webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

PELUANG 3 KOTAK

USIAKU menjelang empat belas tahun saat aku pertama kali me­ngunjungi Opa. Libur panjang sekolah, membawa ransel kecil di punggung, aku menumpang angkutan umum dari sekolah berasrama. Malam terakhir di sana, aku dan Opa berdua menghabiskan waktu dengan duduk santai di beranda belakang, menonton televisi, acara kesayangan Opa. Acara kuis, tiga layar terpentang

lebar menutupi hadiah. Satu peserta yang maju ke babak bonus menghadapi situasi "hidup-mati", membawa pulang hadiah besar atau kembali dengan tangan hampa. Dialah finalis kuis.

"Satu di antara tiga layar ini adalah sebuah mobil mewah terbaru." Pembawa acara memasang wajah semringah, menunjuk layar televisi besar yang segera menayangkan bentuk dan rupa mobil itu.

Penonton di studio bertepuk tangan antusias. Wajah finalis kuis menyimpul senyum.

"Satu lagi adalah seekor sapi perah yang gemuk." Pembawa acara tertawa.Penonton di studio ikut tertawa."Ayolah," pembawa acara mengangkat bahu, "saya tidak ber-gurau. Sungguhan seekor sapi. Kami menyediakan truk besar untuk membawanya pulang nanti."Penonton di studio tertawa lagi, finalis kuis manggut-manggut tertawa pelan.Aku ikut tertawa, meletakkan garpu ke atas piring pembantu rumah Opa memasak menu lezat untuk menemani malam santai. Di sekolah berasrama jangankan menonton, televisi satu

pun tidak ada di sana. Terlepas dari fakta itu, aku segera mengerti, pantas saja Opa suka menonton acara kuis ini, menarik. Lihat, Opa sudah terkekeh di sebelahku.Pembawa acara mengangkat tangan, menyuruh penonton di studio diam sejenak. Musik latar terdengar lebih cepat. "Nah, sayangnya, pemirsa di rumah dan hadirin di studio, satu layar

lagi, tentu saja, menutupi sebuah kotak sampah." Layar televisi besar segera menunjukkan kotak sampah berwarna kuning yang sering kalian lihat di trotoar jalanan.Penonton di studio tertawa meski tidak sekencang soal sapi tadi.

Finalis kuis tersenyum meski senyumnya sekarang terlihat kecut.

"Baiklah, mari kita bermain. Anda pilih layar yang mana, Bung?" Satu, dua, atau tiga?" Amat bergaya pembawa acara menawar­kan kesempatan pertama kepada finalis.Permainan babak terakhir telah dimulai. Lima menit berlalu tegang. Finalis memilih layar satu.

"Anda yakin?"Finalis kuis mengangguk.

"Baik. Kita kunci layar satu."Hadirin di studio bertepuk tangan menyemangati.

"Kalau begitu, tolong dibuka layar nomor dua, layar yang tidak dia pilih," pembawa acara memberi perintah. Layar dua segera tergulung ke atas.

Aku terpingkal bersama Opa, juga bersama penonton di studio sampai melupakan wajah supertegang finalis yang merangkai doa. Di balik layar dua, sungguhan seekor sapi gemuk terlihat gelisah, moncongnya diikat rapat. Seorang peternak andal sejak tadi berdiri di sebelah sapi itu, mengelus-elus pundak si sapi, agar sapi itu diam dan tidak membuat pertanda ada seekor sapi di balik layar dua.

"Bukan main. Mari kita lupakan sapi perah barusan. Permainan ini semakin menarik." Pembawa acara menghela napas."Tersisa dua layar, Bung. Satu adalah mobil mewah terbaru. Satu lagi kotak sampah berwarna kuning." Pembawa acara

mengangkat tangan, memberi tanda.Penonton di studio kembali hening. Wajah finalis semakin

tegang.

"Anda sudah memilih layar nomor satu. Apakah kita akan membuka layar nomor satu sekarang?"

Penonton berseru-seru antusias, mengangguk.

Pembawa acara tertawa, menggeleng takzim. "Kita buat acara ini lebih menarik."Penonton justru semakin berseru-seru antusias.

