webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

PERTEMPURAN DI ATAS KAPAL

"HALO, Thomas. Akhirnya kau tiba juga."

X-2, kode untuk petinggi polisi itu, menyapaku, seperti seseorang yang sedang menunggu teman baik di sebuah kafe, atau seperti teman lama yang semringah bertemu tidak sengaja. Bedanya, sepucuk pistol dengan peredam suara teracung di tangannya. Dia bangkit dari duduk menyambutku.

"Aku pikir kau baru datang satu-dua jam lagi, Kawan."

"Dia bukan Kawan, Wusdi. Dia pernah menipu kita." Rekan dekatnya, salah satu jaksa senior, orang kuat di kejaksaan menyahut, bersedekap, berdiri mengawasi kursi panjang di kabin tengah, tempat Opa, Om Liem, dan Maggie dengan tangan terikat, mulut tersumpal, dipaksa duduk berdempetan.

"Menipu?" Wusdi menoleh pada rekannya.

"Dia anak muda yang jujur, Tunga."

"Jujur apa? Di mobil taktis, saat kaupaksa mengaku, dia berteriak, bilang bahwa dirinya hanya konsultan keuangan profesional yang digaji tinggi oleh Liem untuk menyelamatkan Bank Semesta. Ternyata ini reuni keluarga."

"Oh, kau benar. Ini memang reuni keluarga besar." Wusdi ber-oh, pura-pura baru mengerti situasinya, tinggal lima langkah lagi dariku yang mematung di depan pintu kabin. Laras pistol dengan peredam suara teracung sempurna. Pelatuknya siap ditarik jika aku bergerak, melakukan hal bodoh.

Aku menelan ludah, jemari tanganku mengepal, berusaha mengabaikan dialog standar mereka setiap mengintimidasi pengusaha kacangan untuk mendapat keuntungan. Aku berhitung cepat dengan situasi. Ini memang mengejutkan, tapi bukan kejutan besar. Saat menyuruh Kadek membawa Pasifik ke Singapura, bergegas menyusul dengan pesawat terbang, aku tahu persis, cepat atau lambat mereka akan menemukan posisi Pasifik. Pengkhianat itu telah memberitahu. Mataku berusaha menyibak ruangan, membaca posisi masing-masing. Selain Opa, Om Liem, dan Maggie yang terikat di sofa panjang, masih ada dua lagi petugas berseragam kepolisian Singapura dengan pistol teracung berjaga-jaga. Sedangkan Kadek yang baru saja merapatkan kapal di bibir dermaga, digiring turun dari ruang kemudi, tangannya terangkat. Dua petugas lainnya mengawal dari belakang.

Layar televisi ukuran besar yang terpasang di dinding kabin terlihat sedang menyiarkan berita pagi, saluran televisi lokal. Suara­nya dibisukan, hanya gambar-gambar berita silih berganti.

"Nah, kau mau tahu bagaimana kami berada di sini lebih cepat, Thomas?" Wusdi bertanya,mengedipkan mata penuh kemenangan.

"Kebalikan dari omong kosong media massa yang sok tahu, sebenarnya mudah saja menangkap buronan di Singa­pura. Hanya perlu dua hal, jaringan serta kemauan. Soal per­tama, itu mudah, antar petinggi kepolisian pasti kenal satu sama lain. Aku tadi malam bahkan sempat makan malam di restoran mewah Jalan Orchard bersama mereka. Tidak perlu notifikasi interpol, tidak perlu dokumen, hanya basa-basi lisan pertemanan akrab. Mereka ringan tangan meminjamkan empat petugas serta kapal patroli untuk memotong yacht kalian di Teluk Singapura. Nah, soal kedua, kemauan, astaga, jangan tanya tentang kemau­anku, Thomas."

Wusdi tertawa lagi, dia sekarang persis berada di

depanku. Pistol itu sempurna terarah ke wajahku.

Aku mendengus, napasku mulai menderu. Dengan jarak sedekat itu, jantungku berdetak lebih cepat karena kebencian bahkan tidak seperti ini saat bel ronde pertama terdengar di klub petarung.

Opa, Om Liem, dan Maggie menatapku cemas. Mereka terlihat tidak berdaya. Sementara Kadek sudah tiba di ujung anak tangga, terus digiring turun oleh dua petugas, bergabung ke kabin tengah kapal.

"Lihat wajahnya, Wusdi. Kau lihatlah, dia sepertinya marah sekali." Petinggi kejaksaan dengan tangan masih bersedekap itu berseru, tertawa.

"Tentu saja dia marah, Tunga. Sebentar lagi meletus." Rekannya ikut tertawa.

"Kau hati-hati, Wusdi. Bukankah dia berkali-kali menipu anak buahmu dengan mudah?"

"Tidak kali ini, Tunga. Anak muda ini tidak bisa bergerak ke mana-mana. Aku akan meledakkan kepalanya dengan peluru jika dia macam-macam." Orang di depanku melambaikan tangan ke belakang, tetap menatapku dengan senyum jahat yang amat kuingat.

