webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

PELARIAN

MOBIL merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas tetapi terasa sempit dengan pemandangan yang ada.

Dua mobil taktis polisi terparkir. Beberapa mobil lain, entah milik siapa, ditambah satu mobil ambulans merapat persis di depan pintu masuk.

Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar-masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan.

Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga

bayaran. Mereka tidak akan melawan.

Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat.

Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah.

Wajah mereka kalut. Mereka berbicara pelan satu sama lain.

Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah. Para petugas mengenakan seragam pelindung, seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen

serta bukti lain yang mereka gotong keluar.

Aku menghela napas pendek.

Ada yang lebih mendesak. yaitu

"Tante Liem"

Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.

Pemandangan yang suram.

Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, dokter berdiri di sebelahnya, dibantu

dua perawat, berusaha memasangkan infus dan slang lainnya.

"Akhirnya kau datang juga." Suara serak Om Liem lebih dulu

menyapa sebelum aku menyapa Tante.

Aku mengangguk membiarkan dia memelukku.

"Duduk di dekatku, Tommi." Itu suara Tante, memanggilku.

"Kapan Tante siuman?" Aku menelan ludah,

menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat

dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.

"Lima belas menit lalu," dokter yang menjawab.

Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.

"Semua sudah berakhir, Tommi." Tante menatapku lamat-lamat.

"Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya."

Aku menatap getir wajah Tante, yg berkaca-kaca.

"Mereka hanya memberikan waktu sebentar," Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku. "Jika tantemu sudah

mem­baik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi."

"Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?" Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan

Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.

Om Liem menggeleng, tertawa suram.

"Bukankah kau teman dekat pejabat partai yang berkuasa?

Menteri-menteri? Atau bahkan presiden? Atau kolega bisnis?

Bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?"

Aku menyebut daftar kemungkinan.

"Kau tidak mendengarkan tantemu. Semua sudah berakhir,

Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif. Polisi yang berjaga di ruang depan

membawa surat perintah."

Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.

Aku menelan ludah. "Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnismu selama puluhan tahun?

Bukankah dia akan senang hati mem­bantu?"

Om Liem menggeleng.

"Grup mereka juga dalam kesulitan.

Aku sudah menelepon Shinpei, memberitahukan situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin.

tidak bisa membantu."

Aku mengembuskan napas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takzim, prihatin,

dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.

"Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus tantemu dan adik-adik sepupumu selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-

baik saja." Suara serak Om Liem memecah lengang.

Astaga! Aku menelan ludah.

"Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apa pun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan.

Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menandatangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang tua ini. Bahkan

jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita." Om Liem menyentuh tanganku.

Ruangan semakin senyap.

"Kau pernah masuk penjara, Ram?" tanya Om Liem tertawa getir, menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang ke­percayaannya di induk perusahaan. "Aku pernah, Ram. Saat

usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, papa dan mamanya Thomas meninggal.

Sejak hari itu, Thomas membenciku."

"Hentikan!" Aku menyergah kasar, mataku panas.

Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.

"Hentikan omong kosong ini." Aku tersengal, berusaha mengendalikan napas. "Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini."

"Ini bukan omong kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar."

Om Liem menatapku datar.

"Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar." Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.

"Apakah polisi di luar tahu bahwa Tante sudah siuman?

" aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.

Dokter menggeleng. "Belum ada yang memberitahu mereka."Itu kabar bagus. Aku mengepalkan tinju.

"Apakah kondisi Tante stabil?" Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.Dokter mengangguk.

"Baik, dengarkan aku!" Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang.

"Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai."

Wajah-wajah mereka tampak bingung.

"Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!"

Aku mengacungkan telunjuk pada salah satu perawat.

"Buat apa?" Dokter memotong perintahku, bingung.

"Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawatmu bergegas!" aku berseru. "Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi

dokter keluarga ini?

Bukankah kau dulu salah satu anak yang

disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku."

Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.

"Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah."

Aku menarik salah satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan.

"Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan per­nah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?"

Perawat itu menganggukbmeski masih dengan wajah bingung.

"Apa... apa yang sedang kaulakukan, Tom?" Om Liem bertanya gugup.

"Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apa lagi?" aku berseru cepat. "Kau, ya, kau bantu melepas infus dari tangan Tante Liem. Segera!"

aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.

"Apa yang kaurencanakan, Tom?" Om Liem bertanya untuk kedua kali.

"Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, dua jam dari sekarang kita sudah ribuan kilo meter dari kota sialan ini,"

aku berkata cepat pada Om Liem.

"Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan,percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan

yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari."

"Aku... aku tidak akan melakukannya, Tommi." Suara Om Liem terdengar bergetar.

"Tidak ada pilihan. Kau harus lari!"

aku berseru gemas.

"Aku tidak mau jadi buronan, Tom." Om Liem menggeleng, refleks melangkah mundur.

"Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi!"

aku membentaknya. "Turuti semua pe-

rintahku, dan semua akan baik-baik saja."

Aku menoleh ke sisi lain. "Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di ke­polisian yang memimpin kasus ini?"

Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah dia sebutkan di mobil saat menjemputku.

"Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?"

Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang.

"Mereka tidak akan berhenti. Percayalah, kau tidak

akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu.

Dua orang ini akan membuatmu dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa."

Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu.

Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.

"Kalian tidak boleh masuk."

"Kami harus tahu apa yang terjadi!" Komandan polisi memaksa.

