webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

MENYUSUL KE SINGAPURA

"SELAMAT pagi, Koh," letnan polisi muda itu menyapa Papa. Aku tahu siapa dia, sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan kota kami. Aku juga kenal, namanya Tunga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem.

"Situasinya sepertinya memburuk, Koh?" Tunga tersenyum. Papa mengangguk, mengembuskan napas panjang.

"Kau tidak perlu cemas." Opa mengelus rambutku. "Setidaknya dengan ada petugas, massa tidak akan bertindak nekat. Om Liem kau akan segera membawa kabar baik." Aku mengangguk.

"Kau tidak jadi mengantar botol susu?" Opa mengingatkan. Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sempat membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda.

"Hati-hati." Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku menyengir, segera mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani me-

lewati barikade petugas.Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas.

"Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi." Papa mengusap dahi.

"Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah," Wusdi menenangkan.

"Semua bisa diatur, Koh." Tunga manggut-manggut.Papa dan Opa tersenyum kecut. Belakangan ini mereka benar-benar mengandalkan dua orang ini untuk mengurus banyak hal.

Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit.

"Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan," Papa mengeluh.

"Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam," Opa ikut mengeluh.Wusdi tertawa kecil. "Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian."Tunga ikut tertawa kecil. "Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian."

Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah, mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.Papa sedikit tersentak.

"Itu pasti kabar baik dari Liem."Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua

kepala menunggu.Papa berbicara sebentar.

"Apa?"Gagang telepon jatuh.

Mama mendekat. "Apa yang terjadi?"

"Ka... kapal itu sudah merapat," Papa terbata-bata.

"Bukankah itu kabar baik?" Tante Liem bertanya.

Papa menggeleng.

"Kapal itu merapat dengan seluruh muatan

terbakar."Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding.Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. "Situasi ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit… Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk."Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak.Tunga ikut berkomentar, "Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi."Opa semakin terdiam.

"Bakar!" Terdengar teriakan dari luar.

"Bakar!" Yang lain menimpali.

"Apa yang harus kami lakukan?" Papa memegang lutut Wusdi.Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai.Wusdi bergumam lagi,

"Anak buahku bisa saja menahan massa.

Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan bahwa uang mereka akan dibayarkan."

Tunga ikut bergumam,

"Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya."

"Apa saja… apa saja yang bisa memastikan keluarga kami tidak diganggu. Akan aku tebus." Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke dalam.Wusdi dan Tunga menyeringai, saling lirik sebentar."Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan tanah? Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan," Wusdi berkata arif.

"Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat iktikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti," Tunga ikut berkata bijak.Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga.

"Sekarang biarkan kami mengurus mereka." Wusdi berdiri, menyalami Papa. Tunga tersenyum mantap. "Kalian tidak perlu ke mana-mana. Semua masalah sudah selesai."Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang setengah terbuka. Sudah hampir dua ratus massa memenuhi halaman.Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari kecil.

"Lapor, Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan massa?" Salah satu sersan mendekati Wusdi dan Tunga.

"Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke markas," Wusdi menjawab santai.

Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. "Bukankah kita seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan?"

"Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan." Tunga menepuk bahu sersan polisi itu.

Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil, perlahan membelah

massa yang beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.

*^PRANG!^*

Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang. Hari itu, umurku sepuluh tahun.

* * * *

Pesawat yang kutumpangi menuju Singapura terlambat dua jam lebih. Aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul sepuluh lewat tiga puluh. Taksi merapat cepat. Suara roda direm paksa terdengar mendecit panjang. Tetapi tidak ada yang memperhatikan kami yang terburu-buru. Tontonan biasa di bandara. Lobi keberangkatan internasional sepi, hanya diisi calon penumpang dan pengantar. Display layar televisi penunjuk jadwal penerbangan

hanya diisi rute jarak jauh, tidak ada penerbangan domestik tengah malam begini. Perhitunganku benar, tidak ada polisi yang sibuk memeriksa, mungkin mereka sudah ditarik kembali ke pos masing-masing setelah hanya menemukan bangku kosong di pesawat yang mendarat di Denpasar.

