webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

MUSUH DALAM SELIMUT

UARA sendok terdengar di antara lenguh kapal yang meninggal­kan dermaga. "Mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama, Opa." Aku menatap Opa lurus. "Situasinya sama dengan puluhan ta-

hun lalu. Bahkan nyaris serupa, ada sesuatu yang rasa-rasanya ganjil. Ada potongan yang hilang, tidak pernah terjelaskan."Opa balas menatapku, meletakkan sendok. Nasi goreng spesial buatan Kadek masih tersisa separuh di atas piring.

"Ganjil seperti apa, Tommi?"

"Aku belum tahu, Opa. Yang aku tahu, mereka tidak sepintar itu. Walaupun amat berkuasa, mereka juga tidak sekuat yang me­reka bayangkan. Pasti ada orang lain di belakang mereka."Opa menggeleng perlahan. "Aku sudah terlalu tua untuk berimajinasi sepertimu, Tommi. Maksudku, imajinasi dalam artian positif, mengerti kaitan masalah, sambung-menyambung sebuah penjelasan. Aku hanyalah pemain musik amatir. Sejak dulu aku

sudah bilang pada Liem dan papamu, Edward. Cukup. Keluarga kita sudah lebih dari diberkahi dewa-dewa. Bahkan kapal yang indah ini, tidak terbayangkan waktu aku masih berdesak-desakan

di kapal kayu bocor, mengungsi, mencari dunia yang lebih baik. Boleh jadi kau benar, mereka sekali lagi memang hendak berniat jahat pada keluarga kita. Boleh jadi kau juga benar soal ada orang lain di belakang mereka, yang lebih jahat, lebih kuat, menginginkan semua perusahaan keluarga. Maka semua ini seperti tidak ada ujungnya, bukan? Bukankah Liem, Edward, dan aku sendiri juga tamak? Seharusnya kita berhenti sejak arisan

berantai itu, seharusnya aku bilang tidak pada Liem sejak lama, maka boleh jadi keluarga kita tetap utuh. Papamu, mamamu, boleh jadi bisa duduk di salah satu kursi, ikut sarapan bersama."

Meja makan lengang, ombak membuat kapal bergerak pelan. Udara laut di pagi hari terasa kering. Sudah lama sekali Opa tidak ikut berkomentar dalam urusan keluarga. Kalimat panjangnya barusan bahkan membuatku menelan ludah, urung bertanya beberapa hal tentang kejadian masa lalu yang mungkin bisa jadi

petunjuk masa sekarang.

"Ternyata kau tidak bergurau, Tommi." Setelah satu menit melanjutkan sarapan, Om Liem yang pertama kali memecah debur ombak. "Kau sungguhan baru saja keluar dari penjara. Apa kabar mereka berdua? Letnan Satu Wusdi dan Jaksa Muda Tunga itu?"

Aku tertawa hambar. "Mereka sehat. Bahkan lebih sehat dibanding kau. Tidak ada yang berubah dengan mereka. Tapi ibarat foto, warnanya semakin cemerlang, piguranya semakin gagah. Aku amat mengenali suara mereka saat menghunjamkan

alat setrum ke perutku."

Om Liem terdiam, menelan ludah. Opa menghela napas.Kami sudah hampir lima belas menit sarapan. Setelah semua duduk di kursi, Kadek membagikan piring nasi goreng yang mengepul, menguarkan aroma lezat, lantas dia cekatan mengisi gelas dengan teh hangat. Sarapan dimulai. Opa bertanya dari mana saja aku sepanjang malam. Aku menceritakan berbagai kejadian, termasuk reuni dengan bintang tiga polisi dan jaksa senior itu.

Satu-dua burung camar memekik nyaring.

"Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita. Di masa lalu, mereka berdua tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan mereka berhasil, bahkan dengan cara-cara paling licik sekalipun." Om Liem bersandar pelan, setelah tawaku reda.

"Ya, kali ini aku sepakat denganmu. Mereka tidak akan pernah berhenti." Aku mengangguk. "Selain pertanyaan siapa orang kuat di belakang mereka berdua, masih ada hal lain yang perlu dicemaskan." Om Liem dan Opa menatapku.

"Ada pengkhianat di antara kita," aku berseru datar."Astaga! Kau tidak sedang bergurau, Tommi?" Om Liem hampir ter­sedak.

