webnovel

THOMAS SANG PETARUNG

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. ”Silakan,” kataku. ”Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik. Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah minggu- an itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini

Ferguso_kageyama · realistisch
Zu wenig Bewertungen
51 Chs

BAHAYA DAMPAK SISTEMATIS

"HALO, Thomas." Salah satu wartawan senior halaman ekonomi surat kabar harian dengan oplah paling tinggi di Indonesia ber­diri, menyambutku, diikuti beberapa wartawan lain.

"Maaf, terlambat dari jadwal." Aku menyapa peserta pertemuan di ruang privat salah satu restoran elite kota Jakarta, menarik kursi kosong, bergabung. Sabtu, pukul 09.05. Sisa waktuku tinggal 46 jam 45 menit hingga hari Senin pukul 08.00.

"Hanya terlambat lima menit, Thom." Wartawan itu tertawa.

"Asalkan yang dijanjikan stafmu lewat telepon benar ada rilis berita besar me­nunggu lima jam pun kami tidak keberatan."

Aku balas tertawa, terkendali.

"Astaga, Thom, kau kusut sekali. Jangan-jangan kau tidak mandi sejak pulang dari London kemarin sore." Wartawan televisi nasional gantian menepuk pundakku.

"Boleh jadi. Dia jelas masih memakai kemeja yang sama saat di pesawat."

Hei, aku mengenali suara itu. Julia, lihatlah, gadis dengan predikat wartawan terbaik salah satu review mingguan itu duduk di salah satu meja.

Terlihat cantik dengan kemeja cokelat.

Aku kali ini tertawa, lepas.

"Saat di pesawat?" Wartawan tabloid ekonomi lain ikut menimbrung percakapan.

"Kau satu pesawat dengannya dari London, Julia?"

"Ya, dan itu perjalanan paling menyebalkan selama hidup­ku."

Sembilan peserta pertemuan lainnya sepertinya tertarik dengan kalimat Julia, memasang wajah ingin tahu. Aku melambaikan tangan, masih tertawa kecil. "Come on, kalian ke sini bukan untuk mendengar tentang itu, bukan?

Nantilah, kalau situasinya lebih baik, Julia akan berbaik hati menjelaskan bagaimana mungkin pengalaman pertamanya naik pesawat terbesar, menghabiskan sepiring kaviar, dan meminta apa saja yang ada dalam daftar menu pramugari menjadi sebuah perjalanan yang menyebalkan.

Sekarang aku akan memberi kalian kabar yang hebat.

Kalian wartawan, editor, media massa pertama yang mendengarnya.Kabar hebat yang sekaligus mengerikan."

Peserta pertemuan kembali sempurna menatapku. Satu-dua mengeluarkan alat tulis atau perekam.

Aku tersenyum menatap peserta pertemuan.

Maggie sepertinya mengerjakan PR-nya dengan baik.

Dia berhasil mengundang seluruh media massa besar dan berpengaruh.

Bahkan tiga pengamat perbankan, keuangan, dan ekonomi nasional yang tulisannya sering memengaruhi opini publik ikut bergabung.

Peserta pertemuan menungguku, gemas melihatku yang tersenyum.

"Otoritas bank sentral akan menutup Bank Semesta." Aku akhirnya membuka mulut.

Gerakan tangan mereka terhenti.

"Astaga? Kau tidak sedang bergurau, Thom?" Salah satu kepala editor media online menepuk dahi. "Maksudku, walaupun kita sudah lama mendengar Bank Semesta masuk ruang gawat darurat bank sentral, berada dalam pengawasan ketat, kabar ini

tetap mengejutkan."

"Aku tidak bergurau. Sumberku valid. Seratus persen yakin.

Sama dengan seratus persen aku yakin bahwa itu keputusan yang salah. Sama dengan seratus persen aku akan menjadi orang pertama yang menentangnya."

Kalimatku terdengar datar, dengan intonasi terjaga. "Dalam situasi kacau-balau dunia, krisis sub-

prime mortgage, institusi keuangan kolaps dimana-mana, menutup Bank Semesta sama saja membawa mimpi buruk itu dengan pesawat VIP tercepat ke negeri ini. Satu saja bank atau

lembaga keuangan kita ditutup, maka bagai barisan kartu domino, yang lain pasti menyusul roboh. Ini jelas bahaya dampak sistemis."

Akulah orang pertama yang menyebut dua kata ajaib itu: dampak sistemis. Dua kata yang akhirnya memenuhi langit-langit perdebatan negeri ini berbulan-bulan ke depan, bahkan dalam toilet gedung anggota dewan sekalipun.

* * * *

"Lehman Brothers rugi hingga 3,9 miliar dolar sebelum mengumumkan pailit 15 September.

Belum habis kabar mengejutkan itu dibahas di media massa, institusi keuangan Amerika lainnya

menyusul.

Merril Lynch tumbang, Citigroup, Fannie Mae &

Freddie Mac mengalami kesulitan keuangan,bahkan AIG, grup keuangan besar dan tua Amerika di ujung vonis kematian jika tidak diselamatkan pemerintah. Tidak terbayangkan kekacauan yang terjadi di belahan dunia sana, dan itu tidak berhenti di

sektor keuangan.

General Motors, Ford, Chrysler mendaftarkan

kebangkrutan, puluhan ribu karyawan dirumahkan, tidak terhitung sektor real merumahkankaryawannya. Krisis ini nyata, bukan sekadar angka-angka pengangguran, angka-angka pertumbuh­an ekonomi nasional yang negatif.

"Kita sedang membicarakan sesuatu yang mengerikan, bahaya dampak sistemis.

European Central Bank (ECB) mendefinisikannya sebagai wide systematic shocks which by themselves adversely affect many institutions or markets at the same time. In this sense, systemic risk goes much beyond the vulnerability of single banks to runs in a fractional reserve system.

Akumenyederhanakannya dengan definisi, satu kejadian yang sekali pukul membuat runtuh

semua keseimbangan, bahkan bisa membuat hilangnya keper­cayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional...."

"Maaf, menyela." Julia mengangkat tangan—ini sudah yang kedua kalinya dia menyela kalimatku sejak setengah jam lalu.

"Semua yang kausebutkan itu terjadi ribuan kilometer dari kita, fundamental dan situasi perekonomian kita jelas berbeda.

Bagaimana mungkin?"

"Julia, aku tahu kau masih punya banyak energi untuk mendebatku sejak kejadian di pesawat,

" aku segera memotong kalimat Julia.

"Kau lupa satu fakta kecil, Julia. Dua puluh empat

jam lalu, kita masih di London, bukan? Pagi ini kita sedang menghabiskan segelas kopi nikmat di Jakarta. Bahkan dunia ini telah terkoneksi secara fisik. Jarak bukan masalah. Apalagi dalam

sistem keuangan dunia, uang yang kautabungkan di Bank.

Semesta, anggap saja kau punya tabungan di sana, berputar hingga ke Lehman Brothers dan Merril Lynch. Uang yang dimiliki investor kecil di Surabaya misalnya, berpilin hingga New York bahkan New Delhi. Sistem keuangan dunia lebih rumit bahkan dibanding jaringan internet.

"Dan bicara dampak mengerikan, peduli setan dengan fundamental ekonomi suatu negara. Kau tahu, dua hari setelah Lehman Brothers menyatakan bangkrut, 150 miliar dolar ditarik serentak dari pasar uang Amerika. Jumlah yang setara dengan seluruh utang nasional kita. Kau tahu berapa total kehilangan aset pensiun Amerika? Jumlahnya mencapai 1,3 triliun dolar. Itu belum termasuk aset simpanan dan investasi, aset retirement, totalnya nyaris 8,2 triliun dolar. Kau tahu, selama 2007-2008, penduduk Amerika kehilangan seperempat kekayaan mereka, berapa jumlahnya? Ratusan triliun dolar.

Kita hidup dalam jaringan keuangan yang kait-mengait. Seharusnya kau diajari soal

itu di sekolah bisnis."

Ruangan privat restoran dipenuhi tawa kecil.

Wajah Julia berubah merah-masam. Dia masih mengacungkan tangannya.

"Tetapi Bank Semesta hanya bank menengah, kau

juga tahu itu. Namanya tidak pernah masuk dalam daftar sepuluh besar bank. Menurut data yang kumiliki, jumlah uang yang mereka kelola tidak sampai 4 persen dari seluruh uang perbankan nasional."

Aku menatap tajam Julia. "Baik. Aku berikan kau satu contoh kecil, Northen Rock Bank. Dari sisi aset, jumlah nasabah, dan kapi­talisasi, NRB sebenarnya bank swasta kecil di Inggris.

Tapi apa yang terjadi? Saat mereka melaporkan kesulitan keuangan, dalam situasi krisis dunia, dengan cepat kejadian ini menjadi

sorotan publik seluruh Inggris. Antrean panjang nasabah yang bergegas mengambil uangnya di bank ini menjadi tontonan buruk semua pemirsa televisi. Penduduk Inggris panik. Untuk

pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, perbankan Inggris kacau-balau. Bank of England, bank sentral Inggris akhirnya menasionalisasi NRB, setelah berbagai pinjaman darurat tidak membantu. Mereka juga terpaksa melakukan rekapitalisasi di

banyak bank swasta lainnya untuk menghentikan kartu domino yang terus roboh tidak ter­kendali.

"Kita tidak membicarakan kecil atau besar, Julia. Bank yang ter­letak di pelosok dunia atau di tengah gegap gempita keuangan, sama saja.

Kita membicarakan kepanikan, dampak sistemis

dalam sistem perekonomian terbuka, membicarakan sektor yang sangat rentan terhadap berita buruk. Kalian wartawan ekonomi, bukan? Coba lihat pasar SUN, Surat Utang Negara kita. YieldSUN naik tajam beberapa bulan terakhir, naik hampir 7 persen,

padahal setiap kenaikan 1 persen itu berarti beban biaya bunga tambahan sebesar 1,4 triliun dalam APBN. CDS, credit default swap negara kita juga melonjak tinggi, itu berarti pasar dunia menilai country risk Indonesia tinggi.

Belum lagi cadangan devisa turun dua digit persentase dan rupiah menyentuh level 12.000.

Astaga, siapa bilang krisis dunia tidak memengaruhi kita? Tem-porer? Kita bisa bertahan? Aku tidak yakin. Kita membutuhkan

semua energi untuk segera keluar dari pengaruh buruk ini, atau kejadian tahun 1998 kembali terulang."

"Aku setuju soal data-data itu," Julia kembali menyela.

Dia jelas gadis yang tidak mudah menyerah.

Julia menunjukkan iPad milik­nya yang pastilah berisi laporan mutakhir perekonomian nasional.

"Hanya saja dalam kasus ini, Bank Semesta layak

ditutup karena mereka memang melakukan banyak kejahatan keuangan. Mereka melanggar banyak regulasi."

Aku melambaikan tangan. "Ayolah, kalimatku belum selesai, Julia. Tentu saja kau punya berita tentang Bank Semesta, rumor kejahatan pemilik bank itu. Tetapi bukankah kalian juga punya data tentang situasi terkini? Indeks saham kita menukik tajam

sebulan terakhir, tinggal separuhnya, memangkas nilai pasar puluhan triliun rupiah.

Pinjaman antarbank terhenti, kecemasan

melanda investor besar hingga retail, dana pensiun, dan perusahaan asuransi kehilangan banyak uang, dan jangan lupakan kemungkinan capital flight besar-besaran.

"Semua situasi buruk ini hanya butuh satu kabar buruk, satu saja, maka boom, semua meledak, rantai kerusakan telah di­mulai. Bank Semesta bobrok, mungkin. Bank Semesta melaku­kan banyak kejahatan keuangan, boleh jadi. Tetapi menutup bank ini sama saja dengan membuat kepanikan

massal, dan ini jelas bukan sebuah rumor, kemungkinan, atau sebuah keboleh­jadian. Kau mau bertanggung jawab atas kemungkinan itu, Julia? Otak cemerlang dan analisis hebatmu

mau bertanggung jawab kalau ternyata bahaya dampak sistemis itu benar-benar terjadi? Rush gila-gilaan, belasan bank menengah lain bertumbangan, krisis 1998 terulang dengan skala

guncangan lebih tinggi? Kalian, media massa, mau ikut bertanggung jawab?"

Ruangan privat restoran senyap sejenak. Beberapa wartawan menghela napas.

Aku takzim menatap wajah mereka satu per satu.

"Apakah keputusan penutupan Bank Semesta sudah efektif, Thom? Sudah keluar surat keputusan misalnya, mengingat belum ada rilis resmi dari bank sentral."

Shambazy, kepala editor media online bertanya, meletakkan alat tulisnya.

"Belum. Tetapi itu seratus persen akan terjadi jika tidak ada second opinion. Kau tahu sendiri, ada banyak pihak yang bersemangat melihat Bank Semesta ditutup di luar penyidik kepolisian, kejaksaan, atau otoritas bank sentral yang sudah tidak sabaran sejak mereka menangani kemungkinan fraud di bank ini setahun lalu.

Aku hanya sumber informasi confidential.

Aku juga hanya menyatakan pendapat profesional. Kalian boleh setuju, boleh juga tidak. Di luar sana, boleh jadi lebih banyak pihak yang emosional dan menganggap bahaya dampak sistemis hanya

ilusi.

Tetapi jika kalian setuju, saatnya membentuk opini yang berbeda. Masih ada waktu, menjadi headline koran besok misalnya. Atau liputan khusus di televisi nanti sore. Atau sebuah kolom opini yang bernas dan membuka mata banyak orang. Atau artikel pendek di media online-mu, Shambazy.

"Desas-desus ini sudah di tangan banyak pihak. Kalian bisa menggalinya lebih dalam pada pejabat bank sentral, menteri, pejabat tinggi, siapa saja. Dengan begitu, setidaknya kalian akan membantu menahan proses keputusan itu dibuat segera, setidaknya kalian memberikan pertimbangan lain, cover both side.

Sementara itu aku bisa melakukan negosiasi dengan pihak yang akan memutuskan."

"Kau sudah punya angka-angka, Thom? Maksudku, jika pemerintah akhirnya harus menyelamatkan Bank Semesta, berapa jumlah uang talangan yang harus diberikan?" wartawan lain bertanya.

Aku terdiam sejenak, menelan ludah.

"Belum. Aku belum punya datanya. Tapi aku segera akan punya. Kita harus tahu petanya, bukan? Berapa biayanya.

Sebagai catatan, pemerintah Amerika menalangai AIG hingga 150 miliar dolar.

Itu kecil saja dibandingkan jika seluruh sistem ambruk dan lebih banyak lagi yang harus ditalangi. Bank sentral Eropa juga terpaksa membeli miliaran dolar aset bank bermasalah, tapi itu juga kecil di-

bandingkan kemungkinan buruknya.

Kalian bisa mencari tahu lebih detail soal itu."

Aku melirik pergelangan tangan, sudah pukul 10.15 menit pertanyaan barusan membuatku teringat sesuatu, aku memerlukan banyak data sekarang.

"Nah, waktuku sudah habis, aku terpaksa pamit. Aku sudah ada janji lain."

Peserta pertemuan bergumam, hendak bertanya.

"Maaf, aku sibuk sekali. Tidak ada sesi tanya-jawab seperti biasa."

"Tentu saja," salah satu wartawan menyahut, tertawa kecil,

"kami tahu jadwalmu bahkan lebih sibuk dibanding presiden, Thom."

Aku ikut tertawa. "Terima kasih sudah datang dan mendengarkan. Maggie yang akan mengurus tagihan restoran. Selamat siang."

Aku melangkah cepat meninggalkan ruangan privat restoran.

* * * *

Aku menuju kantor setelah pertemuan dengan editor dan wartawan media massa.

Maggie dengan wajah kesal menunjuk tumpukan dokumen di atas meja.

"Kau sudah sortir yang penting atau tidak, bukan?"

"Belum sempat," Maggie menjawab ringan. "Bukankah kau sendiri yang bilang, bahkan jika ada sopir taksi yang mengigau tentang Bank Semesta enam tahun terakhir, catat, kumpul-kan."

Aku memasang wajah setengah tidak percaya. "Bukan itu maksudku, Mag. Kau tidak akan membiarkan waktuku terbuang percuma dengan membaca dokumen tidak penting, kan? Astaga,

sudah berapa lama kau jadi stafku? Kalimatku tadi pagi itu tidak seharfiah maksudnya."

Maggie menyengir.

"Kenapa kau malah tertawa?" Aku melotot.

"Tentu saja sudah aku sortir, Thom." Maggie tertawa menyebal­kan, menatap wajah marahku.

"Senang saja melampiaskan bangun pagiku di hari libur ke orang lain."

Aku hampir menimpuk Maggie dengan salah satu binderkertas.

"Laporan paling akhir Bank Semesta dari staf Ram ada dalam tumpukan. Working paper audit sedang di-print, sebagian sudah ada fotokopinya. Aku masih menunggu beberapa dokumen penting lain. Nah, yang itu, kau tidak akan percaya, Thom, itu

dokumen tentang pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem enam tahun lalu.

Kau pasti akan tertarik membacanya. Jangan

tanya bagaimana aku memperolehnya."

"Kau benar-benar staf yang hebat, Maggie." Aku menyeringai menatapnya.

"Sayangnya aku tidak punya adik laki-laki, boleh

jadi sudah kujodohkan."

"Urus saja perjodohanmu, Thom." Maggie melambaikan tangan, kembali menatap layar laptopnya.Aku tertawa.

"Aku tidak akan lama di kantor. Berapa lama

lagi dokumen yang kau print siap?"

"Setengah jam."

"Baik, aku akan mempelajari dokumen ini di ruanganku sambil menunggu. Dan ada beberapa lagi yang harus kaukerja­kan."

Maggie meraih bolpoin dan kertas, bersiap mencatat.

"Kirimkan empat tiket konser minggu depan untuk

Shambazy. Siapa nama artis yang mau konser itu? Anak-anak remaja Shambazy pasti suka.

Kau juga kirimkan surat rekomendasi untuk wartawan televisi yang ikut pertemuan tadi, kalau

tidak salah dia mendaftar short course.

Tidak akan ada sekolah bisnis yang menolak rekomendasiku.

Juga untuk salah satu pengamat ekonomi, kauberikan undangan forum ekonomi internasional di Bangkok bulan depan. Sampaikan bahwa dia jauh lebih layak dibanding Thomas, kita akan membayar biaya perjalanannya.

Juga kauhubungi kampus tempat pengamat

ekonomi lainnya bekerja, kita akan menawarkan sponsor riset. Sudah kaucatat? Dan kau cari tahu hadiah apa yang tepat untuk wartawan dan editor lain."

"Siap, Bos." Maggie mengangguk.

Aku sudah mengangkat tumpukan dokumen, melangkah menuju ruanganku.

Kalian tahu bagaimana cara terbaik menanamkan sebuah ide di kepala orang lain?.lakukan dengan cara berkelas .