"Saya tidak tahu layar mana yang menyembunyikan mobil mewah itu. Percayalah. Hanya Tuhan dan beberapa orang di belakang studio yang tahu. Bahkan keputusan di mana mobil itu berada, baru dilakukan beberapa menit sebelum babak bonus. Nah, karena saya tidak tahu, semua orang di sini juga ti­dak tahu, saya akan memberi Anda kesempatan menukar pilih­an. Tetap di layar nomor satu? Atau pindah ke layar nomor tiga?"

Aku menelan ludah, benar-benar melupakan makanan lezat di atas piringpadahal makanan di sekolah asrama tidak pernah selezat ini. Mataku sempurna tertuju ke layar kaca. "Tetap di layar satu atau pindah ke layar tiga?" Pembawa acara mendesak, mengulangi pertanyaan kesekian kali. Sudah dua menit berlalu tanpa keputusan.

"Pindah." Terdengar jawaban mantap. Tetapi itu bukan jawaban finalis kuis. Itu suara Opa di sebelahku.Aku menoleh, menatap wajah Opa yang terlihat begitu yakin."Kalau kau dalam situasi seperti ini, kau akan pindah, Tommi," Opa menjawab santai."Bagaimana Opa tahu?"

"Pindah saja. Insting.""Tapi Opa tidak tahu di mana mobilnya, bukan?""Karena itulah. Ketika tidak ada yang tahu, permainan berjalan adil dan sebagaimana mestinya, maka seorang penjudi

ulung, seorang petaruh berpengalaman akan memilih pindah."

"Kenapa?" aku mendesak.Opa terkekeh. "Mana Opa tahu, Tommi. Itu hanya naluri, sekadar insting seorang petaruh."Waktu itu umurku menjelang empat belas tahun. Aku tidak paham naluri dan insting yang dikatakan Opa meski aku tahu

sekali, sejak me­mutuskan mengarungi lautan, mengungsi dari tanah kelahir­annya, Opa tumbuh menjadi pelaku bisnis yang hebat, petaruh sejati.

Aku baru tahu penjelasan itu di sekolah bisnis.

Salah seorang guru besar, yang juga penjudi ulung di Texas pekerjaan sampingan selain akademisi—memberikan kasus yang sama. Ada tiga kotak di depan kelas, di manakah yang berisi selembar tiket pesawat?Profesor itu menunjukku, memintaku bermain.Aku menyeringai. Di bawah tatapan puluhan pasang mata peserta mata kuliah matematika bisnis tingkat lanjut yang antusias, aku sembarang menunjuk kotak. Hanya permainan

memperebutkan tiket, bukan hidup-mati seperti peserta kuis sepuluh tahun lalu yang aku tonton bersama Opa.Profesor mengangkat kotak lain yang tidak kupilih, kosong. Dia tertawa. "Nah, Thomas, sekarang tinggal dua kotak tersisa. Kau akan tetap memilih kotak sebelumnya, atau kau akan pindah?"

Ruangan kelas menjadi sedikit tegang.

Saat itulah, ilham pengetahuan itu masuk ke kepalaku. Opa benar sekali. Aku dengan santai bilang, "Pindah."Ruangan besar kelas kami dipenuhi seruan.Profesor mengedipkan mata, menyuruh mereka diam. "Kenapa kau memilih pindah, Thomas?"Aku tertawa pelan, mengusap wajah. Entah bagaimana caranya, aku paham seketika teori berjudi Opa. Bukan karena naluri, melainkan karena setelah sepuluh tahun berlalu, belajar banyak hal, berada dalam kelas yang mengagumkan ini, penjelasan itu datang sendiri di kepalaku, sungguh bukan insting.

Penjelasannya amat sederhana. Ada tiga kotak, itu berarti kemungkinan kalian memenangkan pertaruhan adalah 33,3%, alias sepertiga. Itu kemungkinan yang rendah, bahkan di bawah

50%, permainan "ya" atau "tidak". Ketika aku memilih salah satu kotak, lantas profesor di depanku membuka kotak lain yang ternyata kosong, maka kemungkinanku sekarang adalah 50%, bukan? Apakah aku akan pindah? Ingat rumus ini: Jika kalian tetap di pilihan sebelumnya, variabel baru yang hadir dalam permainan tidak diperhitungkan. Jika kalian tetap di pilihan pertama, dengan dua kotak tersisa, kesempatan kalian untuk menang sesungguhnya bukan 50%, melainkan tetap 33,3%,

karena kalian tetap memilih kotak yang sama dari tiga kotak sebelumnya.Pindah! Lakukan segera, tutup mata. Dengan demikian, kalian memasukkan variabel baru dalam permainan. Berapa kesempatan kalian menang? 50%? Tidak, kalian menjadikannya 66,6%. Ada tiga kotak dalam permainan, dan kalian diberi kesempatan memilih dua kali. Apakah kalian otomatis akan memenangkan permainan? Tentu tidak, masih ada 33,3% kemungkinan kalah. Tetapi kemungkinan 66,6% jauh lebih baik. Aku tidak akan seperti peserta kuis yang keukeuh sekali dengan pilihan awal, resisten sekali mengubah pilihan. Aku memilih pindah.Ruangan kelas lengang sejenak setelah penjelasanku.Profesor menatapku tajam. "Kau yakin, Thomas?"Aku tersenyum simpul. Ini mata kuliah matematika bisnis tingkat lanjut. Aku sama sekali tidak berjudi, aku menggunakan logika. Tentu saja teori ini hanya berlaku jika lawan bermain kalian tidak curang. Kalau pembawa acara kuis tahu di mana mobil itu berada, dia bisa menipu peserta dengan membujuk-bujuk, memanipulasi kalimat-kalimatnya, hingga peserta terkecoh.

"Buka saja, Prof." Aku tertawa.

* * * *

Tidak ada pertaruhan hidup-mati di meja judi. Semua soal persentase dan logika. Maka jika di meja judi saja tidak ada, apalagi di dunia nyata.

Tidak ada skenario Russian Roullette dalam kehidupan nyata. Kita selalu saja punya kesempatan untuk memanipulasi situasi, bertaruh dengan sedikit keunggulan.Orang Cina bijak zaman dulu bilang, tempat yang paling aman justru tempat paling berbahaya, dan sebaliknya tempat yang paling berbahaya justru tempat yang kalian pikir paling

aman. Itu benar sekali. Ahli strategi perang masyhur Cina itu, ketika menemukan pertama kali kalimat bijak ini, boleh jadi tidak dibekali dengan ilmu matematika tingkat lanjut, tapi dia jelas memiliki pengalaman panjang, naluri serta insting seperti

yang dikatakan Opa."Putar haluan, Kadek!" aku berteriak, berlari-lari kecil menaiki anak tangga.

"Ya, Pak Thom?" Kadek menatapku bingung. Kami sudah belasan kilometer meninggalkan dermaga yacht Sunda Kelapa, kabur dari polisi yang membabi buta menembaki kapal."Kita kembali ke Jakarta," aku menjawab dingin.Kadek menelan ludah."Lakukan saja, Kadek." Aku mengangguk yakin.Lima menit lalu aku memastikan Opa dan Om Liem baik-baik saja. Seluruh kapal juga baik. Mesin, sistem sanitasi, air, gudang, logistik, dan sebagainya baik. Lima menit aku berpikir cepat. Tidak, lari ke Manila hanya membuat situasi semakin buruk.

Aku akan mengambil mata dadu terbaik dalam pertarungan ini. Kembali ke Jakarta.Profesor sekolah bisnis menepuk bahuku setelah kelas usai. Ruangan besar lengang. "Kau muridku yang paling brilian,

Thomas. Tidak sekadar soal logika, tapi gestur wajah, senyuman, bahkan tatapan mata yang berkelas. Itu tiket pulang-pergi ke Texas, Thomas. Kalau kau mau, kau bisa bergabung bersamaku

menaklukkan kasino-kasino besar di sana. Kita bertaruh dengan kemenangan di tangan. Kau bisa membawa pulang ratusan ribu dolar dari kunjungan singkat dua hari di sana. Mau?"Aku tertawa. "Aku harus mengerjakan paper dari Anda, Prof."