Aku menggeleng, menatap tajam Om Liem. "Bukankah itu jelas sekali. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri. Ada yang memberitahukan banyak hal kepada dua orang itu, menjadi mata-mata. Pengkhianat itu boleh jadi orang-orang yang kau percayai selama ini, letnan bisnis yang kaumiliki."Om Liem menepuk pelipisnya, tidak percaya.Opa menggeleng. "Kau berlebihan, Tommi. Kau keliru."

"Aku tidak mungkin keliru, Opa, dan aku tidak pernah berlebihan. Ada pengkhianat di antara kita. Jadi, sebelum waktu embuka wujud aslinya, lebih baik semua orang yang ada di kapal ini berhati-hati."

"Astaga, Tommi, kau membuat situasi semakin rumit dengan berprasangka buruk ke orang-orang yang selama ini dekat dengan keluarga atau perusahaan." Opa mengetukkan tongkatnya ke lantai kapal. "Kau tidak mungkin menuduh Kadek misalnya, atau Ram, atau siapa saja orang kepercayaan Om Liem."Aku menggeleng. "Aku tidak menuduh Kadek, Opa, tentu saja, karena aku tahu persis siapa dia. Tetapi orang lain, orang-orangnya dia, mana aku tahu."

"Apa alasannya, Tommi? Buat apa mereka berkhianat?"

"Aku tidak tahu, Opa. Mereka tidak perlu alasan besar untuk melakukannya. Sedikit janji manis, iming-iming, itu sudah lebih dari cukup bagi seorang pengkhianat bahkan untuk menusuk balik induk semang, orang yang selama ini membantu, memberikan kesempatan, membesarkannya," aku menjawab kalimat Opa dengan intonasi datar.

Opa menatapku lamat-lamat, menghela napas.

Dapur kembali lengang, menyisakan suara televisi yang samar-samar. Kadek masih dengan celemek di dada sedang menyiapkan menu penutup sarapan, roti kecil yang lezat.

Aku menatap televisi mungil yang terpasang di atas tiang.Mereka sedang menyiarkan berita pagi, liputan menteri yang dikerumuni banyak wartawan.

Aku meraih remote, tertarik, membesarkan volume televisi."Ibu Menteri, kapan komite akan memutuskannya?" Salah satu wartawan menyeruak, mikrofon terjulur ke depan, lampu sorot kamera bersinar terang.

"Besok pagi. Keputusan diselamatkan atau tidak, semua ada di tangan komite. Kami sedang mengumpulkan ba­nyak data dan informasi, besok pagi baru akan diputuskan apa­kah akan ada

rapat komite stabilitas sistem keuangan... Apa? Ya?" Dengan wajah khasnya yang berpendidikan tinggi, Ibu menteri berusaha men­jawab santai pertanyaan yang mengepung. Salah satu wartawan sudah memotong, mendesak."Belum tahu. Jika situasinya terus memburuk, kecemasan me­ninggi, rapat komite bisa dilakukan kapan saja. Kami sudah punya beberapa data, bank sentral bilang setidaknya membutuh­­kan dana 1,3 triliun untuk menalangi Bank Semesta. Ya? Tidak sekaranglah, ini pukul sebelas malam." Menteri tersenyum, terus melangkah, ajudannya berusaha membuka jalan menuju mobil.

Aku bergumam pelan, 1,3 triliun, sepertinya Erik dan sobat dekatnya di bank sentral melakukan tugas dengan baik. Itu angka pembuka yang baik, lebih rendah dari yang kuminta, 2 triliun. Angka ini kecil saja dibandingkan risiko dampak sistemis, siapa pun akan tutup mata jika angkanya hanya sebesar itu.

Nanti malam, atau kapan saja rapat dilaksanakan, Ibu Menteri pasti pening ketika melihat angka yang ada berkali-kali direvisi oleh otoritas bank sentral dan situasinya mendesak, kadung harus diputuskan.

"Tidak ada. Tidak ada laporan seperti itu." Ibu menteri menggeleng, menanggapi pertanyaan berikutnya, tetap tersenyum meski sepertinya dia bekerja keras sepanjang hari ini. "Bank sentral hanya melaporkan rasio kecukupan modal terus turun

be­berapa minggu terakhir, melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Pengelolaan banknya buruk, kesalahan manajemen,tapi kami belum menerima laporan bahwa Bank Semesta bobrok, pemilik­nya jahat, atau melakukan kecurangan."