"Astaga? Apa lagi yang ingin kalian tahu!"

Aku memasang badan agar mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam.

"Nyonya rumah terbaring sekarat, dia butuh segera dibawa ke rumah sakit. Tuan rumah tidak akan ke mana-mana. Lihat, dengan memakai tongkat, tangkapan kalian tidak akan bisa

kabur dari sini, bahkan berjalan seratus meter pun dia tidak akan kuat."

Para petugas saling lirik.

"Kalian akan terus menonton, atau lebih baik menunggu di ruang depan?" Aku melotot. "Percayalah, setelah nyonya rumah

dibawa pergi oleh ambulans, kalian dengan mudah bisa memborgol Tuan Liem. Besok kalian akan mendapatkan kenaikan pangkat atas tangkapan hebat ini."

komandan polisi terlihat ragu-ragu, tetapi aku sudah balik kanan, kasar menutup pintu.

"Kau naik ke atas ranjang dorong," aku mendesis.

Om Liem tampak bingung.

"Pasangkan infus dan semua slang di tangannya." Aku menyuruh perawat yang juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Aku, aku tidak bisa membiarkan ini, Thom!" Dokter berseru tertahan, sepertinya dia orang pertama yang mengerti apa yang akan kulakukan.

"Kau akan membiarkannya, Dok."

Aku menatapnya galak, meraih stick golf di pojok kamar."Aku akan memukul siapa saja yang menghalangiku."Kemudian kutatap Om Liem.

"Kau naik ke atas ranjang."

Om Liem patah-patah naik, berbaring. Aku segera menyuruh dua perawat bekerja di bawah ancaman stick golf. Mereka takut-takut segera menyelimuti tubuh tua itu, memasang masker di wajah, memasang penutup kepala, infus, alat bantu pernapasan, apa saja yang bisa membuat kamuflase.

Om Liem harus segera dibawa kabur. Tanpa tanda tangan Om Liem, tidak ada satu pihak pun yang bisa mem­bekukan Bank Semesta atau mengambil alih perusahaan lain.

Aku tidak bisa melarikan Om Liem begitu saja dari rumah, melewati belasan polisi yang sejak empat jam lalu tidak sabaran. Aku akan menukar Tante dengan Om Liem.

Rencana ini nekat, meski perawat sudah berusaha membuat tampilan Om Liem yang terbaring

tidak dikenali lagi dengan selimut dan peralatan medis. Jika ada salah satu petugas polisi yang detail memeriksa, mereka dengan cepat akan tahu.

Tetapi dalam situasi panik, darurat, pukul dua

dini hari, tetap ada kemungkinan skenario ini berhasil.

"Berjanjilah, Tante akan baik-baik saja setelah kami kabur,"

aku berbisik pada Tante Liem sebelum mendorong ranjang da­rurat yang di atasnya sudah terbaring tubuh gemetar Om Liem.

Tante masih menatapku bingung. Sebelum dia mengucapkan satu patah kata,

aku sudah mengucapkan kalimat terakhir. "Percayalah, beri aku waktu dua hari, semua kekacauan akan dibereskan."

Tante menelan ludah, mulutnya kembali tertutup.

"Kalian," aku menunjuk empat perawat yang masih gentar melihat stick golf yang kupegang,

"bantu aku berpura-pura seperti situasi darurat. Berteriak-teriak, suruh polisi meyingkir

yang berjaga di ruang tengah.

Kau, Dok, pimpin rombongan

paling depan, bertingkahlah seperti dokter yang galak dalam situasi darurat. Kau paham?"

Dokter di hadapanku menelan ludah, aku mengacungkan stick golf tinggi-tinggi.

"Ram, kau tetap tinggal di sini. Pastikan kau mengurus Tante. Kalian tahan polisi selama kalian bisa, berbual, karang alasan, bilang Om Liem tiba-tiba sakit perut, ada di toilet, atau bilang

Om Liem memanjat jendela, kabur ke taman belakang. Beri kami waktu lima belas menit menuju bandara,

Ram. Pastikan kau membangunkan salah satu staf perusahaan untuk menyiapkan tiket, paspor, dan dokumen perjalanan kami. Segera

me­nyusul ke bandara. Ada penerbangan ke Frankfurt, transit di Dubai pukul 3 dini hari, 45 menit lagi. Kita lakukan ini demi Om Liem, orang yang telah membantu banyak kalian selama

ini,"

aku mendesis, menatap tajam semua orang dalam kamar.Mereka balas menatapku tegang.

Mereka sepertinya sudah sempurna paham apa yang akan terjadi.

Aku menatap pintu kamar lamat-lamat, lima detik berlalu, menghela napas, mendesis,

"Sekarang atau tidak sama sekali. Semuanya ikuti aku!"

Aku mendorong pintu kamar, mulai berteriak-teriak panik.

Dokter yang sedetik terlihat ragu, juga ikut berseru-seru, menyuruh semua orang yang berdiri di ruang tengah agar menyingkir.

Ranjang darurat didorong dengan kecepatan tinggi oleh dua perawat. Dua lainnya menyibak siapa saja, membuat petugas polisi refleks memberikan jalan.

Jangan biarkan, bahkan sedetik pun, jangan biarkan mereka tahu bahwa Om Liem-lah yang terbaring di ranjang, atau se­mua rencanaku akan gagal total....!