webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

SEPOTONG LAUT YG HILANG DARI PETA

DUA kali dilemparkan, dua kali suara debur air terdengar. Pasifik terus melaju ke utara. Lautan terlihat gelap sejauh mata memandang.

Ram kembali masuk ke kabin, diiringi dua orang berseragam polisi Singapura yang sebenarnya pengawal setia Ram dan Tuan Shinpei. Mereka baru saja melemparkan jasad Wusdi dan Tunga ke Laut Cina Selatan.

"Lepaskan borgol mereka!" Ram memberi perintah, menunjuk pojok kabin. Dua orang berseragam polisi Singapura itu mengangguk, melangkah cepat ke tempat kami duduk. Salah satu dari mereka melepas borgol Opa dari tiang kabin, satunya lagi berjaga-jaga dengan pistol teracung padaku.

"Berdiri, Opa!" Ram membentak.Opa tertatih berusaha berdiri. Napasnya tersengal. Wajah tuanya terlihat lelah dan meringis.

"Kau juga berdiri, dan jangan macam-macam, Thomas! Aku tidak segan membunuh Opa." Ram menoleh padaku, matanya menatap datar. Ram jelas sudah melatih dirinya jauh-jauh hari menghadapi situasi seperti ini.Aku berdiri. Borgol di tanganku sudah dilepaskan, meski rasa sakit terasa di pergelangan tangan seolah borgol itu masih di

sana. Dua orang berseragam polisi Singapura itu menodongku, berjaga atas segala kemungkinan. Ram menodong Opa.

"Kalian berdua jalan ke buritan." Ram mendorong punggung Opa.Opa menoleh padaku.Aku mengangguk. Tidak ada pilihan selain menuruti perintah Ram.Dengan kaki semakin pincang, Opa menggigit bibir menahan sakit, melangkah menuju pintu kabin ke arah buritan yacht. Kami dikawal seperti dua pesakitan berbahaya.Aku tahu apa yang akan dilakukan Ram. Jika dia ringan tangan membunuh Wusdi dan Tunga, tidak sulit baginya menyingkirkan aku dan Opa.

"Ambilkan pelampung di dinding kapal!" Ram menyuruh anak buahnya lagi.Salah satu anak buahnya bergegas mengambil pelampung.

Kami sekarang persis berdiri di geladak buritan. Pasifik terus melaju dengan kemudi otomatis, anggun membelah lautan yang tenang.

"Maafkan aku, Opa. Kalian tidak dibutuhkan lagi di atas kapal." Ram menatap Opa. Matanya sama sekali tanpa kilatan perasa­an.

"Aku tidak sepandai kau mengendalikan kapal, Thomas. Aku selalu bosan diajari Opa. Apalagi mendengar cerita masa lalunya yang tidak berguna." Ram sekarang ganti menatapku. "Tapi

dengan kemudi otomatis, aku tinggal menunggu yacht ini tiba di perairan Hongkong besok pagi. Tidak terlalu sulit merapatkannya di dermaga sana. Terima kasih banyak telah membantuku."

Aku menelan ludah, menatap wajah Ram yang terlihat dingin.Opa menghela napas perlahan.

"Ini pelampung untuk Opa. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku telah dibesarkan di keluarga kalian." Ram melemparkan pelampung ke tangan Opa. "Ini hanya urusan bisnis. Semoga Opa tidak pernah membenciku. Lihat, aku bahkan berbaik hati menunda kematian Opa secara langsung. Kalau aku jahat, mudah saja menembak Opa sekarang."

Ram tertawa kecil, mengacungkan pistolnya.

"Nah, sekarang silakan pilih, loncat dari kapal dengan pelampung atau kutembak sekarang juga!" Ram menatap galak, bersiap menarik pelatuk pistolnya.Aku hampir berseru, tidak dapat menahan rasa marah yang membakar kepala.

Opa menoleh padaku. Lengang sejenak.

Aku mati-matian berusaha mengendalikan diri, tubuhku bergetar.

"Waktu kita tidak banyak, Opa. Loncat atau kutembak!" Ram membentak.

Angin malam menerpa wajah. Lautan terlihat gelap.

"Orang tua ini akan memilih loncat, Tommy." Opa tersenyum lelah, tertawa ganjil.

"Kau pastilah tahu, Opa lebih baik memilih

mati dibunuh penjajah, dimakan hewan buas lautan, atau karam sekalipun, dibanding 'sesuatu' itu. Kau tahu, bukan?" Opa mengedipkan matanya.

