webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

KAMUFLASE TAHANAN

"KAU sudah gila, Rudi?" aku berbisik dengan suara setengah tiang, menatapnya tidak percaya.

Rudi menyeringai. "Tenang saja, Thom. Ini hanya strategi biasa seorang petinju. Pura-pura memberikan bagian tubuhnya yang paling lemah untuk dipukul, agar lawannya justru tidak memukulnya."

"Kita tidak sedang bertinju, Rudi, tidak ada wasit yang adil dalam pertarungan ini. Bukankah kau sendiri yang bilang di lift, mereka tidak segan membunuh." Aku berusaha menurunkan intonasi sebal serendah mungkin. Bagaimana aku tidak sebal? Dalam situasi seperti ini, Rudi justru sengaja memarkir mobil patrolinya persis di kerumunan polisi dan beberapa mobil lain.

"Kau tunggu di sini, Thom. Lima menit aku pasti kembali."

Rudi tidak mendengarkan protesku, tertawa. "Dan kau jangan terlalu menarik perhatian dari luar, meski tidak akan ada yang memeriksa sesama mobil patroli, tingkah berlebihan dapat membuat mereka tertarik mengintip ke dalam." Rudi membuka pintu,

santai melangkah turun.Aku mengumpat, bergegas menurunkan posisi duduk, berusaha tidak terlalu terlihat.Rudi sudah asyik menyapa teman-temannya. Satu-dua anggota yang mengenalinya, boleh jadi bekas anak buah, memberi salut dengan anggukan. Rudi membalas dengan anggukan

pelan, bilang entahlah satu-dua kalimat, lantas melangkah cepat menuju lobi keberangkatan, kedua tangan di saku jaket.Aku menghela napas, melirik jam di dasbor mobil. Aku tidak suka situasi seperti ini, ketika tidak ada yang bisa dilakukan

selain menunggu, menunggu, dan menunggu. Sejak kejadian menyakitkan masa lalu itu, aku selalu mengambil keputusan, tindakan, aksi, intervensi apa pun namanya, untuk menentukan takdirku sendiri. Tidak ada rumus, biarkan mengalir apa adanya,

apalagi tergantung pada takdir orang lain, menyerahkan nasib pada orang lain.

Tiga menit berlalu. Rudi belum kembali.

Aku menyeka keringat di pelipis, menatap lobi keberangkatan dari balik jendela gelap. Beberapa mobil polisi lain tiba, merapat cepat, dua-tiga polisi berlompatan. Panggilan darurat ke seluruh unit petugas itu sepertinya efektif, semua petugas menjawab. Lobi keberangkatan semakin ramai. Aku mengeluh, jika situasinya sudah seperti ini, bagaimana Rudi akan meloloskanku dari mereka?

Dia tidak akan berpikir memberikan seragam pilot padaku, bukan? Lantas menyuruh belasan pramugari mengawal? Itu hanya ada dalam cerita film lawas. Waktu kami hanya sepuluh me­nit, tidak mudah menyiapkan rencana serumit itu. Rudi

bukan pesulap. Ke mana dia akan mencari seragam pilot? Tukang jahit maskapai? Apalagi belasan pramugari, satu pun tidak mudah disuruh menjadi pagar ayu.Atau Rudi menyuruhku memakai seragam polisi, berpura-pura? Aku menggeleng, itu juga bukan pilihan yang baik. Aku harus menaiki pesawat. Tidak akan ada polisi yang terlalu bodoh melihatku dengan seragam duduk rapi di pesawat menuju Bali. Itu amat mencolok perhatian. Dia akan tertarik menyapa, memeriksa. Bahkan kalian tidak pernah melihat polisi berseragam lengkap di atas pesawat, bukan?Aku mulai tegang, mengepalkan tangan. Sudah enam menit berlalu, ke mana saja Rudi pergi? Pertemuan ini harus terjadi, hanya itu satu-satunya cara memastikan rapat komite nanti malam berjalan sesuai yang kuinginkan. Bagaimana kalau Rudi justru sedang merencanakan sesuatu? Menyerahkanku pada atasannya? Dia jelas-jelas sudah mengetahui lokasi Opa, Om Liem, dan yang lain. Menukar nasib buruknya dengan tangkapan

besar, boleh jadi memperoleh kenaikan pangkat. Aku segera mengutuk pikiran jahat itu terlintas di kepalaku. Tidak. Rudi lebih memilih berkelahi hingga mati melawan puluhan polisi di bandara daripada melakukan itu.Aku mendesah gemas, atau jangan-jangan Rudi menyuruhku masuk ke koper bagasi? Pura-pura mengantar pizza ke pesawat,

delivery service? Aku menyeka lagi pelipis, dalam situasi menunggu, tegang. Jangankan untuk orang-orang yang malas berpikir, untuk orang sepertiku, tetap saja terpikirkan alternatif kocak dan tidak masuk akal. Aku melirik dasbor mobil, hampir

berseru tertahan, sialan, habis sudah waktuku. Sepuluh menit berlalu sia-sia, pintu boarding pasti telah ditutup.Aku kesal, hendak memukul dasbor kencang-kencang. Seharusnya aku tidak memercayakan takdir perjalananku ke Bali pada Rudi. Dia memang teman yang baik, bisa dipercaya, tapi mengurus hal ini, tidak ada yang bisa kaupercayai selain diri sendiri. Seharus­nya aku tidak…. Urung, gerakan tanganku tertahan. Rudi, entah kapan datangnya, sudah membuka pintu

mobil.

"Kau terlihat tegang sekali, Thomas?" Rudi tertawa santai, menjengkelkan. Astaga, bagaimana mungkin aku tidak tegang?

"Pakai ini, Thomas." Rudi melemparkan sesuatu.

Ini apa? Aku menatap rendah mantel panjang dengan tutup kepala yang mendarat di pangkuanku. Aku disuruh menyamar? Menjadi siapa pula dengan mantel besar dan kumuh? Penyihir?

Gelandang­an?

"Pakai saja, Thomas. Tutupi seluruh seragam pizza-mu dengan mantel itu. Juga tutupi mukamu dengan kacamata hitam besar ini." Rudi menyengir, melemparkan lagi barang kedua. Aku menggeleng perlahan. Ini sepertinya bukan pilihan yang baik. Menyamar dengan seragam pilot jauh lebih masuk akal setidaknya lebih keren.

"Dengarkan aku, Thomas." Kepala Rudi menyeruak ke dalam mobil, menatapku tajam.

"Waktu kita terbatas, akan kujelaskan dengan cepat. Kau pasti­lah jago urusan statistik, bukan? Tentu saja kau ahlinya berhitung dan angka-angka. Nah, setiap hari, setidaknya ada seribu tindakan kriminal di seluruh negeri. Mulai dari mencuri, pemukulan, perampokan, perkosaaan, dan belasan jenis kejahatan jalanan lainnya. Atas kejadian itu, maka setiap hari, setidaknya ada ratusan penjahat yang ditangkap. Sebagian besar ditangkap dekat dari kejadian perkara. Sebagian lainnya di luar kota, di

luar pulau, atau di luar negeri sana, telanjur kabur. Nah, kau mau tahu ada berapa penjahat yang setiap hari harus dibawa pulang dari kota lain? Pulau lain? Ada berapa penjahat yang terpaksa berlalu-lalang menumpang angkutan umum saat

dipindahkan?"Aku menelan ludah, menebak arah penjelasan Rudi.

"Banyak! Kalian, para penumpang sipil, tidak pernah memperhatikan. Bisa saja saat kalian terbang, tertawa-tawa di kabin depan bersama teman, pelesir beserta keluarga, ternyata persis di bagian paling belakang pesawat ada pelaku kejahatan pembunuhan, residivis pemerkosa, atau perampok besar sedang dipindah­kan dari satu kota ke kota lain. Tidak tahu, bukan? Karena kami selalu memindahkan penjahat tanpa menarik perhati­an siapa pun. Tidak ubahnya seperti penumpang kebanyakan. Kalian tidak akan pernah melihat borgol, pentungan, pistol. Bagaimana akan lihat? Penumpang sipil jelas akan menolak naik pesawat jika tahu ada seorang paedofil atau pembunuh kelas berat menumpang bersama mereka. Paham? Segera pakai mantel kumuh dan kacamata itu, Thomas, dan ini juga." Rudi melemparkan borgol.

Aku terdiam sejenak, mengangguk, paham situasinya.

"Lihat, ini surat pemindahanmu ke Bali sebagai kriminal besar." Rudi tertawa, menunjukkan map plastik yang dia bawa ber­sama mantel.

"Perampok, menghabisi seluruh anggota keluarga saat beraksi. Diancam dijatuhi hukuman seumur hidup." Aku tidak mendengarkan Rudi yang membaca deskripsi seram di surat pemindahan.

Aku sedang beringsut memakai mantel,mengenakan penutup kepala, memasang cepat borgol, lantas

menghela napas, selesai.

Rudi menarikku kasar keluar dari mobil patroli. Di tengah kekacauan, dua-tiga polisi yang persis berdiri tidak jauh dari kami tertarik, mendekat, bertanya. Rudi menjawab singkat, "Biasalah,pemindahan kargo."

Polisi itu mengangguk. Satu-dua menatap

iri, dia bosan bertahun-tahun menjadi polisi lalu lintas.Rudi menggiringku persis menuju lobi keberangkatan, lebih banyak lagi polisi di sana. Ibarat dua ekor kancil hendak menyeberangi sungai, kami persis menuju belasan buaya yang berjemur.

"Terus melangkah seperti seorang pesakitan, Thomas," Rudi berbisik.

Aku mengumpat dalam hati, memangnya gayaku belum meyakinkan? Terus tertatih, aku menunduk dalam-dalam agar wajahku tidak terlihat.

Tiga polisi dengan senjata lengkap menahan kami, hendak memeriksa.

"Penumpang khusus." Rudi menyerahkan surat dalam amplop plastik.

Salah satu dari polisi itu menerimanya, membaca sekilas."Buka kacamata dan mantelnya," dia menyuruh dua temannya.Aku menghela napas tegang.

"Kau tidak akan melakukannya!" Rudi bergegas berseru galak,tangannya menyuruh menyingkir. "Itu jelas melanggar seluruh prosedur transferterdakwa."

"Buka kacamata dan mantelnya!" Polisi bersenjata itu tetap memaksa."Astaga!" Rudi membentak dengan suara terkendali, berusaha tidak menarik perhatian. "Ada ratusan orang sipil di sekitar kita

saat ini. Kau tidak ingin mereka melihat wajah biru dia, lebam habis dipukuli, hah? Kau tidak ingin membuat penduduk sipil tahu apa yang terjadi dengan penumpang khusus ini, kan? Satu-dua dari mereka akan mengambil foto, merekam video, menguploadnya di internet. Aku akan pastikan, bukan hanya karierku yang tamat, tapi seluruh kesatuan kalian." Polisi bersenjata itu menelan ludah, terdiam sejenak. Sedikit jeri menatap wajah galak Rudi. Berpikir, jangan-jangan pangkat orang di depannya lebih tinggi daripada seorang petugas escort kriminal.Aku menahan napas, terus menunduk, membiarkan wajahku tidak terlihat jelas.

"Kami mencari orang, Pak," polisi itu akhirnya berkata lebih lunak.

"Aku tidak ada urusan dengan orang yang kalian cari." Rudi masih terlihat marah.

"Kami harus memastikan siapa pun yang melintas."

"Kau bisa lihat fotonya di surat transfer. Apa susahnya?" Rudi memotong.

Polisi itu menoleh, menatap dua rekannya. Dua rekannya mengangkat bahu, tidak mau berdebat lebih panjang. Polisi itu mengalah, sekali lagi melihat surat pemindahan, melihat foto, mengangguk.

"Silakan lewat, Pak. Maaf telah mengganggu."

"Terima kasih," Rudi menjawab pendek, tidak peduli. Dia persis seperti orang marah sungguhan yang mencari tempat pelampiasan, mendorong pinggangku dengan sikutnya, kasar.

"Jalan, Bedebah! Terlalu banyak waktu kita terbuang sia-sia." Aku mengaduh kesakitan.

"Setiap kali ada penjahat yang dipindahkan, ada bagian khusus di keamanan bandara yang akan menyiapkan surat-menyurat, urusan administrasi, termasuk berkoordinasi dengan maskapai."

Rudi memberikan penjelasan tambahan, lepas dari kerumunan polisi. Kami berjalan cepat menuju ruang boarding.

"Tentu saja ini dokumen milik penjahat lain, Thomas. Aku tidak punya waktu menyiapkan khusus buatmu. Termasuk menyiapkan mantel dan kacamata hitam besar kamuflase." Rudi tertawa, seperti tahu apa yang hendak kutanyakan, menjawab sebelum aku bertanya. Dia buru-buru memasang wajah galak lagi ketika kami melintasi polisi-polisi lain yang tidak me­meriksa."Aku bergegas menuju ruangan itu saat meninggalkanmu tadi. Berdoalah, semoga tidak ada polisi lain yang ke sana sekarang. Atau mereka akan menemukan petugas escort serta penjahat

sungguh­annya pingsan tumpang tindih di toilet," Rudi menjawab ringan.Melewati penjaga pemeriksaan barang bawaan kabin, kami tiba di pintu ruang boarding.

"Tetapi kita sudah terlambat, Rudi." Aku mengembuskan napas. Entahlah, lima menit terakhir, apakah aku terpesona dengan jalan keluar yang dipilih Rudi, apakah aku respek padanya karena ternyata jelas aku bisa memercayakan nasibku pada Rudi, atau apakah aku sedang jengkel dengan betapa naifnya Rudi. Lihat, sehebat apa pun strategi dia, ruang tunggu sudah kosong, final call pesawat menuju Bali sudah sejak tadi. Semua rencana bergayanya sia-sia jika aku ditinggal pesawat. Rudi tertawa, melambaikan tangan. "Tenang, Thomas. Kau lupa, kau penumpang spesialnya. Pesawat itu tidak akan bergerak satu senti pun sebelum kau naik. Ikuti aku, Kawan. Mari kita menuju Bali." Itulah yang terjadi tiga menit berikutnya. Rudi bicara dengan petugas ground handling, menunjukku. Mereka mengangguk, sudah terbiasa dengan perjalanan istimewa seperti ini. Kami menuruni tangga, ke landasan. Rudi benar, pesawat itu masih gagah di posisinya. Pintu belakangnya terbuka dengan sebuah anak tangga terpasang, seperti menunggu seseorang.

Rudi memperlihatkan surat pemindahan kepada dua petugas dan dua pramugari yang juga ikut briefing. Mereka mengangguk, mempersilakan kami naik.Kursi paling belakang selalu dikosongkan dalam situasi seperti ini. Bahkan dalam kasus amat mendesak, penumpang sipil bisa dibatalkan. Rudi menyuruhku duduk dekat jendela.

"Bukan karena ada pemandangannya. Itu prosedur, Kawan," Rudi berbisik, mengedipkan mata.Aku tidak berkomentar, duduk rapi.Pintu pesawat ditutup. Pramugari kembali di posisinya masing-masing, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pilot menyerukan persiapan take off. Badan pesawat akhirnya beringsut menuju landasan pacu. Tidak ada satu pun penumpang yang curiga, keterlambatan sepuluh menit terakhir karena petugas sedang menaikkan penjahat ke atas pesawat. Tidak ada. Bahkan saat mereka bolak-balik ke toilet, melintasi barisan kursiku, tidak akan terpikir oleh mereka ada seorang penjahat sedang dikawal, duduk di sana.

Atau boleh jadi, mulai sekarang, saat kalian naik pesawat, kalian akan bertanya-tanya, melirik-lirik, jangan-jangan di sana, di kursi paling belakang, sedang duduk seorang kriminal. Dan itu jelas bukan aku. Pesawat yang kutumpangi sudah melesat

cepat membelah awan, menuju pemberhentian berikutnya.