webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

MASA LALU

JULIA membanting setir ke kiri, menginjak rem sekuat yang dia bisa.

Mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi segera terbanting, berdecit panjang, membuat ngilu kuping. Roda mobil membuat bekas panjang di jalur darurat tol, hingga akhirnya berhenti sebelum terlempar ke luar jalan.

Beberapa mobil di belakang yang kaget dengan aksi Julia menekan klakson panjang, mengumpat dari balik jendela.

"Kau gila! Apa yang kaulakukan?" aku ikut mengumpat.

"Kau yang gila, Thom!" Julia balas berseru, napasnya tersengal.

Kami baru saja belasan kilometer meninggalkan Jakarta. Masih enam puluh kilometer lagi sebelum Waduk Jatiluhur.

Sejak dari pintu tol, Julia terus mendesakku, bertanya ke mana persisnya tujuan kami. Sementara aku berusaha menelepon Maggie, me­mastikan dia baik-baik saja atau tidak. Kesal karena

Julia terus bertanya, aku menjawab apa adanya.

"Aku tidak mau mengantarmu ke tempat persembunyian Om Liem." Dengan napas tersengal, Julia turun dari mobil, membanting pintu, berjalan ke rerumputan pinggir tol.

"Astaga, Julia, kau pikir kita akan ke mana, hah? Pergi ke restoran, lobi hotel, mencari tempat yang cozy untuk wawancara?

Kau tadi menanyakan apa yang terjadi. Lantas aku menjawab agar kau mendengarkan baik-baik. Begitu kan, hah?" Aku ikut

turun, melangkah pincang mendekatinya.

Tol luar kota ramai. Satu-dua mobil lewat tidak terlalu memedulikan kami. Hanya mogok biasa demikian sudut mata penumpang melintas menyimpulkan. Satu-dua malah bergumam,

mobil keren-keren ternyata mogok juga.

"Aku tidak mau mengantarmu." Julia menggeleng.

"Kau harus mengantarku!" aku berteriak kesal, menunjuk kakiku yang masih pincang.

"Ini berlebihan. Aku tidak mau terlibat melarikan buronan kelas kakap."

"Kau sudah terlibat, Julia, persis saat kau penuh dengan rasa penasaran mengaduk-aduk masa laluku. Dan jelas kau sudah menyetir mobil sejauh ini. Kau sudah terlibat. Lagi pula, bukankah kau sudah bisa menduga sejak awal, aku yang melarikan

Om Liem semalam? Mau atau terpaksa, dengan memecahkan alarm kebakaran gedung, kau sudah memutuskan terlibat."

Julia membungkuk, mendengus, masih berusaha me­ngendalikan diri.

"Ayolah, Julia. Ini tidak buruk. Hei, bukankah wartawan perang bertaruh dengan risiko tertembak saat menyiarkan langsung dari lapangan? Nah, anggap saja kau juga punya risiko disangka

terlibat. Lagi pula, kau bisa mengarang banyak argumen: aku memaksa, kau di bawah ancaman. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan semuanya. Kau akan tahu banyak hal."Julia berdiri, menarik napas panjang.

Satu mobil yang melintas melambat, menekan klakson. Aku melambaikan tangan, mengacungkan jempol, semua oke, tidak

perlu dibantu. Mobil itu melaju lagi. Sekarang hampir pukul dua belas, meski matahari terik membakar ubun-ubun, bukit hijau

menghampar sejauh mata memandang membuat sejuk suasana. Rerumputan pinggir jalan tol terpangkas rapi, aromanya menyegarkan.

"Aku tidak mau terlibat, Thom." Julia menggeleng.

"Astaga, kau harus mengantarku. Aku tidak bisa mengemudi dengan kaki pincang."

Julia menggeleng untuk kesekian kali.

"Baiklah, jika ini yang ingin kauketahui. Aku tidak akan menutupinya." Aku meremas rambut, setengah sebal menatapnya.

