webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

KONVENSI PARTAI

LEMBAYUNG. Sejauh mata memandang terbentang warna lembayung. Umbul-umbul, spanduk, bendera, bahkan tiga papan reklame yang menjual pasta gigi, sampo, dan makanan ringan di perempatan jalan ditutup sementara dengan foto penguasa partai bernuansa lembayung. Ruang konvensi ramai oleh orang-orang dengan pakaian berwarna lembayung."Kita terlihat berbeda sekali di sini, Thom." Rudi mengusap peluh di leher.Aku tidak menjawab celetukan Rudi.

"Kita seperti tamu tidak diundang datang ke pesta perkawinan. Sialnya, ditambah dengan dress code yang keliru." Rudi masih asyik memperhatikan kesibukan.

"Sebentar, aku punya ide yang lebih baik," kali ini aku menjawab. Aku menoleh ke kiri-kanan sejak taksi memasuki lobi depan hotel arena konvensi. Kami berjalan melintasi lorong depan hotel yang disesaki peserta konvensi. Mataku mencari sesuatu.

"Nah, itu dia." Aku melangkah cepat.Tanpa bertanya banyak, Rudi bergegas mengikuti.Kami tiba di lapak yang menjual pernak-pernik partai. Aku tidak perlu memilih dua kali, mengambil ukuran yang terlihat

paling pas. Rudi menyengir. Dia ragu-ragu ikut meraih salah satu jas berwarna lembayung yang tergantung rapi di hanger pajangan.

"Ayolah, aku yang traktir." Aku tertawa melihat tampang masam Rudi yang baru mengerti ideku.

Aku melepas mantel besar, melempar topi longgar, mengenakan jas lembayung yang kupilih. Ukurannya cocok, pas di badan. Bertanya pada penjualnya, tidak menawar, kubayar dua jas langsung.

"Lihat, kau sekarang tidak ada bedanya dengan petinggi partai yang hilir-mudik." Aku menyengir melihat Rudi yang sedikit tidak nyaman dengan kostum barunya. "Anggota dewan juga, Bos? Daerah pemilihan mana?"Rudi kali ini ikut tertawa, melambaikan tangan. Ini perubahan yang kontras. Tiga jam lalu kami masih berkelahi di dalam lift sempit, menghajar enam anggota pasukan khusus. Dua setengah jam lalu kami masih di Jakarta, kabur dari serbuan belasan polisi di bandara dengan menyamar menjadi tahanan transfer. Setengah jam lalu, bahkan kami masih nekat loncat dari pesawat yang bergerak di runaway. Lima detik terakhir, ajaib, kami sudah berubah menjadi salah satu peserta

konvensi partai besar di Denpasar. Kami menepuk-nepuk jas baru dengan bau khasnya.

"Bagaimana kau tahu ada yang menjual jas mereka di sini?" Rudi bertanya.Kami melangkah menuju ruangan besar konvensi.

"Tentu saja dijual. Ada dua ribu peserta konvensi. Orang-orang politik sedang bergaya. Kau bisa menjual apa saja kepada mereka," aku menjawab santai. "Menurut perhitunganku, tidak jauh dari sini, bahkan ada meja atau lapak yang menjual jamu

kuat, dengan sales wanita cantik."

"Jamu kuat?"

"Ya. Apa lagi? Rapat besar berlangsung tiga hari dua malam. Mereka butuh stamina, bukan? Kau pikir mereka sepertimu yang bertugas sepanjang siang, dua puluh empat jam, tapi malamnya masih kuat bertinju memukuli lawan di klub petarung. Itu doping, entah apa pun gunanya." Rudi ber-oh pelan.Aku menyengir, tidak berniat membahas lebih lanjut, mengeluarkan telepon genggam dari saku.

Kami persis berada di depan pintu ruangan auditorium. Penjaga meja depan menanyakan ID Card saat kami melangkah masuk. Kami tidak punya. Aku harus menelepon Erik, makelar per­temuan ini. Sementara Rudi asyik menonton, melalui pintu besar yang terbuka lebar, petinggi partai sedang pidato berapi-api nun jauh di atas panggung sana.Dua kali nada panggil.

"Thomas? Astaga, kau di mana sekarang?" Erik langsung berseru.

"Di Denpasar, di mana lagi?" aku balas berseru. Suara pidato yang disambut teriakan "Merdeka!" berkali-kali oleh ribuan peserta memekakkantelinga. "Aku sudah di lokasi konvensi, di sini berisik sekali. Aku harus menemui siapa, Erik? Mereka meminta kartu peserta. Atau aku langsung ke podium? Bilang mencari dia?"

"Justru itu, Thomas. Astaga!" Erik di seberang sana berseru untuk kedua kalinya, suaranya terdengar sedikit jengkel, setengah putus asa.

"Urusan ini kacau-balau, Thom. Kau ke mana saja,

hah? Tiga jam aku berusaha meneleponmu, tidak ada nada sambung sama sekali."

"Aku di pesawat, Erik. Telepon dimatikan. Ada apa?" aku berseru, menebak arah pembicaraan.

"Pertemuanmu dimajukan dua jam lalu, Thomas."

"Apa kau bilang?"

"Pertemuanmu dimajukan, Thom. Dua jam lalu. Mereka meneleponku, bilang dia sibuk. Dia hanya punya sedikit waktu di sela konvensi. Setelah pembukaan yang rasa-rasanya sedang berlangsung di sana, dia harus segera kembali ke Jakarta, jadi hanya bisa menerima audiensi sebelum itu."

Aku mendengus mendengar kabar buruk dari Erik. "Kau tidak sedang bergurau, bukan?"

"Astaga, Thom. Aku harus menggunakan seluruh akses dan jaringanku untuk meminta waktunya. Bagaimana mungkin aku bergurau dalam situasi menyebalkan seperti ini."

"Tapi kenapa kau tidak segera bilang bahwa pertemuan itu dimajukan?" aku berseru jengkel.

"Aku sudah berusaha bilang, Thom. Tiga jam aku meneleponmu seperti orang gila. Teleponmu mati." Erik tidak kalah kencang berteriak, jengkel. "Mereka berkali-kali, berkali-kali menelepon­ku sejak dua jam lalu. Bertanya apakah kau jadi bertemu atau tidak. Mereka punya jadwal lain. Ada banyak orang yang

ingin bertemu dia, bukan kau saja donatur partai. Ini membuat reputasiku rusak, Thom. Mereka pikir aku main-main. Kau ke mana saja, hah? Bahkan pesan dariku tidak ada reply?"

"Aku di pesawat, Erik, bukankah sudah kubilang. Telepon harus dimatikan," aku menjawab ketus, mengembuskan napas. Urusan ini benar-benar jadi kapiran. Siapa pula yang akan menerima telepon jika di belakang ada pasukan bersenjata mengejar? Lagi pula, dengan situasi di bandara yang rumit, mana sempat aku memeriksa telepon genggam, membaca pesan dari Erik?

"Jangan-jangan kau baru tiba di Denpasar?" Erik bertanya."Iya, penerbangan barusan. Baru lima menit di arena konvensi."

"Astaga, Thomas. Kenapa kau tidak berangkat dari tadi pagi? Atau segera setelah aku mendapatkan jadwalnya? Bukankah kau sendiri yang bilang pertemuan itu superpenting? Kau gila, baru

tiba di lokasi konvensi lima menit sebelum jadwal. Mereka sibuk, orang-orang politik, amat fleksibel dengan waktu. Terserah mereka membatalkan atau memajukan jadwal pertemuan. Kau seharusnya tahu itu, Thomas." Erik sepertinya memukul sesuatu di kamar apartemennya, tidak percaya bahwa aku datang begitu tergesa-gesa ke Denpasar.Aku menyumpahi Erik dalam hati. Dengan semua rusuh, bagaimanalah aku bisa datang lebih cepat? Dia tidak mengalami sendiri diberondong belasan senapan semiotomatis dari dermaga yacht.

Pidato petinggi partai di podium semakin hebat. Dia sedang semangat membahas visi kebangsaan, cita-cita partai yang segaris lurus dengan cita-cita pendiri negara. Peserta konvensi tampaknya semakin sering meneriakkan kata "Merdeka!" di setiap akhir kalimat petinggi partai. Mungkin mereka lebih sering berteriak "Merdeka!" dibanding pahlawan nasional yang dulu berperang langsung siang-malam melawan penjajah Belanda.

"Sekarang bagaimana?" Aku berusaha terkendali, menatap kursi paling depan. Putra mahkota pasti ada di sana, duduk bersama petinggi partai dan pejabat pemerintah berkuasa. "Aku sudah telanjur di tempat konvensi, Erik. Kau harus membujuk mereka menjadwal ulang, meminta waktu, atau bagaimanalah. Aku hanya butuh lima belas menit, apa susahnya meminta waktu lima belas menit?"

"Aku tidak tahu..."

"Kau harus membantu, Erik," aku memotong.

"Aku sudah membantu, Thom."

"Tidak, sepanjang pertemuan itu belum terjadi, kau sama sekali belum membantuku, Erik." Suaraku mengancam.Erik terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Dia tahu maksud intonasi kalimatku.

"Baik, Thom. Baiklah. Kau memang bedebah. Kalau saja kau tidak memiliki data-data kasus lama milikku, sudah dari tadi aku sendiri yang justru melaporkan lokasimu sekarang kepada polisi. Beri aku waktu lima belas menit, aku akan menghubungi mereka. Kita lihat apa yang bisa dilakukan."

Aku menyeringai, menutup telepon. Sial! Urusan ini kenapa jadi begini?

"Kau pernah melihat konvensi partai seperti ini?" Rudi menyikut­ku, mengabaikan ekspresi wajahku yang terlipat. "Bukan main! Dengar, mereka sedang berikrar menjadi partai paling bersih."

"Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya katakan 'Tidak!' pada koruptor?" Yang pidato di atas podium sedang membakar massanya, bertanya lantang.

"Tidak!" Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepal­kan tinju ke udara.

"Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya, sekali lagi katakan 'Tidak!' pada koruptor, serta menyuap, menyogok, dan perbuatan hina lainnya?"

"Tidak!" Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.

Aku mengeluarkan puh, mengabaikan ingar-bingar konvensi, termasuk mengabaikan Rudi yang geleng-geleng menatap ke dalam auditorium. Kepalaku sedang berpikir, sia-sia semua urusan jika aku gagal bertemu putra mahkota. Menekan phone book, aku harus segera menelepon Kadek. Tiga jam aku tidak tahu kabar mereka, jangan-jangan sudah terjadi hal buruk seperti jadwal pertemuanku yang berantakan.Teleponku lebih dulu bergetar sebelum aku menekan nama Kadek. Julia meneleponku.

"Kau di mana, Thomas?" Julia langsung bertanya dengan nada cemas.Aku mengeluh dalam hati, sepertinya semua orang selalu bertanya hal itu padaku sekarang. Aku menjawab pendek,

"Di Denpasar."

"Oh, kau sudah bertemu dengannya?"

"Belum. Sedang diusahakan."

"Aku baru saja mengirimkan e-mail penting, Thom. Kau harus membacanya."

"Iya, akan aku lihat."

"Kau baik-baik saja, Thom?" Suara Julia terdengar cemas lagi.

"Aku baik-baik saja."

"Oh, syukurlah. Suaramu barusan tidak terdengar mantap seperti biasanya, Thom."

Bagaimana akan mantap, dengan kemungkinan pertemuan yang gagal.

"Kau buka file yang kulampirkan dalam e-mail, Thom. Itu data penting Bank Semesta. Bagian riset review mingguan kami menerima data itu dari lembaga riset dan intelijen keuangan ternama di Singapura. Menarik sekali, Thom. Kau harus baca

segera."

"Aku akan segera memeriksanya, Julia."

"Kau baik-baik saja, Thom?"

"Aku baik-baik saja, Julia!" aku berseru kesal. "Kau sudah mirip seorang mama yang cerewet mencemaskan anak remajanya pulang kemalaman. Atau seorang gadis yang mencemaskan kekasihnya pergi ke medan perang."

"Oh, syukurlah. Aku akan meneleponmu lagi jika ada kemajuan baru lagi. Hati-hati, Thomas. Jaga diri baik-baik." Julia menutup telepon.

Aku mengembuskan napas, mencari nama Kadek lagi."Kau pernah melihat yang beginian, Thom? Aku baru kali ini melihat langsung konvensi partai. Bukan main." Rudi menyikutku, menunjuk ruangan auditorium dengan hidungnya.

"Mereka sekarang berikrar menjadi partai yang baik."

"Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang santun, beretika, dan terhormat?" Yang pidato di atas podium kembali membakar massa, bertanya lantang. "Bisa!" Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepal-

kan tinju ke udara.

"Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang membanggakan, yang tidak memfitnah, bicara sembarang­an, selalu santun, beretika, dan terhormat?"

"Bisa!" Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.

Aku untuk kedua kalinya mengeluarkan suara puh, mengabaikan geleng-geleng kepala Rudi apalagi ingar-bingar teriakan anggota konvensi di dalam auditorium. Aku sudah menekan nomor telepon satelit milik Kadek, setidaknya memastikan mereka baik-baik saja di kapal.

"Selamat sore, Tommy." Itu suara Opa, terdengar khas, tenang dan menyenangkan.

"Sore, Opa." Aku mengembuskan napas lega.

"Kadek sedang menyiapkan makan malam. Dia sibuk mengaduk masakan di kuali. Dia menyuruh Opa mengangkat telepon. Terlalu sekali pekerjamu ini, menyuruh-nyuruh Opa. Tadi dia bahkan tega menyuruh orang tua ini mengiris bawang, cabai."

Opa terkekeh.Aku ikut tertawa pelan. Selalu menjadi selingan efektif mendengar suara Opa, bahkan dalam situasi seperti ini.

"Semua baik-baik saja, Tommy. Kau tidak perlu cemas. Om mu yang mengendalikan kemudi kapal. Dia masih terampil, ditemani Maggie, karyawanmu. Kami jauh dari daratan, berputar pelan di Kepulauan Seribu. Boleh jadi kami akan menuju Singapura sore ini. Tidak akan ada yang peduli dengan kapal yacht di sana, ada banyak yang lain, akhir pekan." Opa, seperti biasa, menjawab kekhawatiranku sebelum kujawab.

Aku menutup telepon setelah beberapa kalimat basa-basi. Aku menghela napas, setidaknya satu kecemasanku berkurang. Aku kembali menatap ruangan konvensi. Petinggi partai itu seperti­nya sudah tiba di penghujung pidatonya. Rudi masih asyik menonton.Saat itulah, saat aku masih menunggu telepon dari Erik tentang jadwal ulang pertemuanku dengan putra mahkota, seseorang mendekat. Dia tersenyum lebar, menjulurkan tangan.