Aku menggigit bibir menahan marah. Jika tidak ada dua pistol yang terarah ke wajahku, sudah sejak tadi tinjuku menghajar wajah Ram.

"Pilihan yang baik. Selamat tinggal, Opa!"

Dengan gerakan kecil Ram mendorong Opa keluar dari geladak buritan.Aku berseru, refleks hendak menahan tubuh Opa sudah lebih dulu jatuh bersama pelampung. Suara debur air terdengar di antara suara deru mesin yacht dan gelapnya lautan.

"Kau memang bedebah, Ram!" aku mendesis.

"Kita semua bedebah, Thom."

"Kau akan menerima balasannya."

"Giliran kau sekarang, Thomas." Ram tidak memedulikan seruan marahku.Aku loncat, hendak meninju dagu Ram dengan tangan yang terborgol. Gerakan Ram lebih cepat, jari telunjuknya menarik

pelatuk pistol. Dua tembakan menghantam perutku, membuat tubuhku terbanting ke belakang. Aku kehilangan keseimbangan. Ram hanya perlu mendorong sedikit tubuhku. Suara debur di permukaan laut untuk keempat kalinya terdengar. Pasifik terus melaju cepat, segera meninggalkan tempat Opa dan aku dilemparkan.Gelap. Lautan gelap. Yang terang adalah langit, dipenuhi formasi bintang-gemintang.

Setengah jam berlalu.Dengan berpelampung, Opa tersengal mendekatiku yang berusaha berenang mengambang di lautan. Tubuh kurus Opa bergerak perlahan. Formasi bintang-gemintang terlihat semakin elok. Opa tertawa melihatku, meraih tubuhku. Aku ikut tertawa. Aku masih hidup. Tentu saja. Dua tembakan Ram memang tepat mengenai perutku, tapi dua puluh empat jam sebelumnya,

saat berpisah dengan Rudi di pelataran bandara, Rudi sempat memberikan sesuatu yang langsung kukenakan, rompi antipeluru miliknya.

Delapan jam kemudian. Saat cahaya matahari pagi me­nyemburat merah di timur laut, saat cahaya lembut itu membasuh tubuhku dan tubuh Opa yang terapung-apung berpegangan sebuah pelampung, Kadek dengan paha dibebat berseru-seru senang telah menemukanku. Dia berdiri di geladak depan sebuah kapal pesiar, melambaikan tangan kepadaku. Kadek selalu bisa kuandalkan. Dia tahu apa yang harus dilakukan di Pasifik. Dia berpura-pura terkapar di lantai setelah baku tembak, dan persis beberapa detik setelah Wusdi melemparkan tubuhnya di perairan teluk Singapura, dengan sisa tenaga, Kadek berenang kembali ke dermaga, meminta bantuan kenalan sesama nakhoda, meminjam kapal pesiar mereka. Dia segera menyusulku.Aku tertawa, memeluk Kadek.

Opa menerima handuk dan baju hangat dari awak kapal lain.

"Kenapa Pak Thom tertawa begitu lebar?" Kadek menatapku bingung.Aku tertawa lagi.

"Kenapa, Pak Thom?"Ram, aku menertawakan dia sekarang. Persis saat ini, Pasifik telah tiba di bagian laut yang hilang dari peta navigasi. Kemudi

kapal itu tidak pernah menuju Hongkong. Aku telah mengubahnya, lantas menipu displaynya seolah-olah tetap menuju ke arah Hongkong. Persis saat ini juga, Pasifik kehabisan solar, terapung-apung tanpa tenaga, terjebak di bagian laut yang bahkan sejak Opa muda dulu legendanya sudah mengerikan.Aku tertawa, membayangkan wajah panik Ram saat bangun tidur, melihat ke luar jendela, bukannya gedung-gedung tinggi dan burung camar yang menyambutnya, melainkan hamparan lautan kosong sejauh mata memandang. Dengan logistik di lambung Pasifik, dia boleh jadi bisa bertahan dua hari di sana. Tetapi semua pelaut tahu, bukan soal logistik. Bertahun-tahun, puluhan kapal, bahkan belasan pesawat terbang telah hilang di bagian itu tanpa pernah terjelaskan.

"Kembali ke Jakarta, Kadek!" aku berseru.

"Siap, Pak Thom." Kadek mengangguk.Saatnya aku menyelesaikan urusan lain. Tuan Shinpei.