"Om Liem melanggar banyak regulasi, itu benar. Dia ambisius, memanfaatkan banyak koneksi untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu banyak kejahatan lainnya, itu benar. Dia jelas bedebah. Tapi aku baru semalam menyadari ada yang keliru

dengan rencana penutupan Bank Semesta. Ada bedebah yang lebih jahat lagi di luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak akan mengunyah satu perak

pun uang mereka. Tapi aku butuh waktu untuk meng­hukum orang-orang di balik semua ini. Beri aku waktu dua hari. Aku punya rencana, kami tidak akan tertangkap. Kau hanya perlu bersabar, membantuku, maka dua hari berlalu, kau akan mendengar seluruh cerita, penjelasan. Bahkan boleh jadi kau bisa merangkaikan sendiri banyak hal tanpa perlu kuceritakan lagi.

Percayalah. Setidaknya percayalah pada Thomas, janji seorang petarung."Aku memegang lengan Julia.

"Nah, kau bersedia mengantarku segera ke Waduk Jatiluhur? Waktu kita terbatas, aku khawatir mereka lebih dulu tiba, dan semuanya jadi berantakan."

Julia masih menatapku ragu-ragu—bahkan antusiasme mengemudi mobil balap barusan hilang hanya karena kalimat pendek­ku menjawab pertanyaannya. "Kita ke tempat persem-

bunyi­an Om Liem."

Aku menghela napas. "Baiklah, akan kuceritakan kau sepotong kejadian masa lalu. Kaudengarkan baik-baik. Setelah ini, terserah kau maumembantuku atau tidak. Tapi jika kau memutuskan mem­bantu, ini terakhir kali aku bercerita hingga hari Senin.

Setelah ini, jangan banyak bertanya lagi. Kau paham, Julia?"Gadis itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Hanya bersiap mendengarkan.

***

Dua puluh tahun lebih, di masa silam. BRAK! Suara keributan di halaman rumah terdengar. "Kapan, Koh? Kapan? Sudah enam bulan!" Terdengar teriakan marah.

"Iya, kapan? Kalau begini terus, kami lebih baik mengambil semua uang kami." Seruan-seruan lain menimpali, tidak kalah galak.

Papa berusaha menjelaskan, tapi dipotong lagi oleh teriakan. teriakan marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak ter­kendali.

Aku takut-takut melangkah ke depan. Opa mengikuti di belakangku. Di halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada puluhan orang berkumpul. Dua kali lebih banyak dibanding setengah jam lalu.

"Bapak-Bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang arisan Bapak-Bapak akan segera kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian mengambil pokoknya. Akan kami bayarkan semuanya," Papa berusaha meningkahi seruan marah.

"Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi. Sekarang!"

"Iya! Muak kami mendengar janji-janji."

Aku menelan ludah, mengintip dari balik tirai jendela. Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga kami melesat cepat, untuk pertama kalinya, sepulang dari gudang, wajah Om Liem terlipat. Dari samar-samar percakapannya dengan Papa dan Opa, aku tahu, salah satu kapal kami

tertahan di pelabuhan. Petugas bea cukai menuduh muatan itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem berhari-hari meng­­urusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk me­loloskan muatan.

"Padahal semua dokumen sudah lengkap." Om Liem mengusap peluh di dahi.

"Kau mungkin melupakan beberapa pejabat?" Opa bertanya pelan, mendongak menatap langit-langit.

"Tidak, semua pihak sudah mendapatkan bagiannya. Tidak ada yang tertinggal." Om Liem menggeleng.

Mama dan Tante Liem datang meng­hidangkan ginseng hangat, menghela napas prihatin.

Dan hanya soal waktu, berbagai masalah datang beruntun. Kapal-kapal itu entah apa pasal, mendadak rusak di perjalanan, pengiriman tertunda berbulan-bulan; ditemukan barang selundupan (kali ini petugas bea cukai meminta uang sogok yang besar sekali), pencurian kargo di pelabuhan (petugas kejaksaan justru menuduh kami yang mengada-ada), hingga puncaknya, salah

satu kapal kebanggaan keluarga tenggelam (menurut kapten kapal, kejadiannya cepat sekali, kapal tiba-tiba sudah miring).

