webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

PENGHIANAT DARI MASA LALU

LAPORAN dengan penanda "strictly confidential" yang dikirimkan Julia hanya dua lembar. Dalam bentuk dokumen online terenkripsi, dengan password yang disertakan Julia lewat e-mailnya. Tetapi itu cukup untuk menjelaskan banyak hal. Aku mengeluh tertahan. Tanganku dengan cepat, sedikit gemetar, berusaha membuka file yang dikirimkan Maggie tadi pagi. File yang berisi daftar debitur kelas kakap Bank Semesta. Aku memeriksa cepat spreadsheet berisi dua puluh nama perusahaan atau grup konglomerasi peminjam uang terbesar di Bank Semesta.

"Ada apa, Thom?" Rudi yang asyik meluruskan kakinya menoleh. Dia menguap, terlihat lelah. Sudah pukul sepuluh malam, taksi meluncur cepat menuju salah satu hotel di jantung kota.Aku menggeleng resah. Tidak menjawab, ujung jariku masih bolak-balik membuka beberapa file. Mataku sempurna tertuju ke layar telepon genggam. Ini tidak mudah dipercaya. Bagaimana mungkin?

"Ada apa, Thom?" Rudi bertanya lagi, tertawa kecil. "Wajahmu mendadak kusut seperti habis ditinju KO oleh anggota klub yang masih ingusan. Ayolah, kau lebih tangguh dibanding siapa pun, kecuali melawanku tentu saja."Aku justru berseru pelan. Mataku persis menemukan nama-nama yang dimaksud dalam laporan rahasia milik relasi review

keuangan tempat Julia bekerja, membuat sopir taksi menoleh, ingin tahu apa yang terjadi.

"Eh, ada apa, Pak? Ada perubahan tujuan?"

Aku mengabaikan dua kepala yang bertanya. Aku bergegas menekan tombol alamat telepon Kadek. Aku harus segera menghubungi Kadek, aku mendesis tidak sabaran. Urusan ini serius sekali.

Astaga, aku sudah memikirkan ini begitu lama, sejak sekolah di asrama, sejak berangkat menyelesaikan sekolah bisnisku, sejak meniti karier menjadi konsultan keuangan. Dua bedebah dari masa lalu itu terlalu pintar untuk menjadi otak kejahatan.

Mereka hanyalah bayang-bayang. Tidak lelah aku mengumpulkan ribuan kliping koran, berita tentang mereka, menelusuri banyak hal, menghubungkan informasi yang tersedia, melacak semuanya, tetap saja bagian itu menjadi misteri.Pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Setinggi apa pun posisi mereka saat ini, yang satu adalah orang kuat di kepolisian, satu lagi di kejaksaan, mereka tetaplah kuli lapangan. Jika mereka memang sehebat itu, sepintar itu, mereka jelas akan memilih ber­henti menjadi aparat negara, memutuskan membangun sendiri imperium bisnis dan kekuasaan. Buktinya tidak, mereka hanya asyik menakut-nakuti pebisnis kelas bawah, tetapi tergopoh membungkuk mencucikan kaki pebisnis raksasa.

Aku mengeluh. Ini sudah pukul sepuluh malam. Enam kali nada panggil, tidak ada yang mengangkat. Jangan-jangan mereka sudah tidur. Jangan-jangan telepon satelit Kadek tertinggal di

ruang tengah. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Pikiran buruk menyelimuti otakku.

"Halo, Pak Thom, selamat malam?"Aku mendengus lega.

"Pasifik sekarang berada di mana, Kadek?"

Kadek menyebutkan lintang dan bujur posisi yacht.

Aku menyumpahi Kadek. Dalam situasi seperti ini mana sempat aku menerjemahkan posisi angka-angka. Kadek selalu saja merasa sedang berlayar resmi dan dia menjadi asisten nakhoda.

"Itu persisnya berapa kilometer dari perairan Jakarta, Kadek?"

"Kami sudah jauh dari Jakarta, Pak Thom. Tujuh ratus kilometer. Tujuh-delapan jam lagi dari Singapura. Tadi siang sebenarnya Opa meminta saya mengarahkan kapal untuk terus saja bergerak ke arah barat laut. Dia sekali lagi ingin menyusuri rute

pengungsiannya dulu, meskipun dia bilang ke Pak Thom lewat telepon hanya melepas jangkar di sekitar Kepulauan Seribu. Mengenang masa lalu. Pak Thom seperti tidak tahu kebiasaan..."