"Nah, sekarang kau mau tahu bagaimana aku tahu posisi yacht mewah kalian ini, Thomas?" Matanya bergerak-gerak senang, seperti anak kecil yang berhasil menjawab tebakan. "Di mana Ram? RAM?" dia berseru memanggil, sambil terus siaga menjagaku.Dari ruang tengah, melangkah masuk pengkhianat itu.

"Astaga, lama sekali kau ke toilet? Kau kehilangan momen terbaik penyambutan, Ram."

Ram sedikit kikuk, menepuk-nepuk celananya yang sedikit basah, melangkah ke tengah kabin. Wajahnya terlihat sedikit kaku. Om Liem terlihat meronta-ronta, berusaha melepaskan ikat­an­nya. Wajah tua Om Liem tersengal oleh kemarahan. Kalau saja mulutnya tidak disumpal saputangan, dia pasti sudah berteriak.

"Ayolah, sudah cukup marah-marahnya, Liem." Tunga yang berdiri di belakang sofa menurunkan tangannya, menepuk-nepuk bahu Om Liem dari belakang. "Ini hanyalah masalah bisnis biasa, jangan terlalu diambil hati. Cincai sajalah."

Wajah Om Liem semakin memerah.

Aku menggeram, berusaha mengabaikan kejadian di atas sofa. Aku menatap lurus ke arah Ram. Yang ditatap hanya mengangkat bahu, sekali lagi menepuk-nepuk celananya yang sedikit basah.

"Reuni keluarga yang hebat, bukan? Kau pasti mengenal Ram." Wusdi terkekeh.Ram tidak banyak bicara, balas menatapku datar.Aku menyumpahi diri sendiri dalam hati, aku terlalu terlambat menyadari situasinya. Bukankah sejak di rumah peristirahatan Opa, penyerbuan di dermaga Sunda Kelapa, posisiku di kantor, pergerakanku ke Bali, tidak ada yang tahu kecuali Ram?

Ram yang selalu bertanya di mana aku. Ram yang selalu ingin tahu di mana Om Liem. Ekspresi wajahnya saat rapat pemilik rekening kakap. Jika aku sedikit curiga, urusan ini tidak akan telanjur rumit. Laporan dua lembar yang dikirimkan Julia hanya menjelaskan duduk persoalannya. Itu dokumen rahasia tentang kepemilikan akhir sebuah perusahaan, ultimate shareholder. Sudah menjadi praktik umum, kepemilikan saham sebuah perusahaan dibuat berlapis-lapis seperti kulit bawang melalui anak-anak perusahaan secara bertingkat. Banyak alasannya, mulai dari menghindari pajak, regulasi, atau sekadar pemiliknya enggan diketahui publik. Dokumen yang dikirimkan Julia menyebutkan empat dari sepuluh debitur Bank Semesta, peminjam paling besar, adalah perusahaan yang dimiliki Tuan Shinpei. Keempat perusahaan debitur yang dimiliki Tuan Shinpei, empat perusahaan yang terdaftar di Cayman Islands serta negara-negara pelindung lain­nya, mendudukkan Ram sebagai salah satu pemilik minoritasnya.Tentu saja urusan ini jadi terang benderang. Tuan Shinpei adalah orang di atas dunia ini yang paling menginginkan Bank Semesta pailit sejak enam tahun lalu. Dengan pailit, utang-

utang empat perusahaannya, yang terdaftar atas nama orang lain di pencatatan Bank Semesta, akan hangus panjang sekali urusan­nya jika itu akan diurus. Pailitnya Bank Semesta juga menyeret belasan perusahaan milik Opa dan Om Liem. Bisnis

properti, perdagangan, dan transportasi, akan runtuh satu per satu. Maka Tuan Shinpei bisa membelinya dengan harga obral.Ram adalah kaki tangan Tuan Shinpei, ditanamkan langsung oleh Tuan Shinpei untuk melakukan banyak hal secara diam-diam.

"Kau ingin memiliki perusahaan besar, Ram?" aku mendesis, menatap Ram.

"Bekerja keraslah. Kau menginginkan semuanya,

tidak sekadar menjadi orang suruhan? Bekerja keraslah. Itu selalu nasihat Opa saat kau masih berseragam, disekolahkan, dibesarkan keluarga ini. Bukan dengan jalan pintas, membalas semua kebaikan itu kepada musuh keluarga. Kau sungguh hebat, Ram. Mengatur begitu banyak transaksi merugikan dari dalam bank, menyusun persekongkolan, bahkan merekayasa seolah-olah

Tuan Shinpeilah salah satu pemilik dana besar di Bank Semesta. Itu hanya angka-angka di atas kertas, bukan? Kausiapkan semua agar cepat atau lambat laporan keuangan Bank Semesta hancur, bukan? Bagaimana rasanya melakukan itu semua,

hah? Mengurus kongsi jahat dari ruangan Om Liem, orang yang mengangkatmu dari kehidupan biasa?"

Ram hanya mengangkat bahu, tidak menanggapi.

