webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

MASALAH OM LIEM

HAMPIR pukul satu dini hari. Setelah mandi, aku berganti pakai­an tidur. Saatnya beristirahat.

Badanku remuk lepas pertarungan. Sayangnya, suara dering telepon yang menyebalkan tiba-tiba

meme­nuhi langit-langit kamar.

Aku refleks menyambar bantal,

me­nutup telinga sambil menyumpah, berusaha mengabaikan, dan me­lanjutkan tidur.

Tidak sesuai harapan, aku mendengus kesal.

Si penelepon

pasti tidak pernah mendapatkan pelajaran etiket. Nada panggil sekian kali, itu artinya yang bersangkutan tidak mau menerima,

sibuk, tidur, tidak ada di tempat, atau alasan logis lain yang bisa di­terima akal sehat ras manusia. Siapa pun penunggu meja depan hotel mewah malam ini, besok lusa akan menerima komplain tanpa ampun yang pernah ada.

Aku melempar bantal, bersungut-sungut,

menyadari dua hal. Satu, telepon sialan ini tidak akan berhenti jika aku tidak meng­­angkatnya. Dua, bahkan menginap di kamar ter­baik,

hotel berbintang enam sekalipun, suara dering telepon di kamar selalu saja standar, mendengking-dengking berisik. Tidak adakah

manajer keramahtamahan kelas dunia punya ide mengganti nada dering dengan irama lagu jazz atau yang lebih ramah didengar, atau sekalian menyediakan opsi pengaturan dengan nada getar

atau beep kecil? Mereka sepertinya lebih sibuk meletakkan bebek-bebekan kuning di kamar mandi, buku petunjuk wisata kota penuh iklan, atau ide sampah macam surat selamat datang

yang ditandatangani massal. Atau salahku pula, mengapa tidak men­cabut kabelnya sebelum tidur.

"Maaf, Pak..."

"Kau tahu ini pukul berapa, Shiong?" Sialan, aku mengenali suaranya.

"Eh? Pukul..."

"Ini lewat tengah malam, Shiong. Bukankah aku tadi berpesan tolak semua telepon ke kamarku!"

aku berseru marah.

"Maaf, Pak. Ini mendesak."

"Persetan! Bahkan seandainya besok dunia tenggelam oleh air bah Nabi Nuh, aku tak peduli!" Aku mengutuknya, bersiap

menumpahkan kosakata maki­an beradab yang kumiliki, namun urung. Pintu kamarku telanjur di­ketuk.

Apa lagi? Aku menoleh.

"Ada yang memaksa bertemu Bapak. Saya sudah bilang Bapak perlu istirahat, mereka memaksa naik ke atas. Saya tidak bisa menahannya, tidak ada petugas yang berani menahannya, Pak.

Saya harus memberitahu Bapak, setidaknya sebelum mereka tiba." Shiong bergegas menjelaskan, dengan intonasi hasil didikan

keramahtamahan kelas dunia belasan tahun.

Baiklah. Aku meletakkan gagang telepon.

Beranjak menuju pintu kamar lebih karena ingin tahu siapa yang mendatangiku malam-malam.

"....*

"Selamat malam, Thomas."

Hanya ada dua orang yang berdiri di depan pintu. Satu orang kukenali, satunya tidak.

"Sejak empat jam lalu kami mencarimu." Ram, orang yang kukenali itu, tersenyum lelah. "Kebiasaanmu yang jarang tinggal

di rumah, memilih menginap di hotel menyulitkan ka..."

"Langsung saja, apa keperluan kalian?" Aku tidak punya waktu mendengar basa-basi.

"Sudah tersambung, Pak." Orang yang tidak kukenali berbisik, menyerahkan telepon genggam.

Ram mengangguk, menerima telepon genggam itu, lantas mem­­berikannya padaku. "Ada seseorang yang ingin bicara dengan­mu, Thomas. Situasinya genting sekali."

