihat. "Mereka benar-benar keliru kalau begitu. Kau sekarang ada di mana?"

"Di mana lagi, Thom?" Maggie berseru ketus. "Aku di kantor sampai kau mengizinkanku pulang."Aku menyeringai. "Kau memang staf nomor satu, Mag."

"Sudahlah basa-basinya, Thom. Semua kesibukan, tegang, panik ini tidak sebanding lagi dengan dua tiket berlibur yang kaujanjikan. Aku akan menuntut lebih."

Aku mengangguk meski tentu saja Maggie tidak bisa melihat­nya. "Update, Mag. Apa pun yang sudah kauperoleh empat jam terakhir."

Lampu merah, salah satu perempatan besar kota Jakarta terlihat basah. Motor. Mobil. Ojek payung berlari-lari me­nyambut penumpang yang turun dari bus. Pedagang asongan. Detik hitung mundur berapa lama lagi lampu merah, terlihat dari balik

kaca mobil box laundry.

"Kau sudah membaca koran sore, Thom? Pasti belum. Mereka meletakkan berita kemungkinan Bank Semesta ditutup di halam­an depan. Sebentar, satu, dua, ya, tiga koran sore melakukannya. Krisis

dunia, bla-bla-bla, kondisi terakhir perekonomian nasional, bla-bla-bla, kemungkinan rush, panik bagi nasabah perbankan, bla-bla-bla, sepertinya wartawan dan editor senior yang kita undang melakukan pekerjaannya dengan baik. Aku yakin, besok pagi seluruh surat kabar besar juga akan meletakkan berita ini di headline."

Aku mengangguk lagi, masih mengamati detik countdown lampu merah. "Dua situs berita online juga mulai dipenuhi soal ini, Thom. Mereka meletakkannya di baris paling atas, membuat topik

diskusi terkait. Sebentar, jumlah hit, sebentar, yup, masih di nomor belasan sebagai topik paling sering dilihat. Tetapi cepat sekali kenaikan hitnya. Aku pikir besok siang, atau malah besok pagi sudah masuk sepuluh besar berita online yang paling sering

diakses. Jangan lupa, ini masih libur, jadi tidak banyak yang online. Tiket konser itu sepertinya ampuh, Thom."

Aku mengangguk, masih lima belas detik lagi lampu hijau."Kau sudah membaca dokumen pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem?"

"Belum selesai," aku menjawab pendek.

"Ada update menarik, Thom. Aku menemukan sesuatu yang akan membuatmu terkejut. Salah satu penasihat keuangan saat proses itu dilakukan adalah Erik."

Mobil di belakangku menekan klakson. Lampu hijau menyala.

"Erik?" Aku berseru, untuk dua hal. Satu, untuk nama Erik.Dua, untuk betapa tidak sabarnya mobil di belakangku. Aku bergegas melepas rem tangan.

"Benar, Erik teman dekatmu. Ada nama lain yang mungkin menarik buatmu. Salah satu pejabat level menengah bank sentral juga ikut terlibat dalam proses pengambilalihan itu. Mereka menyulap begitu banyak data. Bank itu seharusnya ditutup sejak enam tahun lalu."

Aku sudah tidak mendengarkan penjelasan Maggie lebih lanjut. Ini fakta kecil yang menarik. Nama Erik dan nama pejabat bank sentral itu, aku mengenalnya. Aku bergegas menutup pembicaraan, menyuruh Maggie terus mencari tahu apa yang

bisa dia lakukan.

"Ya, ya, ya, aku ini memang kacung paling begomu, Thomas. Aku akan menginap di kantor sajalah malam ini." Maggie berkeluh kesah, tapi aku sudah menutup telepon, membanting setir, mobil berbalik arah seratus delapan puluh derajat, lebih

banyak lagi klakson mobil yang marah karena kaget. Aku balas menekan klakson, membuat ramai perempatan. Tidak pernahkah mereka melihat mobil laundry yang terburu-buru mengantar cucian?

"Kita mau ke mana?" Julia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan bertanya.

"Kita berpisah, Julia." Aku menoleh selintas.

"Berpisah?"

"Ya, waktu kita terbatas, kita harus bergerak simultan secara terpisah agar bisa melakukan banyak hal. Kau terpaksa sendirian mengurus janji pertemuan dengan menteri itu. Gunakan seluruh akses yang dimiliki review mingguan." Julia menepuk dahi.

"Aku tahu itu tidak mudah, tapi editor senior kalian teman dekat sejak kuliah dengannya. Usahakan pertemuan ini terjadi paling telat besok siang, Julia. Bilang ke staf, ajudan, atau ke beliau langsung, ada isu penting sekali yang hendak dibicarakan review mingguan kalian. Isu yang menyangkut banyak uang milik perusahaan negara. Aku akan mengurus sesuatu yang lebih penting sekarang."

"Kau mau ke mana, Thom?"

"Nanti aku beritahu lewat telepon. Aku harus bergegas. Kau berhenti di mana? Halte depan? Aku tidak bisa mengantar ke kantormu."

"Di mana sajalah." Julia terlihat sebal. "Aku naik taksi saja."Mobil boks laundry merapat sembarangan.

"Aku berjanji akan segera meneleponmu, Julia. Pastikan pertemuan besok dengan menteri terjadi."

Julia mengangguk.

Aku sudah menekan pedal gas. Saatnya aku merekayasa se-suatu yang lebih serius sekarang.