"Semua baik-baik saja, Kadek?" aku memotong penjelasan Kadek. Lupakan, sekarang bukan saatnya memprotes kebiasaan kakek tua itu, yang suka berbohong tujuan kapal sebenarnyakepadaku.

"Semua baik, Pak Thom. Logistik dan bahan bakar cukup untuk berlayar dua hari. Opa, Om Liem, dan Bu Maggie beristirahat di kamar masing-masing. Saya tadi hendak mengaktifkan kemudi otomatis agar bisa punya waktu merapikan palka, buritan, dapur. Tapi karena Pak Thom bilang semua harus terkendali, kemudi saya pegang terus. Saya tidak mengantuk, Pak Thom. Ini justru seru, sudah lama sekali tidak beramai-ramai berlayar."

"Baik." Aku mendengus, berpikir cepat. Pasifik sudah setengah jalan, boleh jadi ini lebih baik, kabur ke Singapura terlebih dulu, hal lain diurus belakangan. "Dengarkan aku, Kadek, kau melaju dengan kecepatan penuh ke Singapura. Jangan hubungi siapa pun, jangan terima telepon siapa pun. Aku akan menyusul ke Singapura dengan pesawat terbang."

"Eh, Pak Thom menyusul segera? Eh, sebenarnya ada apa, Pak?" Kadek ragu-ragu menyela, mendengar intonasi suara­ku yang tegang.

"Jangan banyak tanya dulu, Kadek. Lakukan perintahku."

"Siap, Pak Thom." Kadek terdengar sigap.

"Nah, kaupastikan Om Liem tidak menerima telepon dari siapa pun hingga besok. Kau mengawasinya terus, bukan? Dia tidak menghubungi atau dihubungi sepanjang hari?"

"Tidak, Pak Thom. Setahu saya tidak ada yang menghubungi. Eh..."

"Kau harus tiba di pelabuhan Singapura sebelum pukul enam pagi, Kadek. Pacu kapal secepat yang bisa mesin Pasifik lakukan. Aku segera menyusul."

Aku sudah menutup telepon genggam sebelum Kadek bilang siap untuk kedua kalinya. Aku menekan tombol alamat kontak, mencari nama Julia. "Kita menuju ke bandara sekarang," seruku

pada sopir taksi.

"Bandara?" Itu pertanyaan memastikan dari sopir taksi."Bandara?" Itu pertanyaan bingung dari Rudi.

"Bandara satunya, Soekarno-Hatta. Aku harus segera berangkat ke Singapura malam ini juga, Rud. Situasi darurat." Mataku ke layar telepon, satu kali nada panggil.

"Selamat malam, Thom." Cepat sekali Julia mengangkat panggilan teleponku.

"Malam, Julia." Aku tahu Julia belum tidur. Dia bersama belasan rekan wartawan lainnya sedang menunggu rapat komite stabilitas sistem keuangan sebenarnya banyak sekali orang yang sedang menunggu kabar dari rapat penting tersebut, termasuk aku, menunggu di detik kapan persisnya telepon tidak bisa ditolak itu akan diterima ketua komite.

"Aku butuh bantuan lagi, Julia. Kau tidak keberatan?"

"Tentu tidak, Thom. Dengan senang hati. Silakan." Suara Julia terdengar riang.

Aku menyeka dahi yang berpeluh, aku sungguh butuh kecepatan saat ini. Meskipun Bandara Soekarno-Hatta sepertinya tidak lagi dipadati polisi yang mencari kami, aku tetap tidak bisa melakukan transaksi apa pun atas namaku. Mereka pasti bersiaga dengan informasi seperti itu. Aku meminta Julia segera memesankan satu tiket ke Singapura malam ini juga.

"Itu mudah, Thom. Tunggu lima menit, segera aku kirim tiket onlinenya lewat e-mail." Julia tidak banyak bertanya, mengangguk.

"Terima kasih, Julia." Aku bersiap menutup telepon.

"Kau sudah baca e-mail terakhirku, bukan?"

"Sudah. Terima kasih."