Siapa?

Aku ragu-ragu menerima telepon genggam itu.

"Halo, Tommi."

Suara tua, terdengar serak dan bergetar, suara yang justru seketika membuat kemarahanku kembali memuncak.

"Jangan, jangan ditutup dulu teleponnya, Tom." Orang itu terbatuk sebentar.

"Aku tahu kau masih membenciku. Tetapi aku

tidak punya pilihan, Nak.

Aku harus memberitahumu...

"Sungguh jangan tutup teleponnya dulu, Tommi. Aku tahu kau tidak peduli lagi denganku, kau juga tidak akan peduli kalau kuberitahu rumah orang tua ini sudah dikepung, satu peleton polisi berkumpul di halaman rumah, mereka seperti akan me-

nangkap teroris saja. Tetapi, tantemu, Tommi, kesehatannya mem­buruk sejak berita ini dimuat di koran-koran. Dan empat jam lalu saat petugas berdatangan, memeriksa banyak hal, memasang barikade memastikan aku tidak lari, tantemu tidak

kuat lagi.

Dia jatuh pingsan. Datanglah, Nak. Temui tantemu.

Sebelum jatuh pingsan,

dia berkali-kali menanyakanmu,

menatap pigura foto saat kau masih kecil dan bersama keluarga besar kita." Orang itu terbatuk sebentar.

"Maafkan orang tua ini yang mencarimu malam-malam, Nak. Semoga kau tidak semakin membenciku. Selamat malam."

Sambungan telepon telah dimatikan.

Lorong kamar hotel terasa lengang.

"Bagaimana?" Ram bertanya setelah aku hanya diam satu menit.Aku meremas jemari.

Mengembalikan telepongenggam.

"Seberapa serius?" Aku mengeluarkan suara.

"Yang mana? Situasi di rumah? Atau keadaan tantemu?" Ram tertawa prihatin.

"Dua-duanya." Aku menghela napas.

"Buruk. Dua-duanya buruk, Thom, apalagi situasi di rumah.

Kau pastilah tahu, hanya soal waktu wartawan mulai berdatangan, memastikan penangkapan besar. Mungkin lebih baik kita

bicarakan di mobil, waktu kita amat terbatas. Sekali mereka memutuskan menahan ommu, kacau-balau semua urusan. Kau ikut dengan kami?"

Aku terdiam.

"Ayo, Thomas, putuskan."

Aku akhirnya mengangguk.

"Beri aku satu menit untuk ganti pakaian."

Mobil melesat kencang. Jalanan Jakarta lengang, pukul dua dini hari, jika nekat kalian bisa memacu kecepatan hingga 120 km/jam di jalan protokolnya.

"Kau mengikuti berita-berita?"

Aku mengangguk. Aku duduk di kursi belakang, mendengar-kan penjelasan.

"Baguslah. Aku jadi lebih mudah menjelaskannya. Bagai raja catur yang di­kepung banyak musuh, Om Liem terdesak. Seminggu lalu otoritas bank sentral sudah memberikan peringatan ketiga untuk bank miliknya, dan tadi siang, sialnya mereka meng-

umumkan bahwa bank milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antar­bank. Itu membuat kepanikan, padahal kau tahu, hanya kurang lima miliar saja. Mereka umumkan atas nama

trans­paransi. Kau tahu akibatnya, saham Bank Semesta dihentikan perdagangannya di bursa, suspended. Nasabah panik, antrean panjang terbentuk di setiap cabang tadi sore. Dan di tengah krisis dunia, sedikit saja informasi negatif, semua orang panas-dingin."

Ram yang duduk di sebelahku menghela napas.

"Aku belum tahu soal kalah kliring," aku bergumam.

Sopir sepertinya tidak mengurangi kecepatan,

mobil meliuk menaiki fly over.

