webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

MUSUH DI MANA-MANA

"TIDAK terbayangkan, Nak. Sungguh tidak pernah berani kubayangkan, bahkan dalam mimpi paling liar orang tua ini sekali­pun, bahwa kau ternyata selamat dari kejadian puluhan tahun silam. Kupikir hanya Liem, istrinya, dan opamu yang selamat. Ternyata kau juga selamat." Orang tua dengan tongkat di tangan itu merentangkan tangan, dan tanpa bisa kucegah, sudah memelukku takzim.

Aku masih menelan ludah. Berdiri menerima pelukan, mengingat-ingat wajahnya.

Dia melepaskan pelukan, menatapku datar, tersenyum. "Kau dulu masih kecil sekali, Tommi. Setinggi ini. Berpakaian seperti pelayan, berlari-lari kecil membawa nampan berisi gelas air minum dan makanan saat pesta keluarga diadakan. Apa kata

Edward, papamu? 'Tentu saja dia mau bekerja keras, Shinpei. Dia digaji mahal sekali.' Aku lantas bertanya, 'Mahal?' Papamu menjawab, 'Sebuah sepeda baru, Shinpei.' Seperti baru terjadi kemarin sore pesta meriah itu, beberapa bulan sebelum rumah dan gudang kalian dibakar massa mengamuk." Aku akhirnya ingat sudah.

Bukan karena orang yang sedang memegang bahuku itu menyebut namanya sendiri, tapi karena aku juga sempurna kembali mengingat masa lalu itu. Tuan Shinpei, orang ini adalah rekan­an Papa dan Om Liem zaman berdagang tepung terigu dulu. Salah satu pengusaha besar yang kudengar tahun-tahun terakhir memiliki bisnis properti hingga negeri tetangga.

"Lihatlah, anak kecil berpakaian pelayan itu sekarang sudah berubah menjadi harimau gagah. Astaga, Nak, aku melihat sendiri bagaimana tadi kau mengendalikan puluhan nasabah kakap yang

marah. Itu amazing, mengagumkan, Tommi. Ke mana saja kau selama ini? Aku tidak pernah mendengarmu dalam rapat perusahaan milik Om Liem dan opamu. Kau sekolah di business school ternama? Dikirim Liem belajar magang di per­usahaan raksasa Amerika? Disiapkan sebagai penerus bisnis keluarga? Atau jangan-jangan kau diam-diam sedang membangun imperium bisnis sendiri? Dengan kemampuanmu tadi, itu me­ngerikan, Nak, tidak akan ada satu pesaing pun yang berani melawanmu."

Aku untuk pertama kalinya membalas kalimat Tuan Shinpei dengan tersenyum terkendali, menggeleng. "Aku hanya membuka kantor konsultan keuangan skala kecil, Tuan Shinpei."Dia menggeleng. "Jangan panggil aku Tuan Shinpei, Tommi. Kau panggil saja aku Om Shinpei. Keluarga kalian sudah seperti

keluargaku sendiri." Tuan Shinpei diam sejenak, mengangguk-angguk. "Oh iya, apa kau bilang tadi? Konsultan keuangan? Aku baru ingat, aku pernah melihat wajahmu sekali-dua kali di majalah atau review ekonomi Hongkong terkemuka. Tetapi aku ti-

dak menduga kau Thomas yang itu. Aku baru tahu beberapa menit lalu, menatap wajahmu mengingatkanku pada Edward. Orang tua ini tinggal di Hongkong, Tommi, tidak tahu banyak urusan bisnis di Jakarta. Bahkan sebenarnya aku baru tiba tadi malam. Perjalanan mendadak yang cukup melelahkan untuk orang setuaku."

Aku mengangguk sopan, melirik pergelangan tangan. Lima menit aku tertahan di lobi gedung Bank Semesta. Kalau saja orang tua ini bukan Tuan Shinpei, aku sudah izin pamit segera. Pertemuan superpenting menungguku pukul sebelas. Tapi mengingat dia teman dekat Papa dan Om Liem, aku memutuskan basa-basi sebentar.

"Perjalanan mendadak? Keperluan bisnis?" aku bertanya, mencomot sembarang pertanyaan.

Tuan Shinpei mengangkat bahu. "Iya, perjalanan bisnis mendadak, Tommi. Tidak kebetulan aku datang kemari. Ke gedung megah bank yang nyaris kolaps milik Liem. Aku terdaftar dalam nasabah besar Bank Semesta. Tadi malam aku dihubungi untuk segera berkumpul."Alisku sedikit terangkat.

"Tentu saja namaku tidak ada dalam daftar yang kaupegang. Tetapi setidaknya ada lima nama nasabah lain yang mewakili depositoku secara tidak langsung," Tuan Shinpei menjelaskan tanpa diminta. "Urusan ini rumit sekali, bukan? Semua uang

na­sa­bah terancam hangus tanpa sisa. Aku sebenarnya pernah dihubungi Liem enam bulan lalu. Dia bahkan pernah datang ke Hongkong tiga bulan lalu, mendiskusikan jalan keluar Bank Semesta. Sayangnya bisnis properti milikku juga sedang ber-

masalah. Aku tidak bisa membantu banyak. Ini situasi rumit kedua yang harus dihadapi Liem setelah cerita lama tentang arisan berantai itu, bukan?"