Aku bergumam lagi, sepertinya Erik dan temannya bahkan sekarang terlalu serius mempermanis laporan paling mutakhir Bank Semesta. Layar televisi sejenak masih memperlihatkan belasan wartawan yang terus mendesak dan ajudan menteri yang

berhasil menyibak kerumunan. Ibu Menteri bergegas melangkah masuk ke mobil. Pintu ditutup segera. Dia melambai me­ninggalkan halaman depan kantornya. Layar televisi kembali ke pembawa acara.

Aku mengusap rambut dengan telapak tangan. Itu pernyataan menteri tadi malam, setelah konferensi pers yang juga dihadiri Julia. Pembawa acara yang selalu cantik dan tidak beperasaan itu bahkan dalam berita paling buruk sekalipun dia

tetap semangat siaran sudah asyik berbicara dengan pengamat eko­nomi terkemuka, membahas berbagai kemungkinan. Aku sudah memindahkan saluran ke televisi lain, loncat satu per satu, me­meriksa headline berita pagi mereka. Aku menyeringai tipis. Pertemuan kecil dengan belasan wartawan senior dan kepala editor di salah satu restoran kemarin berhasil. Pagi ini semua orang sibuk membicarakan kemungkinan dampak siste-

mis.Koran pagi yang dilemparkan loper ke kapal juga dipenuhi berita sama. Padahal pertanyaan yang paling penting, yang justru seolah lupa mereka bahas adalah: di mana pemilik Bank Semesta sekarang? Di mana Om Liem? Tidak ada yang

si­buk memuat­nya, walau sepotong paragraf. Mereka lebih sibuk membahas tentang kalimat sakti: bahaya dampak sistemis. Esok lusa, ketika masalah Bank Semesta meletus bagai bisul bernanah, barulah orang-orang sibuk memuat pernyataan salah

satu pejabat negara yang bilang seharusnya Om Liem segera dijebloskan ke dalam penjara. Dua orang bedebah itu sepertinya berhasil melokalisir isu pelari­an Om Liem dan kami selama ini menjadi agenda pribadinya saja, belum ada wartawan

yang tahu. Mereka leluasa sekali memanfaatkan institusinya demi kepentingan pribadi. Aku menghabiskan teh di dalam gelas, berdiri, sudah setengah jam, waktuku habis.

"Kau hendak pergi lagi, Tommi?" Opa bertanya.

Aku mengangguk. Ada banyak hal yang harus kukerjakan. "Selalu hati-hati, Tommi," Opa berpesan.Aku mengangguk, mendekati Kadek.

"Terima kasih atas sarapan lezatnya, Kadek. Aku menitipkan lagi mereka berdua padamu, hidup atau mati." Aku menepuk bahu Kadek, hendak melangkah menuju buritan kapal. Telepon satelit Kadek lebih dulu berdering kencang sebelum

Kadek menjawab kalimatku. Dia bergegas meraih telepon yang tergantung di dinding. Berbicara sejenak."Pak Thom!" Kadek berseru.

Aku yang sudah di ruang tengah kapal terhenti, menoleh."Ada satu mobil penuh dengan polisi berseragam tempur merapat di pos jaga dermaga!" Kadek berseru, suaranya bergetar. "Mereka mencari Om Liem, Opa, dan Pak Thom."Astaga! Aku menatap Kadek, memastikan dia tidak sedang

mabuk laut.

"Petugas pos jaga bilang mereka sedang berusaha menahan mo­bil polisi memasuki dermaga, tapi mereka tidak akan ber­tahan lama. Bagaimana ini, Pak Thom?" Kadek bertanya cemas.

Aku meremas jemari, cepat sekali mereka menemukan posisi kami, sepertinya petinggi polisi itu sudah bangun, dan menyadari tahanannya kabur. "Bergegas, Kadek! Lepaskan ikatan kapal.

Aku akan segera menghidupkan mesin, memegang kemudi, kita ber­layar! Kabur!"

Tanpa perlu menunggu diteriaki dua kali, Kadek langsung melempar­kan telepon satelitnya, berlari tangkas menuju buritan kapal.