Tidak terbilang kerugian. Belum lagi uang yang dihabiskan untuk menyumpal petugas, jaksa penuntut terkait kasus-kasus baru yang muncul susul-menyusul. Sengketa lahan gudang (entah

kenapa tiba-tiba ada akta tanah kembar), penjelasan atas sekarung benda haram (ganja) di gudang kami. Semua kejadian sial itu membuat bisnis keluarga tersumbat. Maka hanya soal waktu,

pembayaran bunga dan bonus untuk peserta arisan tersendat, kerugian menggerogoti modal. Enam bulan berlalu, anggota arisan mulai tidak sabaran, menuntut uang mereka dikembalikan.

"Bapak-Bapak, salah satu kapal kami akan segera merapat di pelabuhan. Liem sedang mengurusnya. Jika barang-barang itu tiba, kami bisa segera mendapatkan uang. Harap bersabar."

"Bersabar sampai kapan, Koh?"

"Setidaknya sampai siang ini. Kami mohon pengertiannya."

"Kenapa Kokoh tidak menjual gudang-gudang atau rumah ini saja untuk membayar uang kami?" Seseorang berseru, segera ditimpali teriakan setuju yang lain.Papa menggeleng, wajahnya terlihat tegang. Orang-orang yang berkumpul di depan rumah sudah ratusan. Dan semakin lama semakin terlihat bengis. Bukan hanya anggota arisan yang datang, kabar kesulitan membayar bunga arisan membuat orang orang lain berkumpul ingin tahu. Juga terlihat sekelompok wajah-wajah garang, aku mengenalinya, mereka preman. Mereka ribut menurunkan papan nama "Arisan Keluarga Edward-Liem". Berteriak-teriak memanasi situasi.

Apa pula urusan mereka? Bukankah beberapa hari lalu Papa juga bilang, "Sebenarnya hanya segelintir dari anggota arisan yang memaksa uang mereka dikembalikan. Yang lain masih bisa bersabar, percaya kita bisa mengatasi masa-masa sulit ini."

Aku menghela napas lega. Lima belas menit kemudian datang dua truk polisi. Mereka bersenjata lengkap. Sigap loncat dari truk. Langsung memblokade depan rumah. Aku tahu komandan

pasukannya, Letnan Satu Wusdi. Dia sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa.

"Selamat pagi, Koh," letnan polisi muda itu menyapa Papa. Aku tahu siapa dia, sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan

kota kami. Aku juga kenal, namanya Tunga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem.

"Situasinya sepertinya memburuk, Koh?" Tunga ter­senyum. Papa mengangguk, mengembuskan napas panjang.

"Kau tidak perlu cemas." Opa mengelus rambutku. "Setidaknya dengan ada petugas, massa tidak akan bertindak nekat. Om Liem akan segera membawa kabar baik." Aku mengangguk.

"Kau tidak jadi mengantar botol susu?"Opa mengingatkan. Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sempat membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda. "Hati-hati." Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku menyengir, segera mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani melewati barikade petugas.Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas."Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi." Papa mengusap dahi.

"Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah," Wusdi menenangkan.

"Semua bisa diatur, Koh." Tunga manggut-manggut.Papa dan Opa tersenyum kecut. Belakangan ini mereka benar-benar meng­andal­kan dua orang ini untuk mengurus banyak hal.

Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit.

"Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan," Papa mengeluh.

"Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam," Opa ikut mengeluh.

Wusdi tertawa kecil. "Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian."

Tunga ikut tertawa kecil.

"Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian."

Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah. Mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.Papa sedikit tersentak. "Itu pasti kabar baik dari Liem."Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua kepala menunggu.

Papa berbicara sebentar. "Apa?"Gagang telepon jatuh. Mama mendekat. "Apa yang terjadi?"

"Ka… kapal itu sudah merapat," Papaterbata-bata.

"Bukankah itu kabar baik?" Tante Liem bertanya.

Papa menggeleng. "Kapal itu merapat dengan seluruh muatan terbakar."

Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding.

Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. "Situasi ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit... Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk."

Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak.Tunga ikut berkomentar, "Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan

keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi."Opa semakin terdiam.

"Bakar!" Terdengar teriakan dari luar.

"Bakar!" Yang lain menimpali.

"Apa yang harus kami lakukan?" Papa memegang lutut Wusdi. Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai.Wusdi bergumam lagi, "Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan bahwa uang mereka akan dibayarkan."

Tunga ikut bergumam, "Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya." "Apa saja… apa saja yang bisa memastikan keluarga kami tidak diganggu. Akan aku tebus." Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke dalam.Wusdi dan Tunga menyeringai, saling lirik sebentar. Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan tanah? Dengan menunjukkan itu pada massa di luar,

menjanjikan mereka akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan," Wusdi berkata arif. "Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat iktikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan

bukti-bukti," Tunga ikut berkata bijak.

Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.

Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga.

"Sekarang biarkan kami mengurus mereka." Wusdi berdiri, menyalami Papa. Tunga tersenyum mantap. "Kalian tidak perlu ke mana-mana.

Semua masalah sudah selesai."

Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang setengah terbuka.

Sudah hampir dua ratus massa memenuhi halaman.

Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari kecil.

"Lapor, Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan massa?" Salah satu sersan mendekati Wusdi dan Tunga.

"Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke markas," Wusdi menjawab santai.

Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. "Bukankah kita seharusnya justru memintatambahan petugas, Komandan?"

"Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar

di pelabuhan." Tunga menepuk bahu sersan polisi itu.Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.

Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil, perlahan membelah massa yang beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.PRANG!

Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang.

Hari itu umurku sepuluh tahun.

Hari itu Papa dan Mama terpanggang nyala api. Rumah besar kami dibakar massa. Opa dan Tante Liem, dibantu tetangga yang berbaik hati berhasil melarikan diri. Om Liem yang kembali dari

pelabuhan dua hari kemudian hanya termangu melihat puing-puing. Aku yang pulang dari mengantarkan botol susu menangis

berteriak-teriak melihat asap mengepul dari kejauhan. Beberapa tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak gerombolan tidak dikenal yang menunggui rumah. Hari itu keluarga kami kehilangan semuanya.

"Kau tahu, Julia. Sejak hari itu aku membenci Om Liem. Dialah penyebab semuanya. Omong kosong arisan berantai keluarga Edward-Liem.

Aku tidak mau terlibat dengan per­usahaan­nya,

tidak mau dekat-dekat dengannya. Aku pergi dari rumah.

Tinggal di sekolah berasrama, dengan makanan dijatah, kamar tidur sempit. Aku membencinya dua puluh tahun lebih. Bahkan satu hari lalu aku tetap tidak peduli padanya. Aku tahu skandal

Bank Semesta, penyidikan oleh bank sentral, polisi, dan kejaksaan. Hancur lebur semua konglomerasi yang dia miliki, aku tidak peduli. Masuk penjara ribuan tahun, aku tidak peduli.

"Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik kasus Bank Semesta.

Aku mengenali nama itu. Nama kedua bedebah itu. Kau pernah bertanya padaku, apakah

aku anak muda yang pintar, kaya, punya kekuasaan dengan kepribadian ganda? Penuh paradoks? Kau keliru, Julia. Aku adalah anak muda yang dibakar dendam masa lalu.

Jiwaku utuh. Seperti berlian yang tidak bisa

dipecahkan.

Aku selalu menunggu kesempatan ini.

"Apakah hidup ini adil? Papa-Mama mati terbakar. Dua bedebah itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang tiga kepolisian, hanya soal waktu dia jadi kepala polisi.

Satunya lagi jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan kembali ke keluarga ini. Aku akan

membalaskan setiap butir debu jasad Papa-Mama. Beri aku waktu dua hari, kau bisa menuliskan semuanya. Aku punya. rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari

meng­antar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini.

Jadi, apakah kau mau membantuku atau tidak, terserah kau."

Jalanan tol lengang. Julia menatapku lamat-lamat, tidak menjawab.

Aku menghela napas pelan, dengan kaki pincang, melangkah perlahan, kembali ke mobil. Di kejauhan seorang anak terlihat menggembalakan beberapa ekor kambing di lereng bukit menghijau.

Suara kambing mengembik terdengar samar di antara lesatan mobil-mobil melintasi jalan tol. Dengan tumit yang masih ngilu,

aku akan memaksakan diri mengemudi.

Tetapi ternyata Julia belari kecil meraih lenganku.

Aku menoleh.

"Aku akan membantumu, Thom." Gadis itu mengangguk mantap.