"Eh, sebentar, kau terpaksa harus ke Singapura malam ini juga karena e-mail itu, Thom?"

"Iya. Terima kasih."

"Eh, kau hati-hati, Thom. Setidaknya kau harus mendengar dan melihat sendiri hasil semua skenario hebat itu. Aku memasang taruhan, Bank Semesta akan diselamatkan. Delapan banding dua, wartawan lain lebih banyak bilang tidak dengan

reputasi Ibu Menteri, lobi depan gedung kementerian ramai sekali malam ini, seperti sedang menonton siaran langsung sepak bola."

"Iya, terima kasih, Julia." Aku buru-buru menutup telepon, mengabaikan antusiasme suara Julia membiarkan di seberang sana Julia berseru mengkal dengan wajah memerah.Taksi sudah meluncur menaiki ramp tol bandara.

"Ada apa?" Rudi menyikut lenganku, nyaris sepuluh menit dia diabaikan. Wajah lelahnya sudah pergi, berganti wajah siaga, seperti siap meninju siapa pun.

"Tidak bisa kujelaskan sekarang, Rud." Aku menggeleng.

"Sekali ini benar-benar terlalu personal."

"Ayolah." Rudi menyengir, tertawa. "Kita teman baik, bukan? Aku bisa membantu."

"Tentu kau bisa membantu, dan kau selalu membantuku. Tetapi ini urusan keluarga, Rud. Bukan lagi soal menyelamatkan Bank Semesta."

Aku menggeleng sekali lagi. "Kau sudah membantu banyak dengan menemaniku ke Denpasar, membantu lolos dari mereka. Kali ini, biar aku yang menyelesaikannya sendirian."Rudi diam, menyelidik.

"Besok siang, jika keputusan komite adalah menyelamatkan Bank Semesta, seperti janjiku, aku akan membayar lunas semua bantuanmu, lengkap dengan bunga-bunganya. Itu janji petarung, kau tahu persis nilainya. Posisi, martabat, kariermu sebagai polisi akan pulih." Aku menepuk lengan Rudi penuh penghargaan.Seharusnya aku bisa menjelaskan lebih baik pada Rudi, tapi dengan taksi yang melaju cepat menuju bandara, waktuku terbatas. Setiba di bandara, aku harus segera loncat menuju lobi keberangkatan. Aku harus bergegas check-in, menyumpal petugas imigrasi, mengejar pesawat.

"Terima kasih banyak atas semua bantuanmu, Rud. Berdoa sajalah aku baik-baik saja. Kalau tidak, klub petarung tidak akan sama lagi, bukan? Tidak ada lagi yang bisa menghajarmu." Aku mencoba bergurau, melirik layar telepon genggam, ada notifikasi e-mail masuk. Itu pasti tiket online yang dikirimkan Julia.Rudi mengusap rambutnya yang terpotong pendek, ikut tertawa.

"Kau tidak berutang apa pun, Thom. Aku sudah bosan dengan semua hipokrasi, hanya itu alasanku membantumu. Terserah kaulah. Jika ada apa-apa, tinggal kontak saja. Aku akan membantu dengan cara apa pun."Aku mengangguk. Rudi, dan semua anggota klub petarung, adalah teman yang baik.

Sayangnya, dalam urusan ini, aku akan menyelesaikannya sendirian, Rud. Tanganku sendiri yang akan membasuh seluruh masa lalu itu. Tiga puluh dua tahun aku menunggu saat-saat ini.

Aku mengingat semua detail. Asap hitam membubung tinggi dari rumah dan gudang milik Papa. Abu beterbangan. Tetangga menjerit panik, berusaha mati-matian menahanku agar tidak mendekat. Orang-orang bayaran yang berteriak buas, merusak apa saja, membakar apa saja. Sepeda tergeletak. Botol susu berhamburan. Buntalan kain yang berisi pakaian seadanya tersampir di pundakku. Aku duduk menatap ke luar jendela kaca bus yang meninggalkan kota kami.

Aku tahu sejak dulu, dua bedebah itu hanyalah bayang-bayang. Tetapi aku baru tahu beberapa menit lalu, ada pengkhianat besar dalam keluarga kami. Tanganku gemetar mencengkeram telepon

genggam. Beberapa jam lagi semua bagian akan terselesaikan.