"Kau pakai ini, Thom. Barangkali saja berguna." Rudi ikut turun dari taksi, menepuk bahuku. Dia melepas sesuatu dari tubuhnya. "Nah, selamat jalan, Teman. Besok aku akan menunggu di bandara ini sepanjang siang, menunggu berita darimu." Aku melintasi meja imigrasi dengan mudah. Namaku dicekal, tapi aku kenal anak buah Randy yang menjaga loket salah satu anggota klub petarung lainnya yang menjadi petinggi imigrasi bandara. Bahkan dua hari lalu aku juga berniat melarikan Om Liem ke luar negeri, tapi berubah pikiran, kembali turun dari pesawat. Pengumuman dari pramugari terdengar menyebalkan saat penumpang sudah duduk di pesawat dengan rapi, delay karena masalah teknis.

Penumpang tidak penuh, hanya terisi separuh. Pesawat ini tujuan akhirnya adalah Amsterdam, transit sebentar di Singapura. Julia membelikanku tiket kelas bisnis. Pesawat baru berangkat pukul satu malam, dan mengalami keterlambatan lagi persis di udara. Cuaca buruk di Singapura, hujan deras, kabut. Pesawat terpaksa berputar-putar, hampir dipindahkan mendarat di Kuala Lumpur. Aku menunggu gelisah. Sialnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain bersabar, dan dengan semua ketegangan, selama di atas pesawat, kepalaku justru sibuk mengenang potongan masa lalu itu.

Aku tidak menyaksikan sendiri percakapan itu, aku sudah mengayuh pedal sepeda dengan semangat. Opa yang menceritakan­nya padaku di kunjungan rutinku ke rumah peristirahatan tepi Waduk Jatiluhur. Dan setiap melihat wajah sedihku, Opa santai berpindah topik cerita, favoritnya apalagi kalau bukan, "Nah, Tommy, kau mau mendengar sesuatu yang paling menyeramkan dari kisah pengungsian Opa dulu? Sesuatu yang amat Opa takutkan selama berada di kapal nelayan bocor?" Opa tertawa saat aku menolak halus. "Ini sesuatu yang berbeda, Tommy. Bukan badai, bukan monster, bukan perompak, bukan pula kapal penjajah yang nelayan-nelayan itu takutkan. Sesuatu yang lebih seram lagi. Kau mau dengar?"Aku tahu tentang apa yang ditakutkan pelaut, nelayan yang dimaksudkan Opa setelah aku kuliah bisnis. Dan Opa kehilangan salah satu trik favoritnya. Lagi pula, ayolah, saat itu usiaku sudah dua puluh tahun lebih, banyak cerita berulang-ulang Opa seperti kaset rusak yang tidak lagi relevan.Aku tiba di Singapura pukul tiga pagi. Akhirnya pesawat itu mendarat. Aku berlari kecil menuju lobi bandara, meneriaki sembarang taksi, menyebut dermaga yacht, tempat biasa Pasifik

merapat di Singapura setiap kali melewati perairan Semenanjung Malaka. Aku tiba di dermaga itu lebih cepat dibanding Kadek. Pasifik baru tiba satu jam kemudian, hampir pukul lima pagi. Semburat cahaya matahari menerpa ujung-ujung kapal, pucuk-pucuk menara beton. Aku mendesah resah tidak sabaran menatap Pasifik yang mendekat gagah, moncong palka depannya begitu elok. Pasifik kapal kesayangan Opa dibuat selama dua

tahun di galangan kapal terbaik dengan supervisi langsung Opa.Dermaga yacht sepi, masih terlalu pagi untuk memulai hari di Singapura meskipun ini hari Senin. Belasan kapal pesiar ukuran sedang dan kecil tertambat, tiang kapalnya mengangguk-angguk anggun dengan latar suara burung pelikan. Lampu jalan an masih menyala satu-dua. Dari sisi dermaga, aku bisa melihat

jelas kubah Esplanade diterpa cahaya matahari pagi. Tetapi perhatianku sedang tertuju ke arah teluk, sebuah kapal yang amat kukenal mendekat.

Pasifik belum merapat sempurna, aku sudah tidak sabaran loncat ke atasnya.Aku bergegas menuju ruang kabin dalam, berteriak memanggil Kadek dan yang lain. Aku harus memastikan semua baik-baik

saja. Kami harus segera menyusun banyak rencana. Langkah kakiku seketika terhenti, dengus napasku juga tertahan.Seketika aku mematung. Justru mereka-lah yang sedang menungguku.

"Halo, Thomas. Selamat pagi. Kau sepertinya tergesa-gesa sekali." Orang itu tertawa.

Suara tawa itu terdengar khas. Muncul kembali dari malam-malam dengan mimpi buruk saat aku tinggal di asrama.