Jika situasinya berbeda, aku sendiri yang akan menghajar Ram tanpa ampun, apalagi dengan semua kepura-puraan selama ini. Seolah paling peduli dengan nasib Bank Semesta, paling patuh

pada Om Liem, paling bersahabat denganku.

Aku menghela napas perlahan, berusaha mengendalikan diri. Percuma memaki Ram, dia sudah melatih dirinya menghadapi situasi ini. Tuan Shinpei, tentu saja dialah yang sejak dulu mengatur semua kejadian. Saat rumah dan gudang itu dibakar, dialah yang paling menginginkan bisnis perdagangan itu. Posisi perusahaannya terjepit, juga punya utang pada Papa dan Om Liem. Indah sekali permainannya, sengaja memperalat perwira serta

jaksa muda yang haus kekuasaan serta kekayaan. Membujuk Ram yang ambisius sebagai kaki tangan orang dalam. Aku menatap sudut layar televisi. Layar televisi ukuran besar itu sedang melaporkan breaking news, langsung dari lobi gedung komite. Kadek setengah jalan menuju sofa.

"Kalian menginginkan Bank Semesta hancur, bukan?" Aku tertawa pelan.

"Tuan Shinpei menjanjikan banyak hal pada

kalian jika bank itu bangkrut, bukan? Ram dengan persen tertentu kepemilikan saham. Kalian, aparat pemerintah, upah setoran besar karena membantu penyelidikan atas Bank Semesta. Tentu saja kalian mengambil inisiatif, semangat sekali membantu

Tuan Shinpei.

"Kalian telah gagal, Kawan. Gagal total." Aku tertawa, menatap wajah-wajah mereka.Wusdi dan Tunga menatapku, tidak mengerti.Aku tertawa semakin bahak, menatap wajah-wajah bingung

mereka."Lihatlah, komite ternyata memutuskan menyelamatkan Bank Semesta." Aku menunjuk layar televisi, kembali menatap Ram.

"Baca jelas-jelas headline-nya, Ram. Bank Semesta ditalangi! Bail out. Nah, mungkin sekarang kita perlu mengeraskan volume televisi untuk mendengar pidato Ibu Menteri secara langsung."

Wusdi dan Tunga menoleh ke layar televisi. Ram gugup membaca cepat headline yang tertulis di bawah layar televisi: Breaking News: Indonesian government decided to rescue Bank Semesta.

Aku masih tertawa panjang. Seluruh pion yang kuletakkan di atas papan catur selama dua hari terakhir telah bekerja. Pukul 06.00, dua jam lagi perkantoran dan perbankan dibuka. Telepon sakti itu telah mengubah pendirian dan prinsip kukuh Ibu

Menteri. Urusan Bank Semesta telah selesai.

Aku telah memenangkan skenario hebat itu.

Saatnya aku menyelesaikan urusan masa lalu. Tanganku bergerak cepat. Sepersepuluh detik, saat mereka masih memperhatikan layar televisi, terperangah dengan berita itu, aku sudah menyerbu Wusdi di depanku. Mereka benar-benar salah memilih lokasi pertempuran. Kapal ini milikku, hadiah ulang tahun dari Opa. Aku amat mengenal setiap jengkalnya, dan akulah petinju paling ganas di klub petarung.

"Kadek! Habisi yang di belakangmu!" aku berteriak lantang, memecah kesunyian dermaga yacht.

Kadek yang jelas membaca kode dari kedipan mataku beberapa detik lalu, tangannya meraih ornamen besi di dinding kabin bahkan sebelum teriakanku habis.

"Wacth out!" dua polisi Singapura yang menjaga sofa ber-teriak.Suara senjata semiotomatis meletus bersahut-sahutan, merobek palka, langit-langit.

Dua detik senyap, salah satu polisi Singapura itu terkapar dengan wajah berdarah, satunya lagi tertatih berusaha berdiri, terkena hantaman ornamen besi. Aku sudah berhasil merebut pistol milik petinggi kepolisian di hadapanku, membantingnya duduk, mengarahkan moncong pistolnya ke pelipis, membuatnya tidak bisa bergerak kecuali mengaduh kesakitan.

"Jangan bergerak! Atau aku ledakkan kepalanya!" aku berseru galak.Lengang. Napas-napas menderu.

Kadek terkapar dengan luka tembak di paha. Semoga saja hanya terserempet peluru. Tangannya masih menggenggam ornamen besi. Dua polisi Singapura yang tersisa menahan tembakan demi mendengar teriakanku. Wajah Maggie tampak pucat dia hendak menangis karena takut. Opa dan Om Liem gemetar di atas sofa.

"Jangan coba-coba!" aku membentak salah satu polisi Singapura yang hendak melangkah maju, sekarang senjata semiotomatis­nya terarah padaku. Satu laras lain terarah ke kepala-kepala di sofa. Petinggi kejaksaan itu juga memegang pistol sekarang, terarah persis ke kepala Opa.

"Jangan pernah coba-coba!" aku mendesis, mengancam.Mata kami bersitatap tajam. Berhitung detik demi detik.