Meskipun lengang dari lalu-lalang orang, lobi luas tempatku berdiri berhadapan-hadapan dengan Tuan Shinpei dan dua ajudannya tetap berisik. Suara perdebatan di ruang rapat terdengar hingga lobi.

Aku mengangguk, teringat percakapan dengan Om Liem sebelum melarikan diri dengan kamuflase ambulans dua malam lalu. Aku pernah bertanya apakah Om Liem telah meminta bantu­an kolega bisnisnya, siapa saja, termasuk dari Tuan Shinpei. Tetapi aku baru tahu pagi ini kalau Tuan Shinpei juga memiliki dana di Bank Semesta.

"Kau sepertinya punya rencana hebat, Tommi?"

"Rencana hebat?"

"Iya, apa lagi? Rencana hebat menyelamatkan Bank Semesta?" Tuan Shinpei bertanya, menyelidik dengan mata berkerut.Aku menggeleng perlahan. "Tidak ada rencana hebat. Hanya rencana nekat."

Tuan Shinpei terkekeh prihatin. "Jangan terlalu merendah, Tommi. Kau pastilah yang terbaik dari ribuan konsultan keuangan yang ada. Wajahmu ada di halaman depan majalah Hongkong, itu pasti jaminan. Dan lebih dari itu, kau pasti akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan bisnis keluarga, bukan? Bahkan termasuk mati sekalipun. Mereka punya lawan tangguh seka­rang."

Aku terdiam, menelan ludah, sedetik aku seperti merasa ada yang ganjil dengan percakapan ini.

"Ini kabar baik. Tentu saja kabar baik." Tuan Shinpei mengangguk-angguk, tidak terlalu memperhatikan ekspresi wajahku. "Jadi aku tidak usahmencemaskan banyak hal lagi, bukan? Kehilangan sepertiga jelas lebih baik dibanding semuanya. Itu rumus baku bagi pebisnis ulung. Mengorbankan sebagian, demi

keuntungan lebih besar. Mundur dua langkah, untuk maju bahkan lari ribuan langkah. Kau pasti lebih dari paham tentang itu. Nah, bisa kauceritakan apa yang sedang kaurencanakan, Tommi?"Aku menggeleng sopan.

"Tentu saja kau tidak boleh bercerita." Tuan Shinpei tertawa kecil. "Atau kau bisa memberitahuku, Liem sekarang berada di mana? Sejak tadi malam aku berusaha mencari tahu, tentu juga puluhan nasabah lainnya ingin tahu."

"Om Liem di tempat yang aman."

"Tempat yang aman?"Aku lagi-lagi menggeleng sopan, tapi tegas. Lobi luas gedung Bank Semesta masih lengang dari lalu-lalang orang. Suara

berisik di ruang rapat mulai terdengar pelan, Ram sepertinya melakukan apa saja untukmengendalikan diskusi.Sejenak aku beradu tatapan dengan Tuan Shinpei."Baiklah, Tommi. Orang tua ini sepertinya terlalu cemas, terlalu ingin tahu. Kau sepertinya sedang terburu-buru. Waktu ng tersisa sempit sekali, bukan? Kau boleh meninggalkanku sekarang." Tuan Shinpei menepuk-nepuk bahuku. "Aku akan

bergabung ke ruang rapat bersama nasabah lain. Setidaknya aku tidak perlu mencemaskan nasib Bank Semesta sekarang, termasuk nasib uangku. Nasibnya sudah ada di tangan orang yang

tepat. Aku hanya perlu mencemaskan hal lain."

"Mencemaskan hal lain?" aku bertanya.

Tuan Shinpei menyeka pelipis, menatapku sambil tersenyum. "Apa lagi selain mencemaskanmu, Tommi? Apa pun yang sedang kaulakukan, itu pasti berbahaya. Hati-hatilah, Nak. Apa kata pepatah bijak orang tua dulu, musuh ada di mana-mana, maka berhati-hatilah sebelum kau bisa memegang kerah lehernya. Senang bertemu kau lagi, Tommi."

Tuan Shinpei sudah melangkah menuju ruang rapat sebelum aku basa-basi menjawab kalimatnya. Dua ajudannya ikut bergerak. Suara tongkat mengetuk lantai keramik terdengar berirama.

Aku menelan ludah. Rombongan Tuan Shinpei sudah menghilang di balik pintu ruang rapat.

Aku melirik pergelangan tangan, mengumpat dalam hati. Waktu­ku terbuang hampir setengah jam. Aku harus segera menuju kantor, mengambil salinan dokumen dari Maggie. Jadwal audiensiku dengan menteri satu setengah jam lagi. Aku berlari-lari kecil melintasi lobi luas gedung Bank Semesta.