"Tentu saja belum. Kau baru pulang dari London tadi sore, bukan? Beruntung ini hari Jumat, jadi kita semua punya waktu dua hari untuk menghadapi nasabah yang panik Senin lusa.

Situasinya sudah kacau-balau, Thom. Jika rush terjadi,

semua nasabah berbondong-bondong menarik tabungannya. Bank Semesta pasti kolaps. Bahkan jika seluruh aset dijual dan seluruh harta Om Liem digadaikan, itu tetap tidak akan cukup.

Come on, semua uang telah dipinjamkan ke pihak ketiga, bagaimana mungkin kau menarik uang dari mereka dengan cepat untuk mengembalikan tabungan nasabah?

Situasi semakin rumit, karena kau pastilah sudah tahu dari berita-berita di media massa,

penyidik kepolisian dibantu otoritas bank sentral sejak beberapa bulan terakhir memeriksa Bank Semesta. Urusan ini kapiran,

seperti halnya kau membenci ommu. Aku juga tahu bahwa terlalu banyak transaksi tidak bisa dijelaskan di bank itu. Enam tahun menguasai bank itu,

Om Liem terlalu ambisius,

tidak hati-hati, menggampangkan banyak hal, dan melanggar begitu banyak regulasi demi pertumbuhan bisnisnya." Ram kembali menghela napas.

"Kita sungguh tidak punya waktu hingga Senin lusa menghadapi polisi yang mengepung rumah, Thom. Bahkan hanya karena tantemu masih pingsanlah, mereka menahan diri belum memborgol Om Liem. Cepat atau lambat, besok atau lusa, wajah

Om Liem akan terpampang besar di surat kabar, menjadi headline. Pemilik bank besar dan imperium bisnis raksasa telah tumbang."

Aku menelan ludah. Menatap deretan gedung tinggi dari atas jalan layang.

"Bukankah dia punya banyak kenalan orang penting dan berkuasa untuk menyelamatkan bank itu?" Akhirnya aku berkomentar.

Ram tertawa masam. "Dia punya lebih banyak musuh dan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kolapsnya Bank Semesta,.!

Thom. Mereka berebut ingin mendapatkan aset

berharga yang dijual murah. Dia sudah terdesak. Kabar terakhir yang kuterima,

tapi ini off the record, pejabat bintang tiga

kepolisian, petinggi kejaksaan, serta salah satu deputi bank sentral terlibat langsung atas penyidikan Bank Semesta. Semangat sekali mereka bekerja, seperti tidak ada kasus korup kroni-kroni mereka yang bisa diurus.

Terlalu banyak misteri dalam kasus ini sejak peringatan pertama dari otoritas.

Astaga, Thom, hanya kalah kliring lima miliar, rusuhnya sudah seperti kalah kliring lima triliun.

Buat apa coba?"

"Itu sudah tugas mereka. Pengawasan,"

aku menjawab pelan.

"Omong kosong, Thom. Puluhan tahun aku menjadi orang kepercayaan Om Liem, puluhan tahun mengendalikan bisnisnya, dalam beberapa hal,

aku juga sepakat denganmu, membenci cara

dia berbisnis, tetapi kasus Bank Semesta ini terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak misteri. Seolah ada hantu masa lalu yang memang sengaja mengambil alih seluruh keberuntungan

Om Liem, membuat skenario, bersiap menusuk dari belakang. Dan itu benar, sekali Bank Semesta tidak terselamatkan, seluruh

kekayaan keluarga Om Liem habis.Bukankah kau termasuk salah satu ahli warisnya, Thom?"

Ram bertanya

"Aku tidak peduli urusan itu."jawab ku

"Tentu saja kau harus peduli. Kau tidak sekadar mewarisi harta benda, Thom. Kau juga otomatis mewarisi utang-utang." Ram tertawa prihatin,

Aku tidak menjawab. Mobil yang kami tumpangi sudah berbelok tajam, menuju salah satu area